Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemulihan Trauma Istri dan Anak Salim Kancil serta Keluarga Para Tersangka

10 Oktober 2015   12:55 Diperbarui: 10 Oktober 2015   15:43 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari kiri ke kanan. Di hari Salim Kancil dibunuh, Tijah seperti biasanya mengawali pagi dengan berangkat mencari rambanan, dedaunan untuk pakan kambingnya. Ia sama sekali tidak mendapat pertanda bahwa pagi itu adalah pagi terakhir ia melihat suaminya. Dio Eka Saputra (13), anak Salim Kancil, ingin menjadi polisi. "Saya ingin jadi polisi yang benar-benar melindungi masyarakat kecil," kata Dio, saat ditemui wartawan, pada Sabtu (3/10/2015). Foto: detik.com, tribunnews.com, dan beritajatim.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Ini hari Sabtu, weekend yang disambut banyak keluarga dengan suka-cita. Namun, tidak demikian halnya dengan istri dan anak Salim Kancil. Mereka diburu orang-orang tak dikenal. Istri dan anak para tersangka, mengurung diri di rumah. Sudah berhari-hari mereka tidak sekolah.

Inilah bagian dari pasca konflik, tragedi berdarah tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang. Belum lagi reda guncangan psikis akibat Salim Kancil dibunuh dengan sadis[1] oleh puluhan orang sekampungnya, guncangan berikutnya datang menyusul. Sejumlah orang tak dikenal, mendatangi Tijah[2], istri Salim Kancil. Perempuan sederhana yang berusia 40 tahun dan buta huruf tersebut, dipaksa menandatangani lembaran surat bermaterai, yang ia sendiri tak paham apa isi dan maksudnya. Karena Tijah tidak bisa membuat tanda tangan, orang-orang itu memaksanya membubuhkan cap jempol. Setelah mendapatkan cap jempol, tiga orang itu pergi meninggalkan rumah almarhum Salim Kancil.

Tijah, Korban Tanpa Perlindungan

Bukan hanya sekali Tijah dipaksa membubuhkan cap jempol oleh sekelompok orang yang berbeda-beda, tapi berkali-kali. Kepada wartawan, Tijah bercerita bahwa ia hanya sekali membubuhkan cap jempol, yaitu di lembaran yang disodorkan tiga orang tak dikenal, yang datang pertama. Itu semata-mata karena ketidaktahuannya. Kepada mereka yang datang kemudian, Tijah menolak, meski mereka juga memaksa. Dalam konteks tragedi berdarah tambang pasir Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur, tersebut, keluarga Salim Kancil sesungguhnya adalah korban ketidakadilan[3], korban pembunuhan oleh mereka yang pro-penambangan pasir ilegal.  

Setelah suaminya dibunuh dengan cara yang keji, kepada siapa Tijah minta perlindungan? Atau, siapa yang sepatutnya melindunginya? Adakah mekanisme yang mengatur perlindungan terhadap korban konflik sosial seperti Tijah? Dari sejumlah pemaksaan cap jempol tersebut, kita tahu, tidak ada pihak yang melindunginya. Katakanlah, tidak ada pihak yang mendampingi Tijah, mengingat ia masih trauma dan ia bisa disebut tidak cakap di mata hukum[4], karena buta huruf. Ia memang punya anak yang tinggal bersamanya, yaitu Dio Eka Saputra, yang kini masih duduk di bangku SMP.

Artinya, membiarkan keluarga korban ini sendirian menghadapi pressure, tekanan fisik maupun psikis, tentulah menunjukkan kepada kita, betapa tidak pedulinya pihak berwenang terhadap rakyatnya sendiri. Barangkali perlu dipertimbangkan, adanya bagian di tingkat kecamatan atau kabupaten, yang menangani situasi-kondisi seperti yang dihadapi keluarga Tijah kini. Bukankah desa dan warga desa seperti Tijah di Desa Selok Awar-Awar ini, masih cukup banyak di negeri ini? Setidaknya, Tijah menjadi bagian dari potret kemiskinan dan ketertinggalan, yang hanya mampu menggapai hak-hak kemanusiaan serta hak sosial di batas minimal.

Data yang dikemukakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar[5], pada Senin (27/4/2015), menunjukkan, jumlah desa tertinggal mencapai 39.091 desa, dari 74.093 jumlah desa di Indonesia. Dengan kata lain, lebih dari 50 persen desa kita, berada dalam status desa tertinggal, yang sebagian warganya membutuhkan bantuan, perlindungan, dan pendampingan, jika menghadapi situasi-kondisi seperti Tijah, istri Salim kancil, ini. Dalam konteks Jawa Timur, sebagaimana dikatakan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, M. Sairi Hasbullah[6], di Surabaya, pada Kamis (17/9/2015), hingga Maret 2015, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur mencapai 4,789 juta jiwa.

Tijah (paling kanan), istri Salim Kancil, menemui para tamu yang berkunjung ke rumahnya. Selain masih trauma setelah pembunuhan suaminya, Tijah kini kesulitan mencari nafkah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Tijah kini hanya mengandalkan santunan dari sejumlah relawan yang peduli terhadap kasus Salim Kancil. Pasangan Salim Kancil dan Tijah adalah potret keluarga yang sesungguhnya penuh dengan keterbatasan. Terbatas secara ekonomi, terbatas pula secara pendidikan. Foto: viva.co.id

Anak Tersangka, Takut Sekolah

Dari tragedi berdarah tambang pasir Desa Selok Awar-Awar ini, aparat berwenang telah menetapkan 37 tersangka, 24 orang dinyatakan terlibat kasus tindak pidana umum pembunuhan dan pengeroyokan terhadap Salim Kancil dan Tosan. Selebihnya, 13 orang, ditetapkan sebagai tersangka terkait penambangan pasir ilegal. Anak-anak para tersangka ini, juga mengalami trauma, akibat perbuatan orangtua mereka. Sebagai pelajar, mereka menghadapi pressure, tekanan psikis, dari lingkungan sosialnya.

"Anak-anak dari pelaku pembantaian Salim Kancil dan Tosan, takut pergi ke sekolah. Ini harus menjadi perhatian khusus, demi pendidikan anak-anak tersebut," ujar A'ak Abdullah Al Kudus[7], Koordinator Tim Advokasi Laskar Hijau, di Surabaya, pada Kamis (8/10/2015). Sama halnya dengan yang dihadapi Tijah dan anaknya, mereka juga membutuhkan bantuan, perlindungan, dan pendampingan, menghadapi situasi-kondisi, yang tidak sepenuhnya mereka pahami. Bagaimanapun juga, mereka adalah tunas-tunas bangsa, generasi penerus, yang diharapkan lebih baik dari generasi pendahulunya.

Apa yang dialami Tijah dan anaknya serta pressure yang dihadapi keluarga dan anak-anak para tersangka, menunjukkan kepada kita, betapa banyaknya implikasi akibat konflik sosial penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar tersebut. Secara kasat mata, barangkali tidak begitu kentara. Namun, secara psikis, situasi-kondisi ini sesungguhnya sangat serius. Kita tentu tidak ingin, tragedi berdarah ini menimbulkan dendam sosial dari warga yang terkait secara langsung dengan peristiwa tersebut. Bagaimanapun juga, mereka adalah warga sedesa, dan warga yang terlibat demikian banyak.

Bila tidak ditangani dengan baik, ini bisa menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa meledak, sebagai bentuk pembalasan. Kita tahu, ada begitu banyak penambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, yang terganggu periuk nasi mereka, karena peristiwa ini. Juga, ada begitu banyak petani yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami gagal panen akibat penambangan pasir. Di samping itu, serangkaian proses hukum, sedang dan akan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang, di kantor polisi, di sidang pengadilan, hingga di rumah tahanan. Pihak berwenang tentu tidak bisa memandang remeh implikasi dari semua itu.

Para tersangka tragedi berdarah penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, dipindahkan ke Polda Jawa Timur. Bukan hanya Salim Kancil dan Tosan yang menjadi korban akibat perbuatan mereka, tapi juga istri dan anak-anak mereka sendiri, yang ketakutan keluar rumah serta takut berangkat ke sekolah. Ada begitu banyak ekses dari konflik sosial ini, yang membutuhkan kesungguhan banyak pihak untuk kembali memulihkannya. Foto: kompas.com

Supaya Netral dan Transparan

Langkah Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Anton Setiadji, patut kita apresiasi. Ia mengambil alih penanganan tragedi berdarah di Desa Selok Awar-Awar, sebagai kewenangan Polda. ”Semua kasus kita ambil alih ke Polda. Kita tidak mau ada kepentingan di tingkat Polres Lumajang. Ini supaya netral dan secara transparan kita akan sampaikan perkembangannya,” ungkap Anton Setiadji[8], pada Kamis (1/10/2015) lalu. Secara keamanan sehari-hari, situasi di desa tersebut memang sudah kondusif. Satu kompi Brimob dari Polres Malang serta satuan Sabara nampak berjaga-jaga di sejumlah titik desa.

Salah satu acuan dalam penanganan konflik sosial adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2015, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo[9]. PP itu merupakan peraturan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2012, tentang Penanganan Konflik Sosial. Adapun pemulihan pasca konflik, menjadi kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur sesuai dengan kewenangannya. Pemulihan pasca konflik sebagaimana dimaksud, meliputi rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Kita tahu, tiga hari setelah Salim Kancil dibunuh secara sadis, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, agar segera mengusut tuntas pelaku pembunuhan tersebut. Hal itu dikemukakan Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki, di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa (29/9/2015). Apakah pemerintah menilai tragedi berdarah di Desa Selok Awar-Awar sebagai sebuah peristiwa kriminal umum atau sebagai konflik sosial? Peraturan apa yang relevan diterapkan untuk tragedi berdarah tersebut? Tentu, pemerintah yang memiliki kewenangan akan hal tersebut.

Yang jelas, pemulihan pasca konflik, adalah sesuatu yang sudah sepatutnya dilakukan di Desa Selok Awar-Awar. Dengan dihentikannya penambangan pasir serta rusaknya berhektar-hektar lahan pertanian warga, dampak sosial-ekonominya tidaklah sedikit. Beragam aspek tersebut perlu ditangani dengan sungguh-sungguh. Sejauh ini, langkah untuk pemulihan sosial-ekonomi serta implementasi untuk pemulihan trauma warga, belum nampak di sana. Apa yang dialami Tijah dan anaknya serta pressure yang dihadapi keluarga dan anak-anak para tersangka, menunjukkan kepada kita, belum ada program kongkrit terkait pemulihan tersebut.

Jakarta, 10 Oktober 2015

--------------------------

Salim Kancil dan Tosan adalah korban dari hukum yang tidak kunjung tegak. Apakah setelah Salim Kancil tewas dibunuh, hukum bisa tegak di sana sebagaimana mestinya?

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/kematian-salim-kancil-vs-kredibilitas-as-at-malik-sebagai-bupati-lumajang_5614742e0bb0bd5e11abc3ea

Dari Salim Kancil, kita bisa belajar, bagaimana mengolah rawa di pesisir pantai, jadi lahan pertanian. Ia inovator yang tangguh, mengubah 10 hektar rawa di Watu Pecak, jadi lahan produktif.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/belajar-dari-salim-kancil-mencetak-10-hektar-rawa-jadi-sawah-di-lumajang_5617374ff592733912d974c4

--------------------------

[1] Salim Kancil yang menolak penambangan pasir, dibunuh secara sadis oleh sekitar 40-an preman yang pro penambangan pasir ilegal. Salim Kancil dijemput paksa di rumahnya, pada Sabtu (26/9/2015). Saat itu, Salim Kancil sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun. Ia diseret paksa, disetrum, dan digergaji. Selengkapnya, silakan baca Ini Kronologi Pembunuhan Sadis Salim Kancil, yang dilansir republika.co.id, pada Senin l 28 September 2015 l 11:39 WIB dan Inilah Kronologi Kematian Salim Kancil yang Menolak Tambang Pasir di Lumajang Versi Walhi, yang dilansir intisari-online.com, pada Selasa l 29 September 2015 l 10:30 WIB.

[2] Tijah, istri Salim Kancil, berkali-kali didatangi orang-orang tak dikenal, setelah Salim Kancil dibunuh. Mereka menyodorkan berkas yang sudah ada tulisannya, bukan blangko kosong. Mereka memaksa Tijah menandatanganinya. Tijah mengaku tak mengerti berkas yang disodorkan tersebut. Sebab, dia buta huruf. Selengkapnya, silakan baca Waduh, Banyak Orang Tak Dikenal Datangi Istri Salim Kancil, Mereka Memaksa..., yang dilansir jpnn.com, pada Senin l 05 Oktober 2015 l 21:12:00 WIB.

[3] Salim Kancil tewas dan Tosan (48) luka-luka, setelah dikeroyok terkait sengketa pro dan kontra penambangan pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada Sabtu (26/9/2015) siang. Selengkapnya, silakan baca Dikeroyok karena Tolak Tambang Pasir, Satu Warga Tewas, Satu Luka, yang dilansir kompas.com, pada Senin l 28 September 2015 | 12:44 WIB.

[4] Ada 20 pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Jember, Walhi, Kontras, dan berbagai elemen lainnya, yang siap mendampingi pemeriksaan saksi dan keluarga korban hingga persidangan. Jarmoko, pengacara yang mendampingi korban, berharap ada psikiater yang memberikan konseling kepada saksi dan keluarga korban. Jarmoko juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan sepenuhnya terhadap saksi dan keluarga korban. Selengkapnya, silakan baca Saksi-saksi Pembunuhan Salim Kancil Butuh Psikiater, yang dilansir kompas.com, pada Kamis l 8 Oktober 2015 | 14:50 WIB.

[5] Marwan Jafar mengatakan hal itu dalam seminar Rembug Nasional Membangun Indonesia dari Pinggiran, di Jakarta, pada Senin (27/4/2015). Selengkapnya, silakan baca Marwan: Jumlah Desa Tertinggal Sebenarnya Lebih Banyak, yang dilansir republika.co.id, pada Senin l 27 April 2015 l 16:22 WIB.

[6] Selengkapnya, silakan baca BPS: Angka Kemiskinan Wilayah Pedesaan Jatim Naik, yang dilansir antarajatim.com, pada Kamis l 17 September 2015 l 16:54 WIB.

[7] Ditangkapnya puluhan tersangka pengeroyokan dan pembunuhan Salim Kancil, membawa dampak traumatis pada anak-anak mereka. Mereka saat ini takut untuk pergi ke sekolah. Selengkapnya, silakan baca Pasca-Tragedi Salim Kancil, Anak Para Tersangka Takut ke Sekolah, yang dilansir liputan6.com, pada Kamis l 8 Oktober 2015 l 12:37 WIB.

[8] Selengkapnya, silakan baca Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Anton Setiadji, tentang Kasus Pembunuhan Aktivis Tambang di Lumajang: Kita Tidak Mau Ada Kepentingan di Tingkat Polres, yang dilansir koran-jakarta.com, pada Kamis l 1 Oktober 2015 l 00:26 WIB.

[9] Selengkapnya, silakan baca Presiden Terbitkan PP Penanganan Konflik Sosial, yang dilansir kompas.com, pada Kamis l 12 Februari 2015 | 21:17 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun