Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

46.000 Sapi Betina Produktif di Jawa Tengah, Berakhir di Rumah Jagal

8 September 2015   18:35 Diperbarui: 9 September 2015   08:10 2998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terjaganya populasi sapi di tanah air, tentulah turut terjaga pula harga daging sapi di tingkat konsumen. Potensi terjadinya gejolak harga, kelangkaan daging sapi, bahkan mogoknya para pedagang daging sapi, bisa diminimalkan. Karena pentingnya populasi itulah barangkali, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tersebut diciptakan. Di lapangan, ternyata penegakan undang-undang tersebut, masih jauh dari harapan. Itu tercermin dari terus merosotnya populasi sapi di tanah air.

Sebagai catatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tahun 2011, populasi sapi potong mencapai 16,73 juta ekor. Tahun 2012, merosot menjadi 14,17 juta ekor. Tahun 2013, angka tersebut menurun lagi menjadi 12,32 juta ekor. Dengan bertambahnya penduduk, dengan meningkatnya konsumsi daging sapi, maka kebutuhan sapi potong pun meningkat. Akibatnya, sapi betina produktif yang kerap disebut sebagai sapi indukan, turut diseret ke rumah pemotongan hewan (RPH) untuk dijadikan sapi potong.

Secara jangka pendek, hal itu memang memadai untuk memenuhi kebutuhan daging sapi. Namun, secara jangka panjang, kita bisa melihat dari data di atas, betapa terus merosotnya populasi sapi potong. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution [6], pada Kamis malam (27/8/2015), mengungkapkan, untuk kembali memenuhi angka populasi tersebut, dibutuhkan empat hingga lima tahun jangka waktu impor sapi indukan.

Sampai di sini kita tahu, betapa besar dampak pemotongan sapi betina produktif, secara serampangan. Juga, betapa pentingnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tersebut ditegakkan. Sekali lagi, dibutuhkan empat hingga lima tahun jangka waktu impor sapi indukan, untuk kembali mencapai populasi sapi potong sebagaimana tahun 2011 tersebut. Alangkah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, apalagi mengingat kondisi nilai tukar rupiah saat ini.

Di SPR Kabupaten Bojonegoro, Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat pembibitan sapi dengan memanfaatkan induk lokal. Kementerian Pertanian menargetkan ada 1.000 SPR, hingga tahun 2017, guna meningkatkan produksi daging dan susu nasional. SPR ini sangat diperlukan, karena masih rendahnya populasi sapi potong dan sapi perah di Indonesia. Menurut Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Muladno, di Surabaya, pada Rabu (29/7/2015), saat ini sudah ada 10 SPR: di Bojonegoro dan di Pulau Sapudi, Madura. Foto: beritadaerah.co.id

Sekolah Peternakan Rakyat

Untuk tingkat kabupaten, apa yang dilakukan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, barangkali bisa dijadikan inspirasi, dalam hal populasi sapi. Pada awal tahun 2014, Pemkab Bojonegoro membentuk Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) [7] di Kecamatan Kedungadem, Temayang, dan Kasiman. Ini sebagai pilot project. Pendirian SPR di tiga kecamatan itu, melibatkan ahli peternakan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yang memberikan pelatihan kepada para peternak rakyat mengenai mengenai berbagai aspek peternakan.

Wilayah tersebut dipilih, karena di tiap kecamatan di tiga kecamatan tersebut, populasi sapi betina lebih dari 1.000 ekor dan di sana ada 100 ekor sapi jantan. Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Pemkab Bojonegoro, Subekti [8], pada Rabu (22/1/2014) mengatakan, ahli peternakan dari IPB tersebut mendidik serta melatih peternak rakyat, mengenai cara beternak yang baik, mulai pembuatan pakan ternak, pengetahuan tentang reproduksi ternak, menjaga kesehatan sapi, termasuk pemasarannya.

Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh para peternak. Pada Rabu (19/08/2015), Satrio Dwi Putro, Manager SPR di Desa Sidorejo, Kedungadem, menjelaskan, dengan penguasaan teknologi pemeliharaan ternak, anggota SPR mampu menekan biaya operasional, hingga hasilnya jauh lebih besar dibandingkan dengan pemeliharaan ternak secara biasa [9]. Satrio Dwi Putro adalah pemuda dari Sarjana Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Pada Selasa (1/9/2015), Dinas Peternakan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur [10], melakukan verifikasi lapangan dalam rangka lomba petugas paramedis veteriener berprestasi tingkat nasional, di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Desa Dander, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro. Pada kesempatan itu, para peternak rakyat menampilkan berbagai produk peternakan, berupa jamu herbal untuk mengatasi kembung pada ternak, jamu penambah air susu sapi, dan jamu untuk menambah nafsu makan ternak.

Melihat kesungguhan peternak yang tergabung dalam Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) tersebut, baik dalam konteks meningkatnya populasi sapi potong serta manfaat finansial yang diperoleh rakyat, Sekretaris Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, Irawan Subiyanto, mendorong agar SPR diperluas. Tidak hanya sekolah, tapi berupaya menjadikan Kabupaten Bojonegoro sebagai sentra peternakan rakyat, yang cakupannya makin luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun