Terus melemahnya daya beli masyarakat, merupakan indikator bahwa berbagai program ekonomi pemerintah, masih mengambang. Belum menyentuh kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Ditambah lagi dengan tidak tercapainya sejumlah target ekonomi yang sudah ditetapkan pemerintah. Apalagi dengan terus diturunkannya target pertumbuhan ekonomi: dari 5,7 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen, diturunkan lagi menjadi 5,2 persen, dan lagi-lagi diturunkan menjadi 4,7 persen.
Akumulasi dari semua itu, bukan hanya mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat, tapi sekaligus menunjukkan rendahnya kemampuan pemerintah memetakan persoalan. Dana sudah ada tapi tidak mampu mengelolanya, agar bermanfaat bagi rakyat. Tabulasi realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di atas, menunjukkan rendahnya serapan anggaran di sejumlah provinsi di Pulau Jawa. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah pusat sesungguhnya tidak sensitif pada persoalan yang dihadapi daerah.
Jangankan untuk mencermati kendala yang dihadapi Provinsi di Luar Jawa, Provinsi yang berada di Pulau Jawa saja tidak di-support dengan seksama. Joko Widodo boleh saja memilih tinggal di Istana Bogor, Jawa Barat, tapi lihatlah serapan anggaran APBD Jawa Barat yang hanya 26 persen, nomor empat terendah, dari seluruh provinsi di tanah air. Demikian pula halnya dengan DKI Jakarta, yang serapan anggarannya hanya 19 persen, nomor dua terendah, dari seluruh provinsi. Realitas tersebut memperlemah daya beli masyarakat, juga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Serapan dan Angka Kemiskinan
Para Gubernur sebagai pemimpin daerah, boleh saja berkilah, bahwa mereka lebih memilih tidak melakukan penyerapan anggaran, karena takut pada perkara korupsi. Joko Widodo sebagai Presiden, tentu saja tidak boleh membiarkan pilihan yang demikian. Pembiaran tersebut, sama saja dengan merusak kehidupan masyarakat. Kenapa? Karena, penyerapan anggaran, selain memperlemah daya beli masyarakat, juga sekaligus menaikkan angka kemiskinan. Jumlah penduduk miskin memiliki korelasi dengan serapan anggaran.
Lihatlah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), yang menjadi Provinsi dengan penyerapan APBD tertinggi, 56 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di Kalteng[5] pada September 2014 sebanyak 148.825 orang atau 6,07 persen. Jumlah tersebut, di bawah rata-rata angka kemiskinan nasional, sebesar 11,25 persen kondisi Maret 2014. Bandingkan dengan DKI Jakarta[6], yang serapan anggarannya nomor dua terendah, 19 persen. BPS mencatat, pada September 2014, jumlah warga miskin 412.790 orang atau 4,09 persen, meningkat dibandingkan dengan Maret 2014 yang 393.980 orang atau 3,92 persen.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, memprediksi, jumlah warga kurang mampu di DKI Jakarta, mencapai hampir 20 persen, yang berarti ada sekitar 2 juta orang di ibukota, yang penghasilan mereka di bawah Rp 2,4 juta. Tiap provinsi memiliki karakteristiknya sendiri. Serapan anggaran memang bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan, tapi data di atas memperlihatkan korelasi yang cukup signifikan. Kondisi tersebut tentulah tidak sepatutnya dibiarkan berlarut-larut.
Menyadari hal itulah barangkali Joko Widodo sampai menginstruksikan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, agar memberikan reward kepada daerah yang penyerapannya tinggi dan memberikan punishment kepada daerah yang penyerapannya rendah. Ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah pusat kepada daerah, dalam konteks pengelolaan anggaran. Juga, langkah untuk membangunkan kesadaran daerah, yang serapannya masih rendah. Mereka harus disadarkan, karena serapan yang rendah akan membuat penduduk yang kurang mampu menjadi tidak mampu, lantas terlempar ke dalam jurang kemiskinan.
Jakarta, 7 September 2015
------------------------------