Ikan-ikan yang mati, mengapung di permukaan air laut di perairan Ancol, Jakarta Utara. Foto ini diambil oleh Johannes George Agus, pada Senin (30/11/2015), pukul 07.56 WIB. Kompasianer Akhlis Purnomo kemudian memposting di Kompasiana, pada Selasa (1/12/2015). Dalam konteks mengelola sumber daya kelautan, sejumlah pihak yang berwenang, sudah sepatutnya bersinergi, agar Teluk Jakarta bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Foto: Johannes George Agus
Hari Jumat (18/12/2015) lalu, bisa juga disebut sebagai Jumat Keramat. Hari itu, Sri Turni Hartati, Peneliti Utama Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menjelaskan penyebab kematian ribuan ikan di perairan Ancol, Jakarta Utara. Penjelasan ini, setelah dilakukan serangkaian penelitian di laboratorium.
Kematian ribuan ikan tersebut, disebabkan oleh rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam air laut. Demikian salah satu kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan Sri Turni Hartati, Peneliti Utama Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hasil penelitian tersebut ia sampaikan di Kantor Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, Jl. Kasablanka, Jakarta Selatan, pada Jumat (18/12/2015). Apa yang menyebabkan kandungan oksigen rendah di perairan Ancol? Bagaimana kandungan oksigen di seputaran perairan Teluk Jakarta?
Minimal 5 mg/L tapi Hanya 1 mg/L
Kita tahu, oksigen terlarut dalam air laut, adalah kebutuhan utama ikan dan biota laut lainnya, untuk bertahan hidup. Secara ilmiah, Sri Turni Hartati menjelaskan, bahwa ikan dan biota laut lainnya membutuhkan oksigen, minimal 5 miligram per liter (mg/L). Ketersediaan oksigen dalam jumlah itu, memungkinkan ikan dan biota laut lainnya hidup secara normal. Dengan demikian, ikan akan berkembang-biak secara normal, juga akan tumbuh sehat secara normal. Ketika ikan tersebut ditangkap nelayan, kemudian kita beli di pasar, lantas dimasak lalu disantap, kita pun akan tumbuh sehat.
Nah, bagaimana kandungan oksigen di perairan Ancol dan di seputaran perairan Teluk Jakarta? Hasil penelitian Sri Turni Hartati menunjukkan, oksigen terlarut di sana, tidak lebih dari 1 mg/L. Maka, sudah dapat dipastikan, ikan dan biota laut lainnya di perairan Ancol dan di seputaran perairan Teluk Jakarta, tidak bisa hidup normal. Memang, ikan masih bisa hidup, tapi tidak normal. Dalam kondisi tertentu, karena perubahan iklim dan perubahan air laut, kandungan oksigen itu bisa anjlok di bawah 1 mg/L. Bila sudah demikian, ikan-ikan di laut akan mati, kemudian menjadi bangkai, mengapung di permukaan.
Itulah yang terjadi pada Rabu-Kamis (16-17/12/2015), ketika masyarakat menemukan ribuan ikan mati mengambang di perairan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Sebelumnya, pada Jumat-Sabtu-Minggu-Senin (27-28-29-30/11/2015), hal serupa juga terjadi dalam skala yang lebih besar, ribuan ikan mati dan terdampar di sepanjang pantai Ancol, Jakarta Utara. Karena kawasan Ancol adalah area wisata, maka hingga Kamis (3/12/2015), masih nampak terpasang papan pengumuman di sana, agar pengunjung tidak berenang ke laut. Bau amis menyeruak, menyesakkan hidung.
Benarkah ikan-ikan di perairan Teluk Jakarta tidak bisa hidup normal? Dari hasil penelitian Sri Turni Hartati, terbukti bahwa ukuran ikan di perairan Teluk Jakarta, lebih kecil dibandingkan dengan ikan sejenis di perairan lain di Indonesia. Riset dalam konteks di atas, dilakukan Sri Turni Hartati pada 2014. Penelitian itu menunjukkan, betapa rendahnya kondisi biota laut dan komposisinya di Teluk Jakarta. Secara lebih spesifik, Sri Turni Hartati menemukan perubahan struktur jaringan pada sejumlah ikan yang dijadikan sampel. Kondisi itu, lama-lama akan mengubah komposisi organ ikan, seperti insang dan hati ikan.
Oksigen Minim Karena Limbah
Kenapa oksigen di perairan Teluk Jakarta menjadi minim? Sekali waktu, lihatlah saluran got yang mengalir dekat rumah kita. Bekas air cucian piring, air deterjen bekas mencuci pakaian, serta air kotor bekas mencuci sepeda motor dan mobil, mengalir ke dalam saluran got tersebut. Ada berjuta rumah tangga, yang juga mengalirkan air limbah yang demikian ke dalam got. Air limbah dari berjuta rumah tangga tersebut, mengalir ke dalam sungai. Bukan hanya itu, limbah dari pabrik skala kecil, menengah, dan besar, juga mengalir ke dalam sungai.
Kita tahu, ada 13 sungai yang mengalir di wilayah DKI Jakarta, yang kemudian bermuara ke Teluk Jakarta. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, mencatat, 80 persen air sungai tersebut, sudah tercemar oleh limbah rumah tangga, juga oleh limbah industri. Nah, air ke-13 sungai yang sudah penuh limbah itulah yang menyebar ke seantero perairan Teluk Jakarta. Itu pun masih ditambah oleh mereka yang secara langsung mencemari perairan Teluk Jakarta. Kondisi yang demikian, sudah berlangsung bertahun-tahun, yang dari tahun ke tahun, tingkat pencemaran tersebut terus meningkat.
Dengan kata lain, perairan Teluk Jakarta sesungguhnya sudah tercemar. Hasil penelitian Sri Turni Hartati menunjukkan, perairan Teluk Jakarta memiliki kandungan zat organik yang tinggi, berupa nitrat dan fosfat, yang berasal dari limbah domestik dan industri. Nitrat dan fosfat merupakan jenis nutrien, yang memicu pertumbuhan populasi alga, fitoplankton. Nutrien yang melimpah di sekitar Teluk Jakarta, membuat keberadaan fitoplankton juga kian melimpah. Fitoplankton tersebut menyerap oksigen. Karena populasi fitoplankton berlimpah, maka ketersediaan oksigen terlarut dalam air laut, tergerus dengan cepat.
Itulah yang menyebabkan keberadaan oksigen terlarut di perairan Teluk Jakarta sangat minim, tidak lebih dari 1 mg/L. Akibatnya, ikan sesak napas, kekurangan oksigen, kemudian mati, seperti yang terjadi pada Rabu-Kamis (16-17/12/2015) di perairan Muara Angke dan pada Jumat-Sabtu-Minggu-Senin (27-28-29-30/11/2015) di sepanjang pantai Ancol. Sebaliknya, jika air laut dan air sungai, minim pencemaran, maka populasi alga, fitoplankton, akan terbatas. Dengan demikian, ikan leluasa bernapas, berkembang-biak dengan normal, serta tumbuh dengan cepat. Salah satunya, karena ketersediaan oksigen terlarut, melimpah.
Reklamasi, Sirkulasi Air, dan Fitoplankton
Sebelum penelitian sampel air, ikan mati, dan lumpur di kawasan Ancol dilakukan, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menampik ikan-ikan yang mati di Pantai Ancol akibat dampak reklamasi pantai utara Jakarta. "Saya kira, (reklamasi) itu enggak ada hubungannya ya (dengan ikan mati)," kata Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota, pada Senin (30/11/2015). Saat presentasi hasil penelitian tersebut di atas, pada Jumat (18/12/2015), di BPLHD DKI Jakarta, Sri Turni Hartati menyebutkan, buruknya sirkulasi air di Pantai Ancol karena adanya bendungan reklamasi, memperparah kandungan oksigen di dalam air, bahkan hampir 0 mg/L.
Artinya, aktivitas reklamasi di perairan Ancol, yang berakibat pada buruknya sirkulasi air sungai dan air laut di kawasan tersebut, membuat perairan cenderung menggenang. Air laut stagnan saja, hanya beriak-riak kecil. Kondisi air laut yang tidak bersirkulasi dengan baik seperti di perairan Ancol, adalah area yang ideal bagi percepatan perkembang-biakan populasi fitoplankton. Pola arus alami air laut terganggu, karena terhalang oleh tanggul buatan di tengah perairan Ancol dan oleh aktivitas reklamasi yang berlangsung.
Kondisi perairan yang demikian, sebagaimana digambarkan Kepala P2O Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dirhamsyah, membuat populasi fitoplankton meledak, mencapai miliaran sel. Fitoplankton yang berlimpah-ruah itulah yang menyedot oksigen di perairan Ancol, hingga ikan nyaris tidak kebagian. Gambaran Dirhamsyah tersebut, berdasarkan hasil survei cepat tim P2O LIPI terhadap contoh air laut dan ikan, yang diambil pada Selasa (1/12/2015).
Mengacu kepada hasil penelitian Sri Turni Hartati, Peneliti Utama Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan hasil penelitian Dirhamsyah, Kepala P2O LIPI, kita tahu, ada serentetan persoalan yang relevan dengan kematian ribuan ikan di Teluk Jakarta. Dalam konteks spirit maritim, terkait pengelolaan sumber daya kelautan, apa yang terjadi di kawasan Teluk Jakarta, sudah sepatutnya ditangani dengan sungguh-sungguh, secara komprehensif. Ego sektoral sejumlah institusi yang berwenang, tentulah tidak akan menyelesaikan persoalan.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 20 Desember 2015
-------------------------------
Rabu-Kamis (16-17/12/2015), ribuan ikan mati di Muara Angke, Jakarta Utara. Sebelumnya, Senin (30/11/2015), ribuan ikan juga mati dan terdampar di sepanjang pantai Ancol, Jakarta Utara.
Hasil penelitian: air Sungai Ciliwung sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku PDAM di Kota Depok. Begini cara Perancis membenahi Sungai Seine.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H