Sebagai catatan, negeri kita memiliki 434 kabupaten dan kota. Riset tersebut menelusuri 94 kota. Sebagaimana dikemukakan Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute, dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, pada Senin (16/11/2015), penelitian tersebut dilakukan dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional, yang dirayakan setiap 16 November. Hasil riset tersebut menunjukkan, ada 10 dari 94 kota yang disusuri, yang memiliki nilai toleransi tinggi: Pematang Siantar, Salatiga, Singkawang, Manado, Tual, Sibolga, Ambon, Sorong, Pontianak, dan Palangkaraya.
Meski riset ini belum bisa diklaim sebagai gambaran toleransi tingkat nasional, tapi setidaknya, kita mendapatkan gambaran, bahwa ada sejumlah kota yang telah menunjukkan apresiasi yang memadai terhadap toleransi. Sudah sepatutnya, pemangku kepentingan serta masyarakat di 10 kota tersebut, kita apresiasi. Karena, mereka bukan hanya telah menunjukkan itikad yang positif untuk memelihara kerukunan antar umat beragama di wilayah setempat, tapi juga bisa menjadi inspirasi bagi kota lain.
Pihak berwenang, barangkali bisa menyikapi hasil riset tersebut, dalam konteks menebarkan kerukunan. Bisa jadi hasil riset itu didalami lebih jauh, untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail. Mengingat keragaman di 10 kota tersebut, bukan tidak mungkin, langkah-langkah kerukunan yang sudah diimplementasikan di 10 kota itu bisa diadopsi untuk sejumlah kota lain. Bagaimanapun juga, kerukunan masyarakat di suatu wilayah, memegang peranan penting bagi kemajuan wilayah yang bersangkutan.
Bersama Merawat Toleransi
Apa yang diwujudkan masyarakat di Kampung Buyat Pante di atas, menunjukkan kepada kita, bagaimana masyarakat setempat, yang jauh dari perkotaan, justru memiliki kepedulian yang tinggi untuk merawat sikap toleransi. Mereka telah sepakat untuk mendirikan dua rumah ibadah dari dua agama yang berbeda, dalam satu halaman tanpa pagar pembatas, bahkan nyaris berdempetan. Kedua bangunan tersebut didirikan sejak tahun 2004, dengan dana partisipasi masyarakat setempat, serta dibantu oleh PT Newmont Minahasa Raya, yang waktu itu mengoperasikan perusahaan tambang emas di sana.
Untuk sampai pada kesepakatan yang demikian, tentulah dibutuhkan kelapangan jiwa dari warga setempat. Kita tahu, toleransi bukanlah sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya. Toleransi adalah bagian dari keteladanan, yang ditunjukkan para pemimpin, yang kemudian diteladani oleh warga. Dari sini, kita tentu paham, para perangkat desa di Kampung Buyat Pante di atas, telah berhasil mengelola segenap perbedaan yang ada. Mereka secara bersama merawat toleransi warga setempat, dengan tetap memelihara perbedaan.
Inilah barangkali yang disebut sebagai solidaritas antarwarga, salah satu bentuk kesetiakawanan sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesetiakawanan sosial diartikan sebagai nilai-nilai dan semangat kepedulian sosial, untuk membantu orang lain yang membutuhkan, atas dasar empati dan kasih sayang. Dengan kata lain, toleransi yang telah dibangun di atas, sekaligus mencerminkan semangat tolong-menolong di kalangan mereka. Di sejumlah tempat, mungkin semangat tolong-menolong tersebut telah mulai terkikis.
Karena itulah, tidak ada alasan bagi kita untuk berhenti menebarkan spirit kebersamaan, yang kita temukan di ruang-ruang publik. Ini bagian dari kepedulian kepada sesama. Kita tahu, kepedulian tersebut bisa menjadi salah satu benteng pertahanan, untuk menangkis berbagai hal, yang berpotensi menggerus kebersamaan kita. Benteng pertahanan bernama toleransi ini sudah sepatutnya kita rawat. Momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Kamis (24/12/2015) yang berdekatan dengan perayaan Natal pada Jumat (25/12/2015), adalah peluang bagi kita untuk memperkokoh toleransi yang sudah ada.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 26 Desember 2015