Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Joko Widodo Ditinggal atau Ditunggu? Kabinet Kerja vs Kabinet Tunggu

5 September 2015   15:12 Diperbarui: 5 September 2015   16:56 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini capture dari salah satu berita utama print.kompas.com, yang dilansir Jumat siang l 4 September 2015 l 15:48 WIB. Di tengah terus melemahnya daya beli masyarakat, terus anjloknya nilai tukar rupiah, dan Bank Indonesia telah merevisi berkali-kali proyeksi target pertumbuhan ekonomi, apalagi yang ditunggu? Rakyat sudah menanggung beban, akibat semua itu, meski tidak turut dalam pengambilan berbagai keputusan atas sejumlah kebijakan. Foto: print.kompas.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Kata tunggu, menjadi kata yang generic dalam pemerintahan Joko Widodo. Padahal, ini era Kabinet Kerja, bukan Kabinet Tunggu. Presiden beserta jajarannya merasa sudah bekerja, salah satunya mengganti menteri bidang ekonomi. Apalagi yang ditunggu dari Joko Widodo?

Mereka yang selama ini mengelu-elukan Joko Widodo, praktis sudah mendapat jatah jabatan serta kedudukan. Luhut Binsar Pandjaitan[1], misalnya, yang hengkang dari Partai Golkar, bahkan sudah mendapat jatah dua jabatan, hanya dalam tempo 11 bulan pemerintahan Joko Widodo[2]. Jabatan pertama, Kepala Staf Kepresidenan. Jabatan kedua, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Teten Masduki[3], yang gagal sebagai calon wakil gubernur Jawa Barat, mendampingi politisi PDI Perjuangan, Rieke Dyah Pitaloka, saat Pilkada Jabar periode 2013-2018, juga sudah mendapat dua jatah jabatan, hanya dalam tempo 4 bulan. Jabatan pertama, Anggota Tim Komunikasi Presiden. Jabatan kedua, Kepala Staf Kepresidenan. Apalagi yang ditunggu dari Joko Widodo?

Pejabat Surprise dan Rakyat Pasrah

Secara kasat mata, mereka yang selama ini mengelu-elukan Joko Widodo, sudah menerima bagiannya: jabatan serta kedudukan. Boleh dibilang, dalam tempo 11 bulan ini, Joko Widodo sudah sukses bekerja membagikan jabatan kepada para pendukungnya. Entahlah, kalau masih ada yang ngedumel, karena merasa berjasa dan merasa belum dapat bagian jabatan yang diinginkan. Tidak perlu ngedumel atau mangkel, tunggu saja. Toh, orang-orang juga menunggu, seperti Dunia Usaha Tunggu Penyaluran Anggaran, Pusat Perlu Asistensi Daerah, sebagaimana diberitakan print.kompas.com di atas.

Rakyat, yang sebagian juga mengelu-elukan Joko Widodo, sudah menerima bagiannya: melambungnya harga barang dan jasa. Bukan hanya sekali, tapi juga sudah beberapa kali. Para pekerja, yang sebenarnya juga rakyat, sudah menerima bagiannya: dapat jatah pengurangan jam kerja, dapat fasilitas dirumahkan, dan dapat status pemutusan hubungan kerja[4]. Tunggu saja, tidak perlu menjerit, seperti Rakyat Sudah Menjerit, Namun Presiden Tidak Mendengar, sebagaimana diberitakan tribunnews.com, pada Kamis l 9 April 2015 l 16:08 WIB.

Pejabat dan rakyat, memang jelas sekali perbedaannya, saat menerima bagian masing-masing. "Dua kali saya sudah diberi surprise oleh Pak Presiden," kata Luhut Binsar Pandjaitan, saat serah terima jabatan di Kantor Kemenko Polhukam, pada Kamis (13/8/2015)[5]. Sementara itu, sebagian masyarakat beranggapan, harga-harga yang telanjur naik tidak bakal turun lagi, meskipun harga BBM bersubsidi diturunkan, tulis print.kompas.com, pada 29 April 2015, mengutip hasil survei triwulanan bidang ekonomi, yang dilakukan Litbang Kompas[6].

Pejabat surprise dan rakyat pasrah, begitulah nampaknya. Demikianlah bedanya. Pejabat mengacu kepada jabatan dan kedudukan, rakyat mengacu pada beban dan kemiskinan. Rakyat, sebagaimana galibnya, tentulah tidak berdaya menghadapi gurita kekuasaan, yang sudah diduduki oleh mereka, yang selama ini mengelu-elukan Joko Widodo. Pilihan satu-satunya ya pasrah. Atau, dalam bahasa mantan Presiden Abdurrahman Wahid[7] wis pek-pek’en kabeh. Terjemahan bebasnya ya udah, ambil saja semua.

Ini capture dari salah satu berita utama print.kompas.com, yang dilansir Selasa l 28 April 2015. Menunggu dan Menanti, barangkali nyaris serupa maknanya. Di berita pertama, Dunia Usaha yang Menunggu, di berita kedua ini Pasar Menanti. Dari bulan April menanti realisasi janji-janji eh bulan September masih menunggu penyaluran anggaran. Mungkin ada yang belum paham bahwa ini adalah era Kabinet Kerja, bukan Kabinet Janji dan bukan pula Kabinet Tunggu. Foto: print.kompas.com

April Menanti, September Menunggu

Kalau ada yang percaya pada kata-kata Joko Widodo, maka sang Presiden tentu telah membaca kedua berita tersebut. Kita bisa berasumsi, bahwa mereka yang selama ini mengelu-elukan Joko Widodo dan mereka yang telah kebagian kedudukan serta jabatan, tentulah percaya pada apa yang dikatakan Joko Widodo. Di edisi khusus menyambut 50 Tahun Kompas, pada Minggu l 28 Juni 2015, Joko Widodo menulis, sebagai Presiden, saya menjadikan Kompas sebagai salah satu sumber penting untuk memantau apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat.

Mengacu kepada petikan tulisan Membangun Optimisme Masyarakat, yang ditempatkan di halaman 17 tersebut, Joko Widodo barangkali sudah membaca kedua berita di atas. Entah apa reaksinya, karena bulan April pasar menanti realisasi janji-janji eh bulan September dunia usaha masih menunggu penyaluran anggaran. Sikap menunggu dan menanti di atas, jelas tidak menunjukkan optimisme masyarakat. Justru yang tercermin adalah sikap sebaliknya: keragu-raguan, kesangsian, bahkan mungkin ketidakpercayaan.

Joko Widodo sudah berulang-kali berupaya mendongkrak optimisme masyarakat. Pada Sabtu (23/5/2015)[8], misalnya, Joko Widodo dengan tegas menyatakan, jika ada yang meragukan (ekonomi Indonesia) tidak akan tumbuh, itu keliru besar. Sebentar lagi dapat dilihat, bulan depan akan mulai, dan bulan berikutnya akan maju. Pada Selasa (25/8/2015)[9], Joko Widodo lebih menegaskan lagi, pemerintah masih memiliki anggaran yang cukup untuk membangkitkan perekonomian dalam negeri. Rinciannya, APBN masih Rp 460 triliun, APBD Rp 273 triliun, dan BUMN masih punya Rp 130 triliun.

Tapi, kenapa dunia usaha dan pasar masih menunggu dan menanti? Apalagi yang mereka tunggu dari Joko Widodo? Saking menunggunya, sebagaimana dituturkan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Erwin Rijanto[10], pada Jumat (21/8/2015), ada 30 persen dari plafon kredit yang sudah disetujui bank, tapi belum dicairkan oleh pelaku usaha. Artinya, para pebisnis tersebut menunda untuk berekspansi. Tunggu-menunggu, nanti-menanti, dan tunda-menunda tentulah menguras energi serta makin memperlemah daya beli masyarakat.

Tabel kiri menunjukkan 10 Provinsi Tertinggi dalam realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Tabel kanan menunjukkan 10 Provinsi Terendah dalam realisasi APBD. Perhitungan ini bersumber dari Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, hingga 31 Agustus 2015. Jawa Timur adalah satu-satunya Provinsi di Pulau Jawa yang masuk kategori 10 Provinsi Tertinggi. Ini catatan tersendiri untuk provinsi lain di Jawa, yang dekat dengan pusat kekuasaan. Foto: print.kompas.com

Mempersingkat Waktu Tunggu

Rendah dan lambannya realisasi anggaran di daerah, kerap dituding sebagai biang keladi terus melemahnya daya beli masyarakat. Tabel di atas menunjukkan, hanya satu Provinsi di Pulau Jawa, yakni Provinsi Jawa Timur, yang masuk ke dalam kategori 10 Provinsi Tertinggi dalam realisasi anggaran. Secara geografis, provinsi di Jawa, lebih dekat dengan pusat kekuasaan. Secara infrastruktur, provinsi di Jawa, relatif lebih baik dibanding rata-rata infrastruktur di luar Jawa. Tapi, kenapa realisasi anggaran di provinsi di Pulau Jawa, tidak mencerminkan sejumlah kelebihan yang mereka miliki?

Dalam konteks tunggu-menunggu, katakanlah karena daerah takut terjerat hukum sebagaimana yang dituduhkan pemerintah pusat, bukankah di Provinsi di Pulau Jawa, lebih banyak orang-orang yang masuk kategori melek hukum? Dari sisi komunikasi, apalagi. Jaringan komunikasi di Pulau Jawa relatif lebih andal, dibanding infrastuktur teknologi informasi di luar Jawa, yang memungkinkan pihak berwenang di provinsi-provinsi di Jawa leluasa berinteraksi dengan pemerintah pusat. Artinya, pemetaan tunggu-menunggu oleh pemerintah pusat, sudah seharusnya lebih cermat, mengingat dimensi yang menyertainya.

Kesadaran untuk lebih cermat tersebut, setidaknya, sudah tercermin dalam Rapat Koordinasi Percepatan Penyerapan Anggaran, Pemekaran Daerah, Pilkada Serentak, dan Konsolidasi Kesbangpol 2015 di Sasana Bhakti Praja Kemendagri, Jakarta, pada Kamis (3/9/2015). Pendekatan Luhut Binsar Pandjaitan, tidak lagi dengan ancam-mengancam[11]. Tjahjo Kumolo pun tidak lagi dengan geram-geraman[12]. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Menteri Dalam Negeri tersebut, telah berupaya menempatkan diri dalam ranah persuasif. Ada itikad untuk membangun kebersamaan dengan pemimpin daerah, tidak lagi serba perintah dan instruksi.

Saat rapat koordinasi pemerintah pusat dengan sekretaris daerah provinsi dan kepala biro keuangan provinsi, pada Kamis (3/9/2015) itu, misalnya, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan, "Kalau ada keraguan, ada Saya, ada Mendagri. Kami siap kirim tim asistensi, siap membantu daerah, supaya daerah lebih berani menyerap anggaran."[13] Ia juga meminta Kejaksaan Agung untuk memberi penyuluhan ke daerah, demi membangun kepercayaan diri daerah, supaya daerah lebih berani dalam mencairkan anggaran.

Hal tersebut, sudah sepatutnya kita apresiasi. Karena, kebersamaan dan langkah persuasif itu, merupakan jalan yang positif untuk mempersingkat waktu tunggu. Itikad Luhut Binsar Pandjaitan dan Tjahjo Kumolo untuk bersikap persuasif kepada daerah, menunjukkan kepada kita bahwa mereka adalah bagian dari Kabinet Kerja, bukan Kabinet Tunggu. Solusi yang mereka berikan, dengan menyiapkan tim asistensi dan penyuluhan dari Kejaksaan Agung, telah menempatkan Joko Widodo sebagai Presiden yang ditunggu, bukan ditinggal dunia usaha.

Jakarta, 5 September 2015  

------------------------------

Pusat lebih sering menggunakan kata instruksi, perintah, bahkan ancaman kepada daerah. Sebaliknya, daerah lebih kerap menggunakan kata permohonan, pengajuan, dan harapan.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/pejabat-pusat-arogan-pemda-dan-pengusaha-bukan-anak-buah-orang-pusat_55e27fd7369773080c846e38

Dana Rp 255 triliun mengendap di daerah, kata Menteri Keuangan, Bambang Brojonegoro di Jakarta, pada Senin (13/7/2015). Dana itu disimpan di bank dan belum diserap untuk pembangunan.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/joko-widodo-mengeluh-luhut-panjaitan-mengancam-dan-target-serapan-tidak-tercapai_55a47d7ff17e61060bef70b8

--------------------------

[1] Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan surat resmi mundur sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, terhitung Rabu (21/5/2014). Dalam suratnya, Luhut tidak menyebut keluar dari keanggotaan Partai Golkar. Luhut memilih mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sementara, Partai Golkar mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

[2] Presiden Joko Widodo melantik Luhut Binsar Panjaitan sebagai Kepala Staf Kepresidenan di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (31/12/2014). Pada Rabu (12/8/2015), Joko Widodo melantik Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno.

[3] Pada bulan Mei 2015, Presiden Joko Widodo menarik Teten Masduki untuk langsung menjadi anggota Staf Khusus Bidang Komunikasi. Kemudian, pada Rabu (2/9/2015), Teten Masduki dilantik Joko Widodo menjadi Kepala Staf Kepresidenan, menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan.

[4] Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafii Maarif, mengadakan pertemuan sekitar 40 menit dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (29/6/2015). Menurut Syafii Maarif, perekonomian Indonesia melambat, produk domestik menurun, harga sejumlah komoditas juga turun. Kondisi itu telah memicu pengangguran yang luar biasa.

[5] Sebagai mantan tentara, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, ia sudah terbiasa mendapatkan tugas dari negara. Ia menegaskan, akan melanjutkan kinerja yang telah dimulai oleh Tedjo Edhy Purdijatno dalam memimpin Kemenko Polhukam. Selengkapnya, silakan baca Luhut: Dua Kali Saya Dikasih "Surprise" Presiden, yang dilansir kompas.com, pada Kamis l 13 Agustus 2015 | 12:42 WIB.

[6] Perbandingan hasil survei triwulanan bidang ekonomi menunjukkan indikator paling jeblok. Secara umum, 65 persen responden menilai keadaan ekonomi nasional saat ini dalam kondisi buruk. Selengkapnya, silakan baca Persepsi Terantuk Kenaikan Harga, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu | 29 April 2015.

[7] Kata-kata tersebut diucapkan Abdurrahman Wahid, menjelang Pemilihan Presiden 2004. Saat itu, Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri sebagai presiden dan menghendaki Hasyim Muzadi sebagai wakilnya. Pada saat yang sama, Wiranto sebagai calon presiden dari Partai Golkar, mengharapkan dukungan dari Nahdlatul Ulama. Selengkapnya, silakan baca Saya Tak Mau Ditikam Dua Kali, yang dilansir Majalah Tempo edisi 9 Mei 2004, halaman 32-33.

[8] ”Saya datang ke sini ingin menunjukkan, investasi akan berjalan dan terus tumbuh. Jika ada yang meragukan (ekonomi Indonesia) tidak akan tumbuh, itu keliru besar. Sebentar lagi dapat dilihat, bulan depan akan mulai, dan bulan berikutnya akan maju,” kata Presiden saat meresmikan dimulainya pembangunan menara kembar ”Indonesia 1” milik Surya Paloh, di Jakarta, Sabtu (23/5/2015). Menara Indonesia 1 akan dibangun PT China Sonangol Media Investment (CSMI) dengan dana 650 juta dollar AS atau setara Rp 8 triliun, yang sepenuhnya modal asing. CSMI merupakan usaha patungan PT China Sonangol Land dari Tiongkok dengan Media Group yang dimiliki pengusaha dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Saat pemilihan presiden-wakil presiden lalu, Nasdem merupakan partai politik pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Selengkapnya bisa dibaca Presiden: Keliru jika Ragukan Pertumbuhan RI, yang dilansir print.kompas.com, pada Minggu, 24 Mei 2015.

[9] Joko Widodo mengatakan hal tersebut, usai membuka Munas MUI IX di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa (25/8/2015). Presiden Jokowi juga mengatakan, bahwa Bank Indonesia (BI), Menko Perekonomian, dan Menteri Keuangan sudah membuat instrumen untuk mencari jalan keluar terkait melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Selengkapnya, silakan baca Presiden Jokowi: Jangan Pesimistis, Kita Masih Pegang Duit, yang dilansir kompas.com, pada Selasa l 25 Agustus 2015 | 15:54 WIB.

[10] Porsi kredit perbankan yang belum ditarik debitor, cenderung meningkat. Penyebabnya, kondisi perekonomian yang masih lesu. Per Juni 2015, kredit perbankan yang belum ditarik mencapai 30 persen dari plafon kredit, yang telah disetujui bank. Selengkapnya, silakan baca Kredit yang Belum Ditarik Meningkat, yang dilansir print.kompas.com, pada Sabtu | 22 Agustus 2015.

[11] Menurut Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah akan melakukan berbagai hal agar pemerintah daerah segera melakukan pencairan. ‎Dari mulai cara sederhana, seperti meminta langsung melalui telepon, hingga ancaman perubahan anggaran di tahun selanjutnya. Luhut mengatakan hal itu usai mendampingi Presiden Jokowi bertemu dengan utusan khusus Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, Hiroto Izumi, di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, pada Jumat, 10 Juli 2015. Selengkapnya, bisa dibaca Dana Transfer Mengendap, Pemerintah Pusat Ancam Daerah, yang dilansir tempo.co, pada Jumat, 10 Juli 2015 | 14:20 WIB.

[12] Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, geram karena penyaluran dana pembangunan desa sampai saat ini baru mencapai 20 persen. Padahal, instruksi dan radiogram sudah disampaikan kepada para kepala daerah di seluruh Indonesia. Bahkan, kepala daerah sudah dipanggil ke pusat, begitu pula sekretaris daerah. Kepala biro keuangan dan kepala dinas keuangan pemerintah daerah juga sudah dipanggil, begitu pula DPRD. Selengkapnya, silakan baca Mendagri Geram Penyaluran Baru Mencapai 20 Persen, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat | 28 Agustus 2015.

[13] "Aparat penegak hukum kami minta untuk tidak mencari-cari kesalahan orang. Jangan terlalu cepat menghukumi orang. Sebab, bisa saja kesalahan itu terjadi karena tidak sengaja, ketidaktahuan, atau memang kebijakan yang dibuat berpotensi disalahgunakan jadi kesalahan," kata Luhut Binsar Panjaitan. Selengkapnya, silakan baca seperti Dunia Usaha Tunggu Penyaluran Anggaran, Pusat Perlu Asistensi Daerah, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat siang l 4 September 2015 l 15:48 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun