Banyak hal yang direfleksikan dari ide dua murid SD tersebut. Pertama, pentingnya guru dan orangtua membawa anak-anak berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Beri mereka kesempatan untuk mengenal lebih detail, apa yang terjadi di sekitar. Beri keleluasaan kepada mereka untuk mengeksplorasi realitas sekitar, secara pikiran, perasaan, dan tindakan. Beri pula kesempatan kepada mereka untuk merespon realitas sekitar, sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Hargai dan support ide mereka, sekecil dan seremeh-temeh apa pun itu.
Kedua, guru dan orangtua, sudah seharusnya berlapang dada, dengan sungguh-sungguh memahami ide anak-anak, tanpa meracuninya dengan pikiran serta cara pandang orang dewasa. Dari sisi orang dewasa, boleh jadi, bukan tahap pencucian telur itu yang lebih penting, tapi tahap yang lain. Mungkin memang lebih penting tapi tidak menarik dari sudut pandang anak-anak. Dalam hal ini, ego guru dan orangtua sebagai orang dewasa, yang cenderung meremehkan ide anak-anak serta cenderung memaksakan kehendak kepada anak-anak, sudah seharusnya dikendalikan.
Ketiga, pentingnya guru dan orangtua menempatkan ide di atas pelaksanaannya. Dalam hal ini, ide untuk mempersingkat waktu pencucian telur, adalah sebuah solusi, dalam konteks efisiensi dan efektivitas kerja. Ide tersebut tentu saja berkorelasi langsung dengan biaya operasional. Ide itulah yang berharga, apalagi datangnya dari dua murid Sekolah Dasar. Bahwa pada tahap pelaksanaan ide itu ada model alat bantu yang lebih canggih, itu menjadi nomor dua. Sikap untuk menempatkan ide sebagai sesuatu yang utama, adalah bagian dari upaya untuk mendukung anak-anak berproses serta mengembangkan kemampuan mereka.
Keempat, beri keleluasaan kepada anak-anak untuk mendiskusikan serta merumuskan ide, dengan rekan-rekan seusia mereka. Melalui cara tersebut, guru dan orangtua telah menciptakan ruang bagi mereka untuk berlatih berargumen dengan rekan yang setara. Dengan interaksi sesama, anak-anak memiliki kesempatan untuk berlatih serta menguji ide yang timbul dari pikiran mereka. Dengan cara itu, anak-anak juga berlatih membuka pikiran serta menambah wawasan dengan sesama. Ini bagian dari proses perkembangan intelektual dan emotional yang positif.
Contoh dari Desa Hargobinangun
Dua hari setelah Presiden Joko Widodo bersuka-cita dengan para siswa Sekolah Dasar, yang menjadi finalis Kalbe Junior Scientist Award 2015 tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, juga menjamu 17 murid Sekolah Dasar yang menerima penghargaan itu. Perjamuan itu berlangsung di Kantor Kemendikbud, Jakarta, pada Jumat (11/9/2015). Saat itu, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, pelajaran sains dan teknologi termasuk pelajaran yang kurang diminati anak-anak, karena dianggap sulit.
Artinya, guru dan orangtua perlu mencari cara-cara yang menyenangkan dalam mengajarkan sains dan teknologi, agar anak didik menyukainya sejak usia dini, sejak di sekolah dasar. Apa yang diungkapkan Anies Baswedan tersebut, bisa kita saksikan di SD Banteng di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta. Sejumlah murid di sekolah itu, yang lemah dalam mata pelajaran matematika, menambah jam belajarnya di tepian Sungai Boyong, tidak berapa jauh dari tempat kerja orangtua mereka, yang umumnya bekerja sebagai penambang pasir dan batu.
Tambahan jam pelajaran matematika ini adalah inisiatif beberapa mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta[3], yang berawal dari keprihatinan mereka melihat siswa sekolah dasar yang nilai matematikanya tidak sebagus mata pelajaran lain. Mereka mengajarkan matematika dengan menggunakan media makanan tradisional yang sehari-hari ditemukan di sana. Antara lain, Jadah Tempe, Sagon, Slondok Renteng, Tahu Bacem, Apem, Jagung, Kacang, dan juga Permen.
Melalui benda-benda yang akrab dengan anak-anak SD itu, mereka mengajak bermain hitungan-hitungan, menambah, mengurang, mengali, serta membagi. Diselingi juga dengan melahap beberapa makanan tersebut. Lucu, seru, dan mengasyikkan tentunya. Kelas tambahan pinggir kali itu berlangsung sejak Februari 2015 lalu, diikuti sekitar 15 murid SD, setelah jam pulang sekolah. Waktunya, Senin, Sabtu, dan Minggu. Jika hari libur, kelas pinggir kali dimulai sekitar pukul 10.00 WIB.
Apa yang dilakukan beberapa mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, di Desa Hargobinangun tersebut, menjadi contoh bagi kita bahwa sesungguhnya banyak pihak yang bisa berkontribusi, terkait pendidikan sains dan teknologi. Barangkali di tempat lain, juga sudah ada yang berbuat demikian. Setidaknya, semua itu bisa menjadi penggugah, agar lebih banyak lagi elemen masyarakat yang berkenan meluangkan waktu, demi kemajuan dunia pendidikan di tanah air ini.