Presiden Joko Widodo mengayomi siswa Sekolah Dasar yang menjadi finalis Kalbe Junior Scientist Award 2015 di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (9/9/2015). Mereka adalah bagian dari tunas-tunas bangsa, yang diharapkan kelak menguasai sains dan teknologi. Bagaimanapun juga, penguasaan sains dan teknologi, merupakan pilar penting untuk membawa negeri yang kita cintai ini menuju ke arah kemajuan. Foto: print.kompas.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Presiden Joko Widodo bersuka-cita dengan para siswa Sekolah Dasar, yang menjadi finalis Kalbe Junior Scientist Award 2015[1]. Di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (9/9/2015) itu, Presiden berpesan, agar mereka terus belajar dan menjadi generasi yang menguasai teknologi.
Itu sesungguhnya juga pesan untuk kita, agar senantiasa memberi pemahaman tentang sains dan teknologi kepada anak-anak kita. Itu bukan hanya tugas para guru di sekolah, tapi juga menjadi bagian dari amanah orangtua di luar sekolah. Bukankah kini keseharian kita tidak pernah lepas dari sains dan teknologi? Kita sebagai orangtua adalah contoh yang paling dekat dengan mereka. Aktivitas keseharian kita bersama anak-anak adalah laboratorium, yang memungkinkan mereka memahami sains dan teknologi sambil bermain, dalam suasana yang menyenangkan.
Contoh dari Farah dan Aurora
Farah Dennisa Imarini dan Aurora Btari Maharani, adalah dua siswi SD Negeri Kranggan 1, Mojokerto, Jawa Timur. Mereka adalah salah satu pemenang Kalbe Junior Scientist Award 2015[2]. Mereka menunjukkan contoh yang menarik kepada kita, bagaimana anak-anak seusia mereka berpikir dalam merespon lingkungan. Suatu hari, mereka diajak guru jalan-jalan ke tempat pengrajin telur asin. Mereka diberi keleluasaan untuk melihat serta bertanya kepada para pekerja di tempat pembuatan telur asin tersebut.
Setelah melihat serangkaian tahapan pembuatan telur asin, ada satu tahap proses yang menarik perhatian mereka, yakni ketika para pekerja sibuk mencuci telur. Mereka memperhatikannya dengan seksama, sementara pikiran dan perasaan mereka mencoba memahami tahapan tersebut. Mereka sampai pada kesimpulan sementara: alangkah lamanya proses mencuci telur itu. Apalagi setelah melihat onggokan telur yang demikian banyak, yang harus dicuci oleh para pekerja.
Dari situlah muncul ide melalui sejumlah pertanyaan: bisakah proses mencuci telur itu dipercepat? Kalau bisa, bagaimana caranya? Alat bantu seperti apa yang dibutuhkan untuk mempercepat proses itu? Farah Dennisa Imarini dan Aurora Btari Maharani merumuskan ide tersebut. Mereka kemudian mengutak-atik berbagai kemungkinan. Akhirnya, kedua siswi Sekolah Dasar itu sepakat untuk membuat alat pencuci telur dengan bantuan tenaga listrik. Tidak langsung jadi, memang. Tahap uji-coba mereka lakukan berulang-ulang.
Berkat ketekunan dan kesungguhan, alat pencuci telur itu berhasil mereka ciptakan. Hasilnya sungguh mencengangkan. Dengan alat ciptaan dua murid SD itu, waktu untuk mencuci 500 butir telur, yang selama ini menghabiskan 5 jam kerja, kini cukup dengan 1 jam kerja saja. Berkat alat pencuci telur itu, mereka menjadi salah satu pemenang Kalbe Junior Scientist Award 2015. Ciptaan mereka memang belum sempurna. Tapi, ide serta gagasan dua murid SD itu, menunjukkan kepada kita bahwa mereka memahami pentingnya sains dan teknologi.
Contoh dari Keleluasaan
Banyak hal yang direfleksikan dari ide dua murid SD tersebut. Pertama, pentingnya guru dan orangtua membawa anak-anak berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Beri mereka kesempatan untuk mengenal lebih detail, apa yang terjadi di sekitar. Beri keleluasaan kepada mereka untuk mengeksplorasi realitas sekitar, secara pikiran, perasaan, dan tindakan. Beri pula kesempatan kepada mereka untuk merespon realitas sekitar, sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Hargai dan support ide mereka, sekecil dan seremeh-temeh apa pun itu.
Kedua, guru dan orangtua, sudah seharusnya berlapang dada, dengan sungguh-sungguh memahami ide anak-anak, tanpa meracuninya dengan pikiran serta cara pandang orang dewasa. Dari sisi orang dewasa, boleh jadi, bukan tahap pencucian telur itu yang lebih penting, tapi tahap yang lain. Mungkin memang lebih penting tapi tidak menarik dari sudut pandang anak-anak. Dalam hal ini, ego guru dan orangtua sebagai orang dewasa, yang cenderung meremehkan ide anak-anak serta cenderung memaksakan kehendak kepada anak-anak, sudah seharusnya dikendalikan.
Ketiga, pentingnya guru dan orangtua menempatkan ide di atas pelaksanaannya. Dalam hal ini, ide untuk mempersingkat waktu pencucian telur, adalah sebuah solusi, dalam konteks efisiensi dan efektivitas kerja. Ide tersebut tentu saja berkorelasi langsung dengan biaya operasional. Ide itulah yang berharga, apalagi datangnya dari dua murid Sekolah Dasar. Bahwa pada tahap pelaksanaan ide itu ada model alat bantu yang lebih canggih, itu menjadi nomor dua. Sikap untuk menempatkan ide sebagai sesuatu yang utama, adalah bagian dari upaya untuk mendukung anak-anak berproses serta mengembangkan kemampuan mereka.
Keempat, beri keleluasaan kepada anak-anak untuk mendiskusikan serta merumuskan ide, dengan rekan-rekan seusia mereka. Melalui cara tersebut, guru dan orangtua telah menciptakan ruang bagi mereka untuk berlatih berargumen dengan rekan yang setara. Dengan interaksi sesama, anak-anak memiliki kesempatan untuk berlatih serta menguji ide yang timbul dari pikiran mereka. Dengan cara itu, anak-anak juga berlatih membuka pikiran serta menambah wawasan dengan sesama. Ini bagian dari proses perkembangan intelektual dan emotional yang positif.
Contoh dari Desa Hargobinangun
Dua hari setelah Presiden Joko Widodo bersuka-cita dengan para siswa Sekolah Dasar, yang menjadi finalis Kalbe Junior Scientist Award 2015 tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, juga menjamu 17 murid Sekolah Dasar yang menerima penghargaan itu. Perjamuan itu berlangsung di Kantor Kemendikbud, Jakarta, pada Jumat (11/9/2015). Saat itu, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, pelajaran sains dan teknologi termasuk pelajaran yang kurang diminati anak-anak, karena dianggap sulit.
Artinya, guru dan orangtua perlu mencari cara-cara yang menyenangkan dalam mengajarkan sains dan teknologi, agar anak didik menyukainya sejak usia dini, sejak di sekolah dasar. Apa yang diungkapkan Anies Baswedan tersebut, bisa kita saksikan di SD Banteng di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta. Sejumlah murid di sekolah itu, yang lemah dalam mata pelajaran matematika, menambah jam belajarnya di tepian Sungai Boyong, tidak berapa jauh dari tempat kerja orangtua mereka, yang umumnya bekerja sebagai penambang pasir dan batu.
Tambahan jam pelajaran matematika ini adalah inisiatif beberapa mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta[3], yang berawal dari keprihatinan mereka melihat siswa sekolah dasar yang nilai matematikanya tidak sebagus mata pelajaran lain. Mereka mengajarkan matematika dengan menggunakan media makanan tradisional yang sehari-hari ditemukan di sana. Antara lain, Jadah Tempe, Sagon, Slondok Renteng, Tahu Bacem, Apem, Jagung, Kacang, dan juga Permen.
Melalui benda-benda yang akrab dengan anak-anak SD itu, mereka mengajak bermain hitungan-hitungan, menambah, mengurang, mengali, serta membagi. Diselingi juga dengan melahap beberapa makanan tersebut. Lucu, seru, dan mengasyikkan tentunya. Kelas tambahan pinggir kali itu berlangsung sejak Februari 2015 lalu, diikuti sekitar 15 murid SD, setelah jam pulang sekolah. Waktunya, Senin, Sabtu, dan Minggu. Jika hari libur, kelas pinggir kali dimulai sekitar pukul 10.00 WIB.
Apa yang dilakukan beberapa mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, di Desa Hargobinangun tersebut, menjadi contoh bagi kita bahwa sesungguhnya banyak pihak yang bisa berkontribusi, terkait pendidikan sains dan teknologi. Barangkali di tempat lain, juga sudah ada yang berbuat demikian. Setidaknya, semua itu bisa menjadi penggugah, agar lebih banyak lagi elemen masyarakat yang berkenan meluangkan waktu, demi kemajuan dunia pendidikan di tanah air ini.
Jakarta, 13 September 2015
---------------------------
Keberadaan laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di jenjang pendidikan menengah dan atas, penting untuk memotivasi minat siswa pada bidang sains dan teknologi.
Kompetensi guru sangat dibutuhkan. Dari sekitar 1,6 juta guru yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG), hanya 200.000 guru yang meraih nilai di atas 60.
--------------------------
[1] Animo peserta lomba sains tahun ini, meningkat. Tahun lalu, jumlah peserta 718, kini menjadi 811 peserta. Kata Arief Nugroho, Ketua Panitia Kalbe Junior Scientist Award 2015. Anggota dewan juri adalah Prof. Ir.Nizam MSc.,D.I.C., PhD (Kepala Pusat Penilaian Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA (Pakar Psikologi Pendidikan & Sekolah, Dekan Psikologi Universitas Indonesia), Dr. Nurul Taufiqu Rohman, B.Eng, M.Eng (Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia, LIPI), dan Ir. Ridwan Hasan Saputra, M.Si (Matematikawan, Pendiri Klinik Pendidikan MIPA).
[2] Keberhasilan penyampaian ilmu sains dengan cara menyenangkan, bisa dilihat dari hasil karya 17 anak didik pemenang Kalbe Junior Scientist Award 2015 ini. Guru menyampaikan ilmu sains lewat masalah yang mereka hadapi sehari-hari, sehingga anak didik lebih mudah memahami dan bisa memecahkan masalah dengan ide yang orisinal. Selengkapnya, silakan baca Minat Anak Perlu Dirangsang sejak Dini, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat Siang | 11 September 2015 l 14:22 WIB.
[3] Inisiatif kelas matematika tambahan ini datang dari Apri Mariana. Ia lantas menghubungi teman-temanya, yang kebetulan satu universitas, untuk membantu memberikan pengajaran tambahan kepada siswa-siswa yang kesulitan dalam pelajaran matematika. Mereka yang terlibat yakni Titis Darmasari, Bernadheta Eta Purnami, Willyam Indra Kusuma, dan Dhyaning Nuswari. Selengkapnya, silakan baca Belajar Matematika dengan Tempe, Apem, dan Slondok Renteng, yang dilansir kompas.com, pada Minggu l 7 Juni 2015 | 19:05 WIB.