Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dari Kompasianer of the Year dengan Spirit Sumpah Pemuda untuk Indonesia

26 Oktober 2015   10:45 Diperbarui: 26 Oktober 2015   10:50 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku tentang Sumpah Pemuda, yang ditulis oleh 24 Kompasianer ini, mendapat kehormatan untuk dibahas oleh Tjiptadinata Effendi, Kompasianer of the Year 2014. Pak Tjip adalah sosok yang relatif komplit dan penuh dimensi, untuk membahas tentang spirit Sumpah Pemuda, khususnya untuk kita yang lahir setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ia menjadi bagian yang mengalami secara intens dari tiga komponen penting Sumpah Pemuda: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Foto: koleksi pribadi

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Pak Tjiptadinata[1] adalah Kompasianer of the Year 2014. Besok, Selasa (27/10/2015), pukul 15.30 WIB, Tokoh Kompasiana itu datang dari Australia dan akan membahas tentang Sumpah Pemuda, dalam konteks merawat rasa kebangsaan. Diskusi istimewa ini sekaligus menyambut ajang kopdar terbesar Kompasianival 2015.

Event keren itu, akan digelar di Kantor Kompasiana[2], Gedung Kompas Gramedia, Unit II, Ruang Studio Lt. 6, Jl. Palmerah Barat No. 29-37, Jakarta Barat. Bila berminat hadir, silakan daftar di Kompasianer Bedah Buku . Pak Tjip, demikian kita menyapanya, adalah sosok yang sangat relevan untuk bicara tentang Sumpah Pemuda, dalam konteks merawat rasa kebangsaan. Ia lahir di Padang, Sumatera Barat, dengan nama Kim Liong. Dari namanya saja, kita tahu, ada darah Tiongkok yang mengalir di nadinya. Dan, dari tempat kelahirannya, kita juga tahu, Indonesia adalah tumpah darahnya.

Dari Kim Liong ke Tjiptadinata

Lahir dengan nama Kim Liong adalah wujud dari penghormatan orangtuanya kepada para leluhur. Meski demikian, secara administratif, dalam seluruh surat-surat resmi, termasuk Ijazah, Passport, dan Surat Izin Mengemudi (SIM), nama lengkapnya adalah Tjiptadinata Effendi. Ini menunjukkan kepada kita bahwa secara fisik dan batin, Pak Tjip adalah saudara kita, yang se-tanah air serta sebangsa dengan kita. Ia pun senantiasa menulis dalam bahasa Indonesia dan tiada henti menggelorakan semangat cinta tanah air, melalui berbagai tulisannya.

Padahal, kita tahu, sejak tahun 2006, Pak Tjip bermukim di Wollongong, kota terbesar ketiga di negara bagian New South Wales, Australia, setelah Sydney dan Newcastle. Wollongong berada sekitar 80 kilometer sebelah selatan Sydney. Dari tempat yang berbeda benua itu, Pak Tjip senantiasa menebarkan rasa kebangsaan kepada kita, melalui Kompasiana. Yang lebih mengesankan, di sejumlah kolom komentar, Pak Tjip juga kerap menggunakan bahasa Minang. Ini setidaknya merupakan pertanda bahwa Pak Tjip juga senantiasa memelihara kearifan lokal tanah Minangkabau, sebagai tumpah darahnya.

Sampai di sini, kita tahu, Pak Tjip adalah sosok yang relatif komplit dan penuh dimensi, untuk membahas tentang spirit Sumpah Pemuda. Ia menjadi bagian yang barangkali akan lebih intens untuk menggambarkan serta menginspirasi kita, terkait tiga komponen penting Sumpah Pemuda: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Semasa remaja, Pak Tjip bersekolah di SMA Don Bosco, Padang. SMA ini didirikan pada 1 April 1952. Sebagai catatan, Agung Laksono adalah angkatan tahun 1964 di sekolah ini. Dalam perayaan 60 tahun Don Bosco, pada Sabtu-Minggu (30-31/8/2014), Agung Laksono[3] mengungkapkan bahwa SMA Don Bosco adalah sebuah sekolah Katolik yang merupakan miniatur Indonesia, dengan banyak kemajemukan.

Bagaimana Pak Tjip menjalani masa kanak-kanak dan remajanya, dengan menyandang nama kecil Kim Liong? Ini tentu terkait dengan proses sosialisasi, yang tercermin pada sikap toleransi lingkungan sosial. Dalam konteks Sumpah Pemuda, tentu hal yang ingin kita dengar dari Pak Tjip adalah aspek toleransi serta rasa kebersamaan yang ia lalui sehari-hari, khususnya di masa kanak-kanak dan remaja. Kita tahu, Sumpah Pemuda adalah kristalisasi dari spirit pemuda berbagai suku, yang bisa dikatakan sebagai salah satu puncak toleransi sosial pemuda kita masa itu.

Para pemuda pendahulu kita itu, tampil beradab serta menghormati adat masing-masing suku, meski mereka masih sangat muda. Meski mereka bukanlah para ketua pemangku adat. Sikap mereka dalam Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II, menunjukkan kepada kita, bagaimana mereka dengan sehati dan sejiwa, mengelola sikap toleransi secara signifikan, bagi kemajuan cita-cita mereka untuk mewujudkan Indonesia. Foto: tempo.co

Toleransi untuk Kemajuan

Jika kita sungguh-sungguh mencermati, salah satu ukuran kemajuan sebuah negeri, adalah partisipasi publik. Dalam mengukur Indeks Kota Cerdas, komponen partisipasi publik ini menjadi salah satu komponen yang penting. Bila kita korelasikan dengan kelahiran Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang mendasarinya adalah partisipasi publik, dalam hal ini partisipasi para pemuda dari berbagi suku yang ada. Dan, partisipasi publik tersebut bisa tumbuh, karena para pemuda dari berbagai suku saat itu, memiliki tingkat toleransi yang tinggi dengan sesama, demi mewujudkan Indonesia.

Dari sejumlah literatur, kita tahu, Kongres Pemuda I dan II, yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda, digagas oleh banyak perwakilan suku. Antara lain, ada Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan lainnya. Mereka menyatukan spirit untuk mewujudkan Indonesia, dengan landasan budaya yang kuat, hingga mereka memiliki kebanggaan yang tinggi sebagai perwakilan budayanya. Mereka menempatkan budaya dari suku masing-masing, sebagai pilar. Sikap dan perilaku mereka, mengacu pada keluhuran nilai-nilai budaya masing-masing suku.

Di atas keluhuran nilai-nilai budaya masing-masing suku itulah ditanam dengan subur sikap toleransi dengan sesama. Saling menghargai, juga saling menghormati. Para pemuda pendahulu kita itu, tampil beradab serta menghormati adat masing-masing suku, meski mereka masih sangat muda. Meski mereka bukanlah para ketua pemangku adat. Sikap mereka dalam Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II, menunjukkan bahwa toleransi telah berkontribusi secara signifikan bagi kemajuan cita-cita mereka untuk mewujudkan Indonesia.

Dari sejumlah literatur, kita juga tahu, tidak ada Jong Batak yang menghina Jong Java. Juga, tidak ada Jong Ambon yang melecehkan Kaum Betawi. Mereka menjaga adat serta martabat masing-masing suku, karena mereka tidak ingin merusak nilai-nilai luhur dari suku masing-masing. Nah, spirit toleransi telah dikukuhkan dalam Sumpah Pemuda, pada 28 Oktober 1928. Hak Asasi Manusia atau Universal Independent of Human Right, sudah dideklarasikan PBB, pada 10 Desember 1948. Tapi, kenapa hingga hari ini, sebagian dari kita, masih cakar-cakaran atas nama agama, suku, dan keturunan?

Thamrin Sonata (kedua dari kanan) tiada henti merawat kebersamaan di Kompasiana, melalui penerbitan karya Kompasianer dalam wujud buku secara keroyokan. Buku Indonesia Kita, Satu adalah buku ke-18 yang diinisiasi sekaligus dieditori oleh Thamrin Sonata, yang kemudian diterbitkan Kompasianer Peniti Community (KPC). Pepih Nugraha (kanan), selaku COO Kompasiana, men-support penerbitan buku ini, sebagai upaya memajukan dunia literasi Indonesia. Thamrin dan Pepih berfoto bersama Pak Tjip dan Bu Tjip, Roselina Tjiptadinata, yang juga aktif menulis di Kompasiana. Foto: kompasiana.com

Merawat Kebersamaan di Kompasiana

Merawat spirit kebersamaan di Kompasiana adalah bagian yang tidak kalah pentingnya, sebagai bentuk kontribusi komunitas dalam konteks keindonesiaan. Thamrin Sonata[4] adalah salah seorang Kompasianer, yang dengan telaten merawat kebersamaan itu, dari waktu ke waktu. Bukan hanya itu. Thamrin Sonata juga mencarikan jalan, bagi Kompasianer yang hendak menerbitkan buku secara perseorangan. Catatan Kecil, Perjalanan PNPM-MPd karya Iskandar Zulkarnain dan Cara Narsis Bisa Nulis karya Rifki Feriandi adalah dua contoh di antaranya.

Selain itu, Thamrin Sonata juga dengan senang hati menghubungkan Kompasianer yang hendak menerbitkan buku di penerbit major. Buku Rahasia Top Menulis karya Much. Khoiri, misalnya, dijembatani oleh Thamrin Sonata, hingga buku tersebut diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Kita tahu, Pak TS, demikian sapaannya, memang memiliki akses yang cukup luas dengan para profesional yang aktif di dunia penerbitan buku. Karena itulah ia secara luwes bergerak dari satu penerbit ke penerbit lain, untuk menjajaki berbagai kemungkinan bagi naskah buku yang dipercayakan Kompasianer kepadanya.

Itu adalah sebagian dari upayanya untuk merawat kebersamaan di Kompasiana. Dalam konteks bedah buku Indonesia Kita, Satu besok, Selasa (27/10/2015), pukul 15.30 WIB, upaya merawat kebersamaan itu pun tercermin dengan jelas. Selain Pak Tjip, pada kesempatan tersebut juga akan tampil Unggul Sagena dan Ismail Suardi Wekke, dua Kompasianer yang juga akan turut membahas spirit Sumpah Pemuda di buku keroyokan itu. Melalui cara ini, Thamrin Sonata sesungguhnya tengah berupaya membuka ruang percakapan kreatif tentang Sumpah Pemuda, secara lintas generasi.

Apa yang sudah dan akan dilakukan Thamrin Sonata tersebut, pada dasarnya mungkin sudah dilakukan pula oleh Kompasianer yang lain, sesuai dengan bidang serta minat masing-masing. Karena itu, patutlah kiranya kita memberikan apresiasi kepada Kompasianer, yang dengan kelapangan hati telah berupaya merawat kebersamaan di Kompasiana. Kesediaan untuk berbagi, kesediaan untuk saling support, barangkali akan semakin melapangkan ruang percakapan kreatif bagi kita semua. Dengan kata lain, 28 Oktober 2015 ini adalah momentum yang positif bagi kita untuk memaknai tiga komponen penting Sumpah Pemuda: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia.  

Jakarta, 26 Oktober 2015

----------------------------

Sumpah Pemuda diikrarkan pada Senin malam, 28 Oktober 1928, jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan diproklamirkan, pada 17 Agustus 1945. Spirit persatuan inilah yang harus senantiasa kita rawat.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/karena-sumpah-pemuda-kita-telah-merdeka-17-tahun-sebelum-proklamasi_561b087d359373a8118608d0

Thamrin Sonata tiada henti merawat kebersamaan di Kompasiana, melalui penerbitan karya Kompasianer dalam wujud buku secara keroyokan dan perorangan. Ini adalah buku ke-16 dan 17.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/2-buku-baru-dari-kompasianer-peniti-community-sebagai-life-investment_55da7153397b6116048b4567

--------------------------

[1] Tjiptadinata Effendi aktif menulis di Kompasiana, sejak 15 Oktober 2012. Saking aktif dan produktifnya menulis, ia dinobatkan sebagai Kompasianer of The Year tahun 2014. Sebagian tulisannya sudah diterbitkan sebagai buku. Semasa kanak-kanak, namanya Kim Liong. Namun, dalam surat-surat resmi, termasuk Ijazah, Passport, dan Surat Izin Mengemudi (SIM), namanya Tjiptadinata Effendi. Ia berasal dari Padang, Sumatera Barat. Semasa remaja, ia sekolah di SMA Don Bosco, Padang, yang berdekatan dengan Museum Adityawarman dan tak berapa jauh dari Pusat Kesenian Padang (Taman Budaya Padang). Istrinya, Roselina Tjiptadinata, juga aktif menulis di Kompasiana. Sang istri adalah adik kelasnya di SMA Don Bosco. Kini, Tjiptadinata Effendi bermukim di Wollongong, kota terbesar ketiga di negara bagian New South Wales, Australia, setelah Sydney dan Newcastle. Wollongong berada sekitar 80 kilometer sebelah selatan Sydney.

[2] Kompasiana adalah bagian dari Kompas Gramedia Grup, yang menjadi wadah bagi para penulis, para blogger. Dan, Kompasianer adalah sebutan untuk para penulis di media warga Kompasiana, yang dirintis oleh Pepih Nugraha, sejak tahun 2008. Nama Kompasiana dicetuskan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas. Nama Kompasiana pada awalnya merupakan salah rubrik di Harian Kompas, yang diisi oleh PK Ojong, pendiri Kompas. Pepih Nugraha bergabung dengan Harian Kompas, sejak tahun 1990. Saat ini, tercatat sekitar 300.000 penulis di Kompasiana. Sehari-hari, Pepih Nugraha akrab disapa Kang Pepih.

[3] Peringatan 60 tahun Don Bosco tersebut mengangkat tema Saiyo Sakato, yang terjemahan bebasnya seiya sekata. Acara itu dihadiri sekitar 1.500 alumni dari berbagai kota dan mancanegara. Dalam sambutannya, Uskup Padang, Mgr Martinus Dogma Situmorang OFMCap, mengatakan, acara ini merupakan kegembiraan, penghayatan, keakraban, persatuan, dan persaudaraan. Selengkapnya, silakan baca SMA Don Bosco Padang 60 Tahun, yang dilansir hidupkatolik.com, pada Jumat l 26 September 2014 l 13:03 WIB.

[4] Thamrin Sonata lahir di Pemalang, Jawa Tengah. Ia menjadi Kompasianer sejak 22 September 2012. Di lingkungan Kompas-Gramedia, ia bukanlah orang baru. Di rentang tahun 1980-1990, Thamrin Sonata malang-melintang menulis di Majalah Hai, Tabloid Nova, dan Tabloid Monitor. Selain sebagai wartawan, ia juga aktif menulis fiksi. Di media audio visual, ia juga menjadi bagian dari Kabar-Kabari, perintis program entertainment di televisi. Di urusan penerbitan buku, Thamrin Sonata termasuk kategori gerilyawan, bergerilya ke mana-mana. Salah satu bukunya, Tragedi Semanggi 1998, dengan Kata Pengantar oleh Amien Rais.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun