Momentum Bupati Lumajang
Maka, instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, dalam konteks Salim Kancil dan Tosan, adalah momentum yang tepat sekaligus tantangan bagi As'at Malik sebagai Bupati Lumajang, untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai bupati. Dalam hal ini, apakah pemerintahan yang ia pimpin, mampu mengelola sumber daya alam setempat sebagaimana mestinya? Sebagai pemimpin, apakah ia mampu menegakkan aturan dan hukum yang berlaku? Momentum dan tantangan ini penting bagi As'at Malik, di saat Presiden Joko Widodo dan publik nasional sedang menyoroti Kabupaten Lumajang.
Kita tahu, isu yang menggelembung saat ini adalah pembiaran. Di banyak media lokal dan nasional, berbagai pihak menuding bahwa peristiwa berdarah yang dialami Salim Kancil dan Tosan, terjadi karena banyak pemangku kepentingan yang berwenang di Kabupaten Lumajang, melakukan pembiaran. Hingga Minggu (4/10/2015), sudah 24 orang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan dan pembunuhan aktivis penolak tambang pasir tersebut. Gerak cepat aparat keamanan ini tentu patut kita apresiasi, sebagai bagian dari upaya penegakan hukum di Lumajang.
Gerak cepat As'at Malik sebagai Bupati Lumajang, juga patut kita apresiasi. "Seluruh biaya pengobatan Pak Tosan, akan kami tanggung. Keluarga jangan bingung dengan masalah pembiayaan. Kami juga akan membiayai anak-anak Pak Salim dan Tosan untuk sekolah," kata As'at Malik[10], pada Senin (5/10/2015). Tosan memiliki dua anak yang masih sekolah, yaitu M. Ridho, kelas tiga SMA, dan Ricko Fajar, kelas lima SD. Sementara, Salim Kancil masih memiliki seorang anak yang sekolah, yaitu Dio yang kini masih duduk di bangku SMP.
Langkah cepat aparat keamanan dan As'at Malik di atas, setidaknya menjadi upaya untuk mengikis isu pembiaran, yang kini memenuhi atmosfir pemerintahan Lumajang. Demikian pula halnya dengan sudah ditetapkannya 3 orang tersangka, terkait penambangan pasir ilegal. Transparansi As'at Malik beserta jajarannya di Lumajang, tentulah akan mempercepat proses pengungkapan kasus tersebut, sebagaimana yang diinstruksikan Presiden Joko Widodo kepada Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Â
Yang Legal dan Yang Ilegal
Karena yang melatarbelakangi kasus tersebut adalah penambangan pasir, maka transparansi akan hal ini tak kalah pentingnya. Misalnya, berapa sebetulnya jumlah penambang pasir di Kabupaten Lumajang? Berapa penambang pasir yang terdaftar dan memiliki izin dari Pemkab Lumajang? Kapan terakhir kali Pemkab Lumajang melakukan pemutakhiran data para penambang pasir? Jawaban sejumlah pertanyaan tersebut adalah pertaruhan bagi kredibilitas pemerintahan dan kepemimpinan As'at Malik sebagai Bupati Lumajang.
Jawaban tersebut sekaligus juga akan menjawab, benarkah pendapatan Pemkab Lumajang dari sektor penambangan pasir, terus merosot? Ini terkait dengan apa yang dikemukakan Achmad Jauhari di atas. Melihat banyaknya tersangka, bukan tidak mungkin kasus Salim Kancil dan Tosan, berkembang menjadi perkara korupsi, dalam konteks manipulasi di urusan perizinan, yang merugikan negara. Pada Senin (13/10/2014), misalnya, pada masa kepemimpinan Kapolres Lumajang, AKBP Singgamata[11], ada 2 lokasi tambang pasir di Desa/Kecamatan Sumber Suko dan Desa Kaliwungu, Kecamatan Tempeh, yang disegel dan ditutup.
Hingga saat ini, ada berapa tambang pasir di Lumajang, yang bisa dikatakan legal? Dan, ada berapa yang masuk kategori ilegal? Dari data yang diungkapkan Pemkab Lumajang, ada sekitar 58 tambang pasir terdaftar yang membayar pajak dan menjadi pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Lumajang, sebesar Rp 75 juta pada tahun 2014. Tambang pasir tersebut banyak terdapat di enam kecamatan yang memiliki wilayah pesisir pantai, yaitu Kecamatan Tempursari, Tempeh, Candipuro, Kunir, Pasirian, dan Yosowilangun.
Apa yang terjadi di Lumajang menunjukkan kepada kita bahwa sumber daya alam yang ada di sana, dieksploitasi oleh segelintir orang, tanpa mengindahkan aturan dan hukum yang berlaku. Dari peristiwa Salim Kancil dan Tosan, sudah sepatutnya seluruh pihak yang terkait dengan penambangan pasir di Lumajang, kembali kepada aturan dan hukum, sebagaimana mestinya. Keserakahan manusia serta ketidakpedulian pada alam, hanya akan berujung pada bencana. Dan, di banyak tempat, kita sudah menyaksikan, ketika terjadi bencana alam, akan lebih banyak yang menjadi korban.