Â
FWD Life memilih Alicia Van Akker sebagai Pemenang I Bebas Berbagi, dengan ide dan konsep bisnis Rumah MC. Alicia berfoto bersama Chief Financial Officer (CFO) FWD Life, Paul Setio Kartono. FWD Life serius mengedukasi potensi yang ada dalam masyarakat, untuk mengejar passion mereka dan mengubah passion tersebut menjadi sebuah bisnis yang berkelanjutan. Foto: fwd.co.id dan kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Yukka memilih kata Brodo untuk bisnis sepatunya. Padahal, itu nama kaldu ayam asal Italia, yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan alas kaki. Intinya, Brodo itu simpel, internasional, dan gampang diingat.
Begitulah Yukka Harlanda mencontohkan, bahwa untuk memulai bisnis, jangan membebani pikiran dengan yang berat-berat dan meribetkan. Karena, semua itu akan menguras energi, yang akhirnya mengikis energi untuk mengeksekusi bisnis yang hendak dijalani. Cara Yukka Harlanda menemukan nama Brodo itu pun ringan-ringan saja. Ia dan temannya pergi nongkrong ke tempat rental komik. Di sana, ia ngobrol dengan sesama pengunjung, sembari lihat-lihat dan baca-baca komik. Eh, ketika membaca komik Bambino, ada cerita tentang masak-memasak. Salah satunya ya memasak Brodo, kaldu ayam asal Italia. Hup, nama itu langsung nyantol di pikiran Yukka Harlanda. Akhirnya, ia gunakan sebagai brand bisnisnya, Brodo Footwear[1].
FWD Life Edukasi Potensi
Apa yang dilakukan Yukka Harlanda adalah sesuatu yang juga bisa dilakukan banyak orang. Karena itulah, FWD Life[2] menghadirkan Yukka Harlanda dalam Kopdar Bebas Berbagi, yang digelar pada Sabtu, 19 September 2015, di Kopitiam Tan, SCBD Lot 8, Jl. Jenderal Sudirman No. 52–53, Jakarta Selatan. Bukan untuk sekadar berbagi kisah sukses Brodo Footwear, tapi untuk menginspirasi kalangan muda tentang how to create a business. Yang intinya, bagaimana menggali potensi diri, bagaimana memberdayakan diri dengan cara-cara yang kreatif, seperti yang sudah dijalani Yukka Harlanda.
FWD Life, sebagai lembaga asuransi kehidupan, concern akan pemberdayaan diri ini, khususnya pada kalangan muda. Sebagai institusi asuransi jiwa yang berpatungan dengan perusahaan asuransi yang berbasis di Asia, FWD Group, FWD Life melalui kegiatan Bebas Berbagi, mengajak masyarakat Indonesia untuk meningkatkan wawasan akan pemahaman keuangan. Kerennya, ini bagian dari kontribusi FWD Life, dalam konteks literasi keuangan. Maklum, dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, jumlah masyarakat yang memiliki akses ke perbankan, tidak lebih dari 30 persen[3].
Dari survei nasional literasi keuangan tahun 2013, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat literasi keuangan Indonesia, hanya 21,84 persen penduduk yang memahami hak, kewajiban, risiko, dan manfaat produk dan atau layanan jasa keuangan. Dari sisi wirausaha, pada peringatan Hari Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) tanggal 16 Juni 2015 lalu, tercatat jumlah pengusaha di Indonesia, baru sekitar 1,65 persen dari jumlah penduduk. Kita jauh tertinggal di bawah Singapura, dengan rasio pengusaha sudah mencapai 10 persen dari jumlah penduduknya[4].
FWD Life, sebagai lembaga asuransi kehidupan, concern akan realitas tersebut. "Karena itu, FWD Life serius mengedukasi potensi yang ada dalam masyarakat, untuk mengejar passion mereka dan mengubah passion tersebut menjadi sebuah bisnis yang berkelanjutan. Sehingga, dapat memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia," ujar Chief Financial Officer (CFO) FWD Life, Paul Setio Kartono, dalam Kopdar Bebas Berbagi, yang digelar pada Sabtu, 19 September 2015, di Kopitiam Tan, SCBD Lot 8, Jl. Jenderal Sudirman No. 52–53, Jakarta Selatan.
FWD Life Tumbuhkan Optimisme
Masih rendahnya tingkat literasi keuangan nasional dan masih terbatasnya jumlah wirausaha, bukan berarti membuat kita jadi pesimis. Justru, ini tantangan untuk bangkit. Apa yang sudah dilakukan FWD Life, sebagai lembaga asuransi kehidupan, menunjukkan kebangkitan tersebut. Sebagai catatan, Bebas Berbagi adalah kelanjutan dari aktivitas Bebaskan Langkah dan Passionpreneur Workshop dari FWD Life. Program ini berlangsung sejak April–Mei 2015 lalu, yang finalnya digelar pada Sabtu, 19 September 2015.
Lihatlah, lebih dari 3.500 ide dan konsep bisnis yang dikirimkan anak negeri, dari berbagai penjuru tanah air. Ini tentu saja membangkitkan optimisme kita. Apalagi ide dan konsep bisnis tersebut datang dari kalangan muda, yang tentu saja mereka merupakan generasi yang bakal menambah jumlah wirausaha negeri ini. Menurut Paul Setio Kartono, yang menjadi keynote speech di Kopdar Bebas Berbagi hari itu, lebih dari separuh dari ide bisnis yang masuk, adalah ide-ide cemerlang yang layak untuk diwujudkan.
Ada 6 ide bisnis cemerlang yang terpilih sebagai finalis. Karena seorang finalis berhalangan hadir, maka hanya 5 finalis yang mempresentasikan ide bisnis mereka di Kopdar Bebas Berbagi tersebut. Kopdar ini digagas oleh FWD Life, dengan menggandeng Kompas.com dan Kompasiana[5]. Kelima finalis tersebut: Anggia Rahendra, Fitri Kumala, Alicia Van Akker, Ignatius Leonardo, dan Rinda Gusvita. Mereka tampil meyakinkan, mempresentasikan ide dan konsep bisnis masing-masing.
Alicia Van Akker, dengan ide dan konsep bisnis Rumah MC, terpilih sebagai Juara I, Anggia Rahendra sebagai Juara II, dan Ignatius Leonardo di posisi Juara III. Dari ketiga pemenang ini, nampak jelas bahwa mereka memiliki passion yang kuat pada ide bisnis yang mereka presentasikan. Pada Alicia Van Akker, misalnya, ia sendiri adalah seorang master of ceremonies (MC), yang sudah cukup lama aktif sebagai pembawa acara. Ia sudah memahami lika-liku dunia MC, juga sudah mengenal dengan baik kebutuhan penyelenggara event, yang membutuhkan jasa MC. Ide bisnisnya tentang Rumah MC, dengan sendirinya mencerminkan passion yang bersangkutan.
FWD Life, dari Passion ke Bisnis
Sebagaimana dikemukakan Paul Setio Kartono di atas, FWD Life serius mengedukasi potensi yang ada dalam masyarakat, untuk mengejar passion mereka dan mengubah passion tersebut menjadi sebuah bisnis yang berkelanjutan. Dedy Dahlan[6], dari Passionpreneur Academy, yang juga jadi pembicara di Kopdar Bebas Berbagi tersebut, menggambarkan passion sebagai sesuatu yang unik pada tiap orang. Ia menilai, passion Yukka Harlanda lebih pada proses untuk berkreasi, menciptakan sepatu. Hasratnya yang menggebu-gebu untuk berkreasi itulah, yang mendorongnya untuk berbisnis.
Di sisi lain, ada pula orang yang passion-nya pada kemampuan mencermati pasar, memahami kebutuhan market, dan jeli melihat peluang usaha. Beruntunglah orang yang memiliki kedua sisi passion tersebut: kreator sekaligus entrepreneur. Adakalanya, dan ini yang umum terjadi, seorang kreator berpartner menjalankan bisnis dengan seorang entrepreneur. Menurut Dedy Dahlan, sudut pandang kedua orang berbeda passion tersebut, jelas berbeda. Yang satu asyik dengan imajinasinya dalam berkreasi, yang satu lagi berkutat dengan kalkulator menghitung biaya produksi dan harga jual.
Dalam menjalankan bisnis, kata Dedy Dahlan, kedua pihak tersebut, sudah seharusnya saling bertoleransi untuk menjaga keseimbangan, agar bisnis bisa berjalan. Bisnis itu saling melengkapi, untuk menciptakan kekuatan. Sebaliknya, jika masing-masing pihak dominan dengan keras kepalanya, maka yang terjadi adalah perpecahan. Kerjasama jadi berantakan. Kejadian seperti ini banyak dialami oleh mereka yang baru mulai berbisnis. Maka dari itu, banyak orang yang semula berteman baik, tapi jadi musuhan setelah berbisnis.
Dengan kata lain, menemukan passion diri sendiri, sama pentingnya dengan memahami passion partner bisnis. Yang dimaksud dengan partner bisnis, cukup luas cakupannya. Karyawan, rekan kerja, pemasok bahan baku, dan pemodal alias investor adalah beberapa contoh pihak yang menjadi partner bisnis. Dalam sebuah mata-rantai aktivitas bisnis, dari hulu ke hilir, ada begitu banyak partner dari sebuah bisnis. Maka dari itu, Dedy Dahlan menegaskan, tidak ada bisnis yang berjalan sendiri. Bisnis pasti membutuhkan partner, sekecil apa pun skala bisnis tersebut. Membangun relasi dengan partner serta menjaga relasi dengan partner, adalah komponen penting bagi keberlanjutan sebuah aktivitas bisnis.
Jakarta, 22 September 2015
-----------------------------
FWD Life, melalui kegiatan Bebas Berbagi, mengajak masyarakat Indonesia untuk meningkatkan wawasan akan pemahaman keuangan serta pemberdayaan diri dalam pengembangan bisnis.
Para Menteri Ekonomi ASEAN sepakat untuk fokus mengembangkan Usaha Kecil Menengah (UKM), kemudian mengintegrasikannya sebagai kekuatan ekonomi kawasan. Ini peluang sekaligus tantangan.
--------------------------
[1] Yukka Harlanda, lengkapnya Muhammad Yukka Harlanda, merintis bisnis sepatu ini sejak tahun 2010, bersama rekan sekampusnya, Putera Dwi Karunia. Mereka saat itu sama-sama kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Yukka jurusan Teknik Sipil. Awalnya, dengan modal urunan sekitar Rp 7 juta, mereka mulai dengan jualan 30 pasang sepatu. Produk sepatunya dikerjakan oleh pengrajin sepatu di Cibaduyut, Bandung, yang sejak tahun 1920 memang sudah dikenal sebagai sentra produksi sepatu dan olahan kulit. Melalui digital marketing, sepatu Brodo kian tenar di kalangan anak muda pecinta fesyen. Dalam waktu empat tahun, jumlah produksinya mencapai 4.500 pasang sepatu per bulan. Selengkapnya, silakan baca Sepatu Brodo Produksi Hingga 4.500 Pasang/Bulan, yang dilansir swa.co.id, pada Selasa | 3 Juni 2014.
[2] FWD Life Indonesia (FWD Life) merupakan perusahaan asuransi jiwa patungan dengan perusahaan asuransi berbasis di Asia, FWD Group. FWD Life Indonesia didukung oleh pengalaman dan sumber daya multinasional, yang dipadukan dengan talenta dan pemahaman lokal. FWD Life Indonesia didirikan pada 12 November 2012. Pada Juni 2015 lalu, FWD Life meluncurkan iFWD Liberate, jalur distribusi asuransi secara online. Menurut Paul Setio Kartono, Direktur Keuangan FWD Life, iFWD Liberate merupakan kanal baru yang digunakan perseroan untuk menyasar anak muda kota. Selengkapnya, silakan baca Jual asuransi online, FWD sasar anak muda kota, yang dilansir kontan.co.id, pada Jumat l 05 Juni 2015 | 13:21 WIB.
[3] Dalam konteks literasi keuangan, di Gedung Bank Indonesia, pada Rabu (2/9/2015), Managing Director International Monetary Fund (IMF), Christine Lagarde, mengakui, potensi besar yang dimiliki Indonesia, untuk menciptakan daya saing ‎Indonesia, terutama dalam hal pasar uang. Dalam konferensi tingkat tinggi Future of Asia's Finance: Financing for Development 2015, Lagarde mengungkapkan, Korea Selatan adalah salah satu negara yang pantas untuk ditiru, untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Selengkapnya, silakan baca Tingkatkan Literasi Keuangan, IMF Minta Indonesia Contoh Korsel, yang dilansir liputan6.com, pada Rabu l 02 September 2015 l 12:31 WIB.
[4] David C Mclelland dalam bukunya The Achieving Society, mengatakan, paling tidak dibutuhkan 2 persen pengusaha dari total jumlah penduduk, agar sebuah negara menjadi makmur dan sejahtera. Jika mengacu pada perhitungan tersebut, berarti dari total 250 juta penduduk Indonesia, minimal harus ada 5 juta pengusaha untuk membangun negara ini dalam bidang ekonomi. Sebagai perbandingan, jumlah pengusaha di Singapura 10 persen, Jepang 15 persen, China 16 persen, dan Amerika Serikat 18 persen dari total penduduknya. Selengkapnya, silakan baca Pengusaha Dilahirkan atau Diciptakan?, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 4 Februari 2015 | 07:08 WIB.
[5] Kompas.com dan Kompasiana.com adalah bagian dari Kompas Gramedia Grup. Kompasiana dirintis oleh Pepih Nugraha, yang bergabung dengan Harian Kompas, sejak tahun 1990. Pada tahun 2008, ia ditugaskan untuk merintis Kompasiana, yang kemudian menjadi wadah bagi para penulis, para blogger. Nama Kompasiana dicetuskan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas. Nama Kompasiana pada awalnya merupakan rubrik di Harian Kompas, yang diisi oleh PK Ojong, pendiri Kompas. Saat ini, tercatat sekitar 300.000 penulis di Kompasiana. Sehari-hari Pepih Nugraha akrab disapa Kang Pepih. Para penulis di Kompasiana menamakan dan menyebut diri Kompasianer.
[6] Dedy Dahlan adalah seorang passion coach yang juga penulis best seller dari buku Lakukan Dengan Hati, Ini Cara Gue, dan Passion!–Ubah Hobi Jadi Duit, yang dikenal luas dengan gaya penulisan dan gaya panggungnya yang jenaka, nyeleneh, blakblakan, kreatif, dengan materi praktikal. Biasa dipanggil Coach D, ia adalah anggota dan coach tersertifikasi dari ICF (International Coach Federation), yang memusatkan diri pada pengembangan passion dan profesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H