Buku tentang kehidupan Malala Yousafzai yang berjudul I Am Malala, diedarkan ke seluruh dunia, pada Selasa (8/10/2013). Edisi Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Mizan Pustaka, pada Mei 2014. Hari ini, Sabtu (31/10/2015), pukul 16.00-17.30 WITA, penulis buku itu, Christina Lamb, berbagi kisah inspiratif di Ubud Writers & Readers Festival 2015, Bali. Peter Adrian (kiri), Marketing Komunikasi Mizan, dan Christina Lamb (kanan) dengan senang hati, menanti kehadiran kita di sana. Foto: ubudwritersfestival.com dan @PenerbitMizan
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Sekadar mengingatkan, Malala Yousafzai, adalah gadis Pakistan, yang kala itu berusia 15 tahun. Ia ditembak Taliban di dalam bus sekolah, pada 9 Oktober 2012, karena ia gigih memperjuangkan pendidikan perempuan di negerinya. Bagaimana kisah tragis senilai Rp 29,5 miliar tersebut?
Kita tahu, nyawa Malala Yousafzai, akhirnya bisa diselamatkan. Kisah heroik Malala dalam memperjuangkan pendidikan perempuan di tanah kelahirannya, Pakistan, tentulah menjadi buruan para penerbit buku. Selain tragis, perjuangan Malala memiliki nilai universal, yaitu pendidikan kaum perempuan. Dalam konteks ini, apa yang diperjuangkan Malala, juga tengah diperjuangkan oleh banyak pihak di sejumlah negara di dunia. Kesamaan perjuangan, meski dengan situasi-kondisi pendidikan yang berbeda di masing-masing negara, telah menyedot perhatian dunia pada Malala pada waktu tersebut.
Kisah Buku Bernilai Rp 29,5 Miliar
Karena itulah, nilai kisah perjuangan Malala tersebut, dikabarkan mencapai hingga 2 juta poundsterling atau setara Rp 29,5 miliar. Kisah itu diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Weidenfeld & Nicholson untuk Inggris dan Persemakmuran serta oleh penerbit Little Brown untuk penjualan ke seluruh dunia. Malala Yousafzai sesungguhnya memiliki bakat menulis. Malala menulis di blog, pada layanan berbahasa Urdu, di situs BBC Urdu. Aktivitas menulis itu, ia lakukan sejak sekitar tahun 2009, dengan nama samaran My Swat.
Malala Yousafzai menulis di blog-nya, seperti halnya gadis seusianya menulis catatan harian. Yang ia tuliskan sehari-hari adalah tentang kehidupan di Lembah Swat, khususnya setelah Taliban memperluas pengaruh mereka di kawasan tersebut dan melarang anak perempuan pergi ke sekolah. Malala menulis dari rumahnya, di kota Mingora, di wilayah barat laut Pakistan. Melalui cara itulah ia berbagi kisah tentang perjuangannya sebagai anak perempuan, untuk meraih pendidikan.
Meski berminat serta berbakat menulis, Malala Yousafzai tidak menulis buku I Am Malala tersebut sendirian. Malala mengerjakan buku itu bersama Christina Lamb[1], seorang wartawan Inggris, yang menjadi Koresponden Asing. Buku tersebut secara keseluruhan mengisahkan kehidupan Malala, sebelum dan setelah insiden 9 Oktober 2012. Kita tahu, saat itu, orang-orang bersenjata naik ke sebuah bus sekolah dan bertanya, "Mana salah satu dari kalian yang bernama Malala? Bicaralah!”
Ketika ia teridentifikasi, seorang pria bersenjata menembak kepala Malala Yousafzai. Peluru serdadu tersebut melewati kepala, leher, dan bersarang di bahunya. Yousafzai diterbangkan ke Inggris, kemudian dirawat di Queen Elizabeth Hospital di Brimingham. Ia menjalani operasi untuk merekonstruksi kembali tengkoraknya dan mengembalikan fungsi pendengarannya. Pada akhirnya, kisah ini bukan lagi sekadar tentang perjuangan pendidikan, tapi sekaligus menjadi kisah kemanusiaan yang menggetarkan[2].
Buku Kemanusiaan dari Christina