Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Joko Widodo Ditinggal atau Ditunggu? Kabinet Kerja vs Kabinet Tunggu

5 September 2015   15:12 Diperbarui: 5 September 2015   16:56 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ada yang percaya pada kata-kata Joko Widodo, maka sang Presiden tentu telah membaca kedua berita tersebut. Kita bisa berasumsi, bahwa mereka yang selama ini mengelu-elukan Joko Widodo dan mereka yang telah kebagian kedudukan serta jabatan, tentulah percaya pada apa yang dikatakan Joko Widodo. Di edisi khusus menyambut 50 Tahun Kompas, pada Minggu l 28 Juni 2015, Joko Widodo menulis, sebagai Presiden, saya menjadikan Kompas sebagai salah satu sumber penting untuk memantau apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat.

Mengacu kepada petikan tulisan Membangun Optimisme Masyarakat, yang ditempatkan di halaman 17 tersebut, Joko Widodo barangkali sudah membaca kedua berita di atas. Entah apa reaksinya, karena bulan April pasar menanti realisasi janji-janji eh bulan September dunia usaha masih menunggu penyaluran anggaran. Sikap menunggu dan menanti di atas, jelas tidak menunjukkan optimisme masyarakat. Justru yang tercermin adalah sikap sebaliknya: keragu-raguan, kesangsian, bahkan mungkin ketidakpercayaan.

Joko Widodo sudah berulang-kali berupaya mendongkrak optimisme masyarakat. Pada Sabtu (23/5/2015)[8], misalnya, Joko Widodo dengan tegas menyatakan, jika ada yang meragukan (ekonomi Indonesia) tidak akan tumbuh, itu keliru besar. Sebentar lagi dapat dilihat, bulan depan akan mulai, dan bulan berikutnya akan maju. Pada Selasa (25/8/2015)[9], Joko Widodo lebih menegaskan lagi, pemerintah masih memiliki anggaran yang cukup untuk membangkitkan perekonomian dalam negeri. Rinciannya, APBN masih Rp 460 triliun, APBD Rp 273 triliun, dan BUMN masih punya Rp 130 triliun.

Tapi, kenapa dunia usaha dan pasar masih menunggu dan menanti? Apalagi yang mereka tunggu dari Joko Widodo? Saking menunggunya, sebagaimana dituturkan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Erwin Rijanto[10], pada Jumat (21/8/2015), ada 30 persen dari plafon kredit yang sudah disetujui bank, tapi belum dicairkan oleh pelaku usaha. Artinya, para pebisnis tersebut menunda untuk berekspansi. Tunggu-menunggu, nanti-menanti, dan tunda-menunda tentulah menguras energi serta makin memperlemah daya beli masyarakat.

Tabel kiri menunjukkan 10 Provinsi Tertinggi dalam realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Tabel kanan menunjukkan 10 Provinsi Terendah dalam realisasi APBD. Perhitungan ini bersumber dari Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, hingga 31 Agustus 2015. Jawa Timur adalah satu-satunya Provinsi di Pulau Jawa yang masuk kategori 10 Provinsi Tertinggi. Ini catatan tersendiri untuk provinsi lain di Jawa, yang dekat dengan pusat kekuasaan. Foto: print.kompas.com

Mempersingkat Waktu Tunggu

Rendah dan lambannya realisasi anggaran di daerah, kerap dituding sebagai biang keladi terus melemahnya daya beli masyarakat. Tabel di atas menunjukkan, hanya satu Provinsi di Pulau Jawa, yakni Provinsi Jawa Timur, yang masuk ke dalam kategori 10 Provinsi Tertinggi dalam realisasi anggaran. Secara geografis, provinsi di Jawa, lebih dekat dengan pusat kekuasaan. Secara infrastruktur, provinsi di Jawa, relatif lebih baik dibanding rata-rata infrastruktur di luar Jawa. Tapi, kenapa realisasi anggaran di provinsi di Pulau Jawa, tidak mencerminkan sejumlah kelebihan yang mereka miliki?

Dalam konteks tunggu-menunggu, katakanlah karena daerah takut terjerat hukum sebagaimana yang dituduhkan pemerintah pusat, bukankah di Provinsi di Pulau Jawa, lebih banyak orang-orang yang masuk kategori melek hukum? Dari sisi komunikasi, apalagi. Jaringan komunikasi di Pulau Jawa relatif lebih andal, dibanding infrastuktur teknologi informasi di luar Jawa, yang memungkinkan pihak berwenang di provinsi-provinsi di Jawa leluasa berinteraksi dengan pemerintah pusat. Artinya, pemetaan tunggu-menunggu oleh pemerintah pusat, sudah seharusnya lebih cermat, mengingat dimensi yang menyertainya.

Kesadaran untuk lebih cermat tersebut, setidaknya, sudah tercermin dalam Rapat Koordinasi Percepatan Penyerapan Anggaran, Pemekaran Daerah, Pilkada Serentak, dan Konsolidasi Kesbangpol 2015 di Sasana Bhakti Praja Kemendagri, Jakarta, pada Kamis (3/9/2015). Pendekatan Luhut Binsar Pandjaitan, tidak lagi dengan ancam-mengancam[11]. Tjahjo Kumolo pun tidak lagi dengan geram-geraman[12]. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Menteri Dalam Negeri tersebut, telah berupaya menempatkan diri dalam ranah persuasif. Ada itikad untuk membangun kebersamaan dengan pemimpin daerah, tidak lagi serba perintah dan instruksi.

Saat rapat koordinasi pemerintah pusat dengan sekretaris daerah provinsi dan kepala biro keuangan provinsi, pada Kamis (3/9/2015) itu, misalnya, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan, "Kalau ada keraguan, ada Saya, ada Mendagri. Kami siap kirim tim asistensi, siap membantu daerah, supaya daerah lebih berani menyerap anggaran."[13] Ia juga meminta Kejaksaan Agung untuk memberi penyuluhan ke daerah, demi membangun kepercayaan diri daerah, supaya daerah lebih berani dalam mencairkan anggaran.

Hal tersebut, sudah sepatutnya kita apresiasi. Karena, kebersamaan dan langkah persuasif itu, merupakan jalan yang positif untuk mempersingkat waktu tunggu. Itikad Luhut Binsar Pandjaitan dan Tjahjo Kumolo untuk bersikap persuasif kepada daerah, menunjukkan kepada kita bahwa mereka adalah bagian dari Kabinet Kerja, bukan Kabinet Tunggu. Solusi yang mereka berikan, dengan menyiapkan tim asistensi dan penyuluhan dari Kejaksaan Agung, telah menempatkan Joko Widodo sebagai Presiden yang ditunggu, bukan ditinggal dunia usaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun