---------------------------
Salim Kancil dan Tosan adalah korban dari hukum yang tidak kunjung tegak. Penegak hukum silih berganti, tapi penambang pasir ilegal di Lumajang, malah makin menjadi-jadi.
Petani adalah mereka yang memahami tanah sebagai sumber kehidupan. Mereka pekerja yang ulet. Mereka belajar dari alam, karena mereka menyadari bahwa mereka bagian dari alam.
--------------------------
[1] Istri Salim Kancil, Tijah, mengisahkan, suaminya bersama 40 warga Desa Selok Awar-Awar, sejak 1980-an, mengolah rawa-rawa menjadi sawah. Dengan telaten, Salim Kancil bersama warga lainnya, menyeret pasir pantai Watu Pecak untuk menguruk rawa, agar menjadi lahan sawah. Sampai akhirnya, ada 10 hektar lahan di pesisir Watu Pecak, mereka ubah menjadi sawah, yang menghidupi kebutuhan hidup sedikitnya 40 kepala keluarga. Salim sendiri mampu mengolah 10 petak sawah dengan luas sekitar dua hektar. Selengkapnya, silakan baca Bung Karno Inspirasi Salim Kancil Lawan Tambang Ilegal, yang dilansir viva.co.id, pada Kamis l 1 Oktober 2015 | 06:25 WIB.
[2] Salah satu visi misi Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah mewujudkan kemandirian ekonomi, dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Antara lain, mewujudkan kedaulatan pangan, melalui kebijakan perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 juta hektar sawah serta mencetak 1 juta hektar lahan sawah baru. Selengkapnya, silakan baca Jokowi-JK Janji Cetak 1 Juta Hektar Sawah Baru di Luar Jawa, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 21 Mei 2014 | 11:02 WIB.
[3] Sawah milik Salim Kancil dan warga, rusak akibat penambangan pasir illegal. Menurut Imam, rekan Salim Kancil, sudah sekitar tiga tahun belakangan, Salim Kancil tidak bisa menikmati hasil sawahnya. Di samping mengakibatkan sawah warga gagal panen, aktivitas penambangan secara ilegal itu, juga merusak lingkungan. Selengkapnya, silakan baca Begini Kondisi Sawah Milik Salim Kancil yang Rusak Akibat Penambangan Pasir Liar, yang dilansir tribunnews.com, pada Senin l 5 Oktober 2015 l 21:47 WIB.
[4] Camat Pasirian, Abdul Basar, Kepala Bagian Ekonomi, Ninis Rachmawati, dan anggota staf Perhutani, diperiksa tim penyidik Kepolisian Resor Lumajang, pada Rabu (7/10/2015). Mereka diperiksa terkait dengan penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar. Pemeriksaan terhadap Ninis berlangsung mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WIB. Adapun Abdul Basar diperiksa pada pukul 13.00 hingga pukul 20.00 WIB. Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, pada Rabu (7/10/2015), mengemukakan, hingga kini, ada 37 berkas pemeriksaan tersangka dalam kasus konflik Selok Awar-Awar. Sebanyak 24 orang merupakan tersangka kasus penganiayaan dan pembunuhan, 9 tersangka kasus penambangan ilegal, dan 4 orang merupakan kasus pengeroyokan Tosan dan pembunuhan Salim Kancil serta penambangan ilegal di Selok Awar-Awar. Selengkapnya, silakan baca Pejabat Pemkab Lumajang Diperiksa, Kejaksaan Terima 10 Surat Perintah Dimulainya Penyidikan, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis | 8 Oktober 2015.
[5] Penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar ditolak warga, karena dinilai merusak lingkungan. Perusakan lingkungan, berupa hilangnya gunungan pasir yang selama ini menjadi tanggul penahan air laut. Akibatnya, air laut masuk menggenangi lahan sawah yang dikelola warga desa. Lahan sawah akhirnya tidak dapat ditanami, karena terendam air laut. Penambangan pasir ilegal tersebut dilakukan di atas tanah oloran atau tanah muncul, yang masuk kategori tanah negara. Petugas dari Perhutani, Kantor Pertanahan Lumajang, dan Pemerintah Kabupaten Lumajang, pada Kamis (8/10/2015), mengukur batas lahan. Pengukuran dilakukan atas permintaan Komnas HAM, untuk memastikan status tanah yang kini menjadi lokasi tambang pasir. Data tersebut akan menjadi penunjang penyelidikan kasus penambangan ilegal di Selok Awar-Awar. Selengkapnya, silakan baca Tambang di Tanah Negara, Walhi Jawa Timur Tunggu Keseriusan Polisi, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat | 9 Oktober 2015.