Jika kita sungguh-sungguh mencermati, salah satu ukuran kemajuan sebuah negeri, adalah partisipasi publik. Dalam mengukur Indeks Kota Cerdas, komponen partisipasi publik ini menjadi salah satu komponen yang penting. Bila kita korelasikan dengan kelahiran Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang mendasarinya adalah partisipasi publik, dalam hal ini partisipasi para pemuda dari berbagi suku yang ada. Dan, partisipasi publik tersebut bisa tumbuh, karena para pemuda dari berbagai suku saat itu, memiliki tingkat toleransi yang tinggi dengan sesama, demi mewujudkan Indonesia.
Dari sejumlah literatur, kita tahu, Kongres Pemuda I dan II, yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda, digagas oleh banyak perwakilan suku. Antara lain, ada Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan lainnya. Mereka menyatukan spirit untuk mewujudkan Indonesia, dengan landasan budaya yang kuat, hingga mereka memiliki kebanggaan yang tinggi sebagai perwakilan budayanya. Mereka menempatkan budaya dari suku masing-masing, sebagai pilar. Sikap dan perilaku mereka, mengacu pada keluhuran nilai-nilai budaya masing-masing suku.
Di atas keluhuran nilai-nilai budaya masing-masing suku itulah ditanam dengan subur sikap toleransi dengan sesama. Saling menghargai, juga saling menghormati. Para pemuda pendahulu kita itu, tampil beradab serta menghormati adat masing-masing suku, meski mereka masih sangat muda. Meski mereka bukanlah para ketua pemangku adat. Sikap mereka dalam Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II, menunjukkan bahwa toleransi telah berkontribusi secara signifikan bagi kemajuan cita-cita mereka untuk mewujudkan Indonesia.
Dari sejumlah literatur, kita juga tahu, tidak ada Jong Batak yang menghina Jong Java. Juga, tidak ada Jong Ambon yang melecehkan Kaum Betawi. Mereka menjaga adat serta martabat masing-masing suku, karena mereka tidak ingin merusak nilai-nilai luhur dari suku masing-masing. Nah, spirit toleransi telah dikukuhkan dalam Sumpah Pemuda, pada 28 Oktober 1928. Hak Asasi Manusia atau Universal Independent of Human Right, sudah dideklarasikan PBB, pada 10 Desember 1948. Tapi, kenapa hingga hari ini, sebagian dari kita, masih cakar-cakaran atas nama agama, suku, dan keturunan?
Merawat Kebersamaan di Kompasiana
Merawat spirit kebersamaan di Kompasiana adalah bagian yang tidak kalah pentingnya, sebagai bentuk kontribusi komunitas dalam konteks keindonesiaan. Thamrin Sonata[4] adalah salah seorang Kompasianer, yang dengan telaten merawat kebersamaan itu, dari waktu ke waktu. Bukan hanya itu. Thamrin Sonata juga mencarikan jalan, bagi Kompasianer yang hendak menerbitkan buku secara perseorangan. Catatan Kecil, Perjalanan PNPM-MPd karya Iskandar Zulkarnain dan Cara Narsis Bisa Nulis karya Rifki Feriandi adalah dua contoh di antaranya.
Selain itu, Thamrin Sonata juga dengan senang hati menghubungkan Kompasianer yang hendak menerbitkan buku di penerbit major. Buku Rahasia Top Menulis karya Much. Khoiri, misalnya, dijembatani oleh Thamrin Sonata, hingga buku tersebut diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Kita tahu, Pak TS, demikian sapaannya, memang memiliki akses yang cukup luas dengan para profesional yang aktif di dunia penerbitan buku. Karena itulah ia secara luwes bergerak dari satu penerbit ke penerbit lain, untuk menjajaki berbagai kemungkinan bagi naskah buku yang dipercayakan Kompasianer kepadanya.
Itu adalah sebagian dari upayanya untuk merawat kebersamaan di Kompasiana. Dalam konteks bedah buku Indonesia Kita, Satu besok, Selasa (27/10/2015), pukul 15.30 WIB, upaya merawat kebersamaan itu pun tercermin dengan jelas. Selain Pak Tjip, pada kesempatan tersebut juga akan tampil Unggul Sagena dan Ismail Suardi Wekke, dua Kompasianer yang juga akan turut membahas spirit Sumpah Pemuda di buku keroyokan itu. Melalui cara ini, Thamrin Sonata sesungguhnya tengah berupaya membuka ruang percakapan kreatif tentang Sumpah Pemuda, secara lintas generasi.
Apa yang sudah dan akan dilakukan Thamrin Sonata tersebut, pada dasarnya mungkin sudah dilakukan pula oleh Kompasianer yang lain, sesuai dengan bidang serta minat masing-masing. Karena itu, patutlah kiranya kita memberikan apresiasi kepada Kompasianer, yang dengan kelapangan hati telah berupaya merawat kebersamaan di Kompasiana. Kesediaan untuk berbagi, kesediaan untuk saling support, barangkali akan semakin melapangkan ruang percakapan kreatif bagi kita semua. Dengan kata lain, 28 Oktober 2015 ini adalah momentum yang positif bagi kita untuk memaknai tiga komponen penting Sumpah Pemuda: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Â
Jakarta, 26 Oktober 2015