Rendahnya serapan anggaran, mencerminkan buruknya koordinasi di lingkup pemerintahan, di pusat dan daerah. Koordinasi yang buruk tersebut, terus memperlemah daya beli masyarakat, menambah beban orang banyak. Masyarakat bukan hanya dibebani oleh harga barang dan jasa yang terus melambung, juga oleh kondisi alam yang terus memburuk. Itu indikator bahwa program ekonomi pemerintah, masih mengambang. Foto: print.kompas.com dan kompas.com
Serapan anggaran, nampaknya jadi ukuran keberhasilan. Presiden Joko Widodo[1] sampai menginstruksikan Tjahjo Kumolo, agar menerapkan reward dan punishment terhadap daerah, dalam konteks penyerapan anggaran. ‎
Bukan hanya itu. Urusan serapan anggaran, juga menjadi agenda utama dalam rapat marathon, yang digelar Joko Widodo[2] di Istana Bogor, Jawa Barat. Rapat itu berlangsung tiga hari berturut-turut, 3-5 September 2015, lalu. Selain terkait anggaran, rapat tersebut juga fokus membahas berbagai peraturan yang dianggap menghambat iklim investasi. Saat ini, sebagaimana yang dikemukakan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, di kantor Presiden, Jakarta, pada Rabu, 2 September 2015, ada sekitar 110 regulasi yang dinilai pemerintah, belum mendukung kemudahan investasi.‎
Kesadaran Benahi Diri
Kesadaran pemerintah untuk mengevaluasi regulasi terkait investasi dan serapan anggaran tersebut, pada dasarnya merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menunjukkan kepada pasar, untuk meyakinkan investor, bahwa pemerintah sungguh-sungguh menangani berbagai ganjalan yang terkait dengan perekonomian. Ini tentu merupakan langkah yang positif dalam menyikapi kondisi ekonomi dalam negeri yang terus terpuruk.
Sikap Joko Widodo dan para menteri yang selama ini cenderung menyalahkan kondisi global, justru memperburuk keadaan. Bukan saja kondisi ekonomi dalam negeri yang menjadi lebih buruk, reaksi publik pun terus merosot. Perbandingan hasil survei triwulanan bidang ekonomi yang diadakan Litbang Kompas[3], menunjukkan indikator paling jeblok. Secara umum, 65 persen responden menilai keadaan ekonomi nasional saat ini dalam kondisi buruk.
Penilaian tersebut, tentu saja tidak bisa diabaikan. Selain keburukan ekonomi itu sudah dirasakan langsung oleh masyarakat, aksi menyalahkan kondisi global yang selama ini dilakukan Joko Widodo dan para menteri, justru membuat masyarakat makin cemas. Karena, harga barang dan jasa terus membubung dan pemutusan hubungan kerja, sudah terjadi di sejumlah tempat. Memangnya, dengan menuding kondisi global, semua itu bisa teratasi?
Yang juga makin mencemaskan masyarakat adalah buruknya koordinasi kerja antara pemerintah pusat dan daerah. Berbulan-bulan urusan Dana Desa, misalnya, hanya berputar-putar di lingkup pemerintahan, di pusat dan daerah. Masyarakat desa yang menjadi target dari program Dana Desa tersebut, nyaris belum merasakan apa-apa. Pusat menyalahkan daerah, daerah menuding pusat. Begitu terus, berbulan-bulan. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi di lingkup pemerintahan, di pusat dan daerah.
Sensitif Terhadap Daerah
Pembahasan tiga hari berturut-turut, 3-5 September 2015, tersebut, barangkali bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi berbagai ganjalan yang ada. Apalagi sebelumnya sudah didahului dengan Rapat Koordinasi Percepatan Penyerapan Anggaran, Pemekaran Daerah, Pilkada Serentak, dan Konsolidasi Kesbangpol 2015 di Sasana Bhakti Praja Kemendagri, Jakarta, pada Kamis (3/9/2015)[4]. Secara komprehensif, mestinya pemerintah pusat dan daerah sudah memiliki peta yang jelas, bagaimana mengeksekusinya di lapangan, agar serapan anggaran bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Terus melemahnya daya beli masyarakat, merupakan indikator bahwa berbagai program ekonomi pemerintah, masih mengambang. Belum menyentuh kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Ditambah lagi dengan tidak tercapainya sejumlah target ekonomi yang sudah ditetapkan pemerintah. Apalagi dengan terus diturunkannya target pertumbuhan ekonomi: dari 5,7 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen, diturunkan lagi menjadi 5,2 persen, dan lagi-lagi diturunkan menjadi 4,7 persen.
Akumulasi dari semua itu, bukan hanya mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat, tapi sekaligus menunjukkan rendahnya kemampuan pemerintah memetakan persoalan. Dana sudah ada tapi tidak mampu mengelolanya, agar bermanfaat bagi rakyat. Tabulasi realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di atas, menunjukkan rendahnya serapan anggaran di sejumlah provinsi di Pulau Jawa. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah pusat sesungguhnya tidak sensitif pada persoalan yang dihadapi daerah.
Jangankan untuk mencermati kendala yang dihadapi Provinsi di Luar Jawa, Provinsi yang berada di Pulau Jawa saja tidak di-support dengan seksama. Joko Widodo boleh saja memilih tinggal di Istana Bogor, Jawa Barat, tapi lihatlah serapan anggaran APBD Jawa Barat yang hanya 26 persen, nomor empat terendah, dari seluruh provinsi di tanah air. Demikian pula halnya dengan DKI Jakarta, yang serapan anggarannya hanya 19 persen, nomor dua terendah, dari seluruh provinsi. Realitas tersebut memperlemah daya beli masyarakat, juga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Serapan dan Angka Kemiskinan
Para Gubernur sebagai pemimpin daerah, boleh saja berkilah, bahwa mereka lebih memilih tidak melakukan penyerapan anggaran, karena takut pada perkara korupsi. Joko Widodo sebagai Presiden, tentu saja tidak boleh membiarkan pilihan yang demikian. Pembiaran tersebut, sama saja dengan merusak kehidupan masyarakat. Kenapa? Karena, penyerapan anggaran, selain memperlemah daya beli masyarakat, juga sekaligus menaikkan angka kemiskinan. Jumlah penduduk miskin memiliki korelasi dengan serapan anggaran.
Lihatlah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), yang menjadi Provinsi dengan penyerapan APBD tertinggi, 56 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di Kalteng[5] pada September 2014 sebanyak 148.825 orang atau 6,07 persen. Jumlah tersebut, di bawah rata-rata angka kemiskinan nasional, sebesar 11,25 persen kondisi Maret 2014. Bandingkan dengan DKI Jakarta[6], yang serapan anggarannya nomor dua terendah, 19 persen. BPS mencatat, pada September 2014, jumlah warga miskin 412.790 orang atau 4,09 persen, meningkat dibandingkan dengan Maret 2014 yang 393.980 orang atau 3,92 persen.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, memprediksi, jumlah warga kurang mampu di DKI Jakarta, mencapai hampir 20 persen, yang berarti ada sekitar 2 juta orang di ibukota, yang penghasilan mereka di bawah Rp 2,4 juta. Tiap provinsi memiliki karakteristiknya sendiri. Serapan anggaran memang bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan, tapi data di atas memperlihatkan korelasi yang cukup signifikan. Kondisi tersebut tentulah tidak sepatutnya dibiarkan berlarut-larut.
Menyadari hal itulah barangkali Joko Widodo sampai menginstruksikan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, agar memberikan reward kepada daerah yang penyerapannya tinggi dan memberikan punishment kepada daerah yang penyerapannya rendah. Ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah pusat kepada daerah, dalam konteks pengelolaan anggaran. Juga, langkah untuk membangunkan kesadaran daerah, yang serapannya masih rendah. Mereka harus disadarkan, karena serapan yang rendah akan membuat penduduk yang kurang mampu menjadi tidak mampu, lantas terlempar ke dalam jurang kemiskinan.
Jakarta, 7 September 2015
------------------------------
Apalagi yang ditunggu dari Joko Widodo? Daya beli masyarakat makin lemah, nilai tukar rupiah terus anjlok, dan target ekonomi direvisi berkali-kali. Apalagi yang ditunggu?
Benarkah pusat selalu benar? Model komunikasi satu arah yang diterapkan pusat terhadap daerah selama ini, terbukti tidak mampu membangun kesepahaman antara pusat dan daerah.
--------------------------
[1] Sanksi yang mungkin diberikan, antara lain, penghentian pemberian dana alokasi khusus serta pemotongan insentif. Sanksi lain adalah daerah dengan serapan rendah tak akan lagi mendapatkan transfer daerah berupa uang cash, melainkan surat utang. Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, mengemukakan hal itu di kantor Presiden, Jakarta, pada Rabu 2 September 2015. Selengkapnya, silakan baca Gelar Sidang Kabinet Secara Maraton, Ini Target Jokowi, yang dilansir tempo.co, pada Rabu l 02 September 2015 | 16:50 WIB.
[2] Rapat maraton itu digelar atas keinginan Joko Widodo. Pada rapat kabinet paripurna, Rabu siang (2/9/2015), Kementerian Keuangan melaporkan temuan mengenai 154 peraturan perundang-undangan yang perlu disempurnakan untuk menggenjot serapan anggaran daerah. Selengkapnya, silakan baca Perbaiki Hambatan Serapan Anggaran, Jokowi Bakal Rapat "Maraton" di Istana Bogor, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 2 September 2015 | 13:26 WIB.
[3] Selengkapnya, silakan baca Persepsi Terantuk Kenaikan Harga, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu | 29 April 2015.
[4] Saat rapat koordinasi pemerintah pusat dengan sekretaris daerah provinsi dan kepala biro keuangan provinsi, pada Kamis (3/9/2015), Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan, "Kalau ada keraguan, ada Saya, ada Mendagri. Kami siap kirim tim asistensi, siap membantu daerah, supaya daerah lebih berani menyerap anggaran." Selengkapnya, silakan baca Dunia Usaha Tunggu Penyaluran Anggaran, Pusat Perlu Asistensi Daerah, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat siang l 4 September 2015 l 15:48 WIB.
[5] "Dari data ini, tampak bahwa Kalteng bukan provinsi yang tingkat kemiskinannya tinggi. Akan tetapi, kita tetap mempunyai tanggung jawab menurunkan angka kemiskinan di Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila yang kita cintai ini," ujar Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kalteng, Guntur Talajan, kepada wartawan, pada Jumat (13/3/2015). Selengkapnya, silakan baca 6,07% Penduduk Kalteng Miskin, yang dilansir mediakalimantan.com, pada Sabtu l 14 Maret 2015 l 09:37 WIB.
[6] Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta akan meningkat tahun 2015 ini. Masyarakat akan menyesuaikan dengan angka kebutuhan hidup layak (KHL) DKI Jakarta. Selengkapnya, silakan baca Kemiskinan Meningkat di Jakarta, Ini Kata Ahok, yang dilansir kompas.com, pada Senin l 6 April 2015 | 18:14 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H