Kriko Kompasiana menyapa warga dengan berkeliling kota, dengan gerbong Kompasiana, di rangkaian Commuter Line Jabodetabek. Untuk mendukung aksi Kriko sapa warga ini, Kompasiana mengajak para Kompasianer untuk berpartisipasi dalam photo competition bertema Naik KRL Bareng Kompasiana. Temukan kereta dengan gerbong keren tersebut, kemudian silakan berfoto di dekat gerbong atau bagian kereta lainnya yang memiliki dekorasi Kompasiana. Foto: kompasiana.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Kriko[1] Kompasiana keliling kota di gerbong Kompasiana di rangkaian Commuter Line[2]. Keren, maskot warga biasa nyatu dengan transportasi kota, yang juga untuk warga biasa. Klop, ketika Alvidhiansyah Putra Anugerah me-launching komunitas Kompasianer Pengguna Commuter Line (KPC).
Alvidhiansyah Putra Anugerah memang orang dalam, maksudnya ia adalah Kompasianer[3] yang berada di lingkaran dalam Kompasiana, yang sehari-hari akrab disapa Alvi. Karena ia bermukim di Bogor, maka ia menjadi pengguna setia Commuter Line, dengan rute Stasiun Bogor hingga Stasiun Palmerah, yang hanya sepelemparan batu dari kantor pusat Kompasiana. Ada berapa orang dalam Kompasiana yang sehari-hari menggunakan Commuter Line? Alvi memang tidak menyebutkan jumlah, tapi ia menuliskan, admin-admin Kompasiana, sebagian besar adalah pengguna Commuter Line.
Siip, Siap, dan Sigap
Ini setidaknya menjadi penanda bahwa spirit KPC sebagai komunitas, akan dengan cepat terasa getarannya. Muthiah Al-Hasany, misalnya, sigap menyambut. Kompasianer yang tinggal di Depok itu, sudah membuat fanpage K.P.C.L. (Kompasianer Pengguna Commuter Line) di Facebook. Tak sampai 30 menit setelah Alvi mengunggah Undangan untuk Para Blogger dan Kompasianer Pengguna Commuterline pada Rabu l 02 September 2015 l 14:52:18 WIB, muthiah alhasany langsung menyambutnya dengan sigap siip, Mas Alvi, siap bergerak, pada Rabu l 02 September 2015 l 15:12:45 WIB.
Dari situ kita melihat, ide pendirian komunitas KPC, yang bermula dari orang dalam, dengan cepat menjalar ke keluarga besar Kompasiana. Ini memang khas Kompasianer, serba cepat dan serba responsif. Itu pula yang sangat terasa pada Commuter Line. Sejak 1 April 2015[4] lalu, di lintas Bogor, perjalanan kereta bertambah dari 357 menjadi 391 perjalanan setiap hari. Di lintas Bekasi, dari 126 menjadi 153 perjalanan. Di lintas Serpong, Parung Panjang, dan Maja, dari 118 menjadi 148 perjalanan. Di lintas Tangerang, dari 74 menjadi 88 perjalanan.
Penambahan perjalanan kereta, tentu saja mempersingkat jarak antara satu kereta dengan kereta berikutnya. Ini istilahnya headway. Menurut Direktur Utama KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), Muhammad Nurul Fadhil, saat ini headway masih beragam. Headway untuk lintas Bogor, sudah mencapai lima menit, tetapi untuk lintas Bekasi masih 12 menit. "Targetnya, nanti akan dijadikan lima menit untuk semua relasi, khususnya pada jam-jam sibuk," kata Muhammad Nurul Fadhil.
Artinya, penumpang tidak perlu menunggu lama di stasiun. Otomatis, penumpukan penumpang di stasiun bisa diminimalkan. Memang demikianlah hendaknya transportasi kota, transportasi massal. Dalam konteks hemat waktu dan hemat biaya, Commuter Line saat ini berada di urutan pertama, dibandingkan dengan transportasi umum lainnya di Jakarta. Kalau bicara kenyamanan, itu relatif. Kenyamanan seperti apa yang setara dengan tarif Rp 2.000 untuk jarak 25 kilometer pertama dan tambahan Rp 1.000 untuk setiap 10 kilometer berikutnya?[5]
Komunitas Transportasi Publik
Untuk apa komunitas Kompasianer Pengguna Commuter Line (KPC)? Karena Kompasianer adalah para penulis, maka aktivitas menulis tentang berbagai hal yang relevan dengan Commuter Line, juga tentang transportasi publik lainnya, tetaplah menjadi yang utama. Sebagai inspirasi, tak ada salahnya kita melongok beberapa contoh aktivitas pecinta kereta di beberapa kota di tanah air. Komunitas pecinta kereta di beberapa kota di Jawa Timur[6], misalnya. Pada Desember 2014 lalu, bersamaan dengan libur Natal dan Tahun Baru 2015, mereka beraktivitas di Stasiun Gubeng, Surabaya.
Apa yang mereka lakukan? Mereka, dengan mengenakan seragam masing-masing komunitas, membantu calon penumpang yang hendak berpergian. Mereka menginformasikan jadwal keberangkatan kereta, membantu calon penumpang dengan menunjukkan jalur-jalur keberangkatan, sampai membantu memilihkan tempat duduk sesuai dengan nomor kursi yang tertera pada tiket penumpang. Para anggota dari berbagai komunitas pecinta kereta itu, menjadi relawan bagi kelancaran arus penumpang di Stasiun Gubeng.
Di Jember, juga di Jawa Timur, ada Komunitas Railfans Daops (KRD9)[7] Jember. Salah satu aktivitas mereka adalah rame-rame mencuci lokomotif kereta. Dari rumah masing-masing, anggota komunitas tersebut telah menyiapkan perangkat untuk mencuci, seperti sabun, sikat, dan lap. Karena yang akan dicuci adalah lokomotif, yang tentu saja berbeda dengan mencuci mobil misalnya, anggota komunitas tersebut mengikuti berbagai petunjuk dari petugas KAI Daops 9 Jember. Mereka mendapatkan pengetahuan mengenai mesin lokomotif terlebih dahulu, sebelum melakukan pencucian.
Di Sumatera Barat, meski aktivitas angkutan kereta tidak sebanyak di Pulau Jawa, tapi di sana ada sejumlah komunitas pecinta kereta[8], antara lain, Masyarakat Pecinta Kereta Api Sumbar (MPKAS), Indonesian Railway Preserpation Society (IRPS) Region Sumbar, dan Himpunan Anak Minang Kereta Api (HAMKA). Di samping melakukan aktivitas perawatan kereta seperti komunitas di Jember, komunitas pecinta kereta di Sumatera Barat juga menyelinginya dengan menyambangi sejumlah stasiun, yang sudah lama tidak digunakan.
Mengiringi Atraksi Kriko
Atraksi Kriko Kompasiana sejak 20 Agustus 2015 lalu, tentu saja menarik perhatian. Kriko, yang menjadi maskot Kompasiana, sudah ulang-alik menyapa warga, dengan kereta bertema Kompasiana. Keberadaan gerbong unik tersebut, dengan pernak-pernik Kompasiana di outdoor maupun indoor, adalah bagian dari upaya memperkenalkan Kompasiana ke masyarakat luas, khususnya para pengguna Commuter Line. Juga, kepada masyarakat yang berada di seputaran rel yang dilintasi Commuter Line.
Kita tahu, rata-rata Commuter Line menggotong 700.000 penumpang per hari. Ini bukan jumlah yang sedikit. Di akhir tahun 2015, setelah rangkaian kereta ditambah dari 10 menjadi 12 gerbong per rangkaian, target KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) adalah menggotong 1,2 juta penumpang per hari. So, apa target komunitas Kompasianer Pengguna Commuter Line (KPC)? Pertama, tentulah menyosialisasikan Kompasiana sebagai media warga, yang intinya aktivitas tulis-menulis bukan hanya monopoli kaum jurnalis.
Kedua, men-support KCJ agar transportasi publik ini benar-benar dikelola dengan sungguh-sungguh, hingga menjadi salah satu andalan bagi warga biasa dalam beraktivitas. Dalam konteks industri jasa, kehadiran serta keberadaan komunitas seperti KPC ini adalah bagian dari apa yang disebut partisipasi publik. Ada yang merumuskan Public Participation sebagai —where citizens help shape and implement government programs— is a foundation of open, transparent, and engaging government services. Ada pula yang merumuskan sebagai is a critical input to government activity, and developing effective strategies, programs, and projects.
Kalau kita mau menyimak dengan cermat, ada kata-kata yang berulang-ulang diucapkan Jakob Oetama[9] di berbagai kesempatan, we are no angels. Sebagai pendiri Kompas Gramedia, yang menjadi induk Kompasiana, Jakob Oetama senantiasa mengingatkan bahwa kita hanyalah manusia biasa yang penuh dengan kekurangan. Maka, salah satu jalan yang bisa kita tempuh adalah meminimalkan kekurangan demi kekurangan, dari waktu ke waktu. Berbuat untuk sesama serta berbagi kepada sesama, adalah bagian dari me-reduce segenap kekurangan yang kita miliki.
Jakarta, 3 September 2015
------------------------------
Untuk menyambut Kompasianival 2015, Pepih Nugraha selaku COO Kompasiana, menggelar Kompasiana Community Gathering (KCG), demi menyatukan spirit berkomunitas.
25 Agustus 2015 lalu, komunitas Kompasianer Peniti Community (KPC) meluncurkan 2 buku dari 30 penulis di Kompasiana, di Gedung Kompas Gramedia. Ini buku ke-16 dan 17 dari komunitas KPC.
--------------------------
[1] Kriko sebagai maskot Kompasiana, diluncurkan pada Jumat (21/11/2014), menjelang Kompasianival 2014. Desain maskot tersebut merupakan rekaan Muhammad Syukri, Kompasianer dari Takengon, Aceh, yang menjadi pemenang lomba desain maskot Kompasiana, yang diadakan pada tahun 2011. Kriko berasal dari bahasa Gayo, yang berarti sejenis burung berkepala putih, memiliki ukuran tubuh sebesar ukuran merpati, dan banyak ditemukan di dataran tinggi Gayo, Aceh. Maskot ini diperkenalkan kepada publik pada acara Kompasianival 2014 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, pada Sabtu (22/11/2014). Selengkapnya, silakan baca Kompasiana Luncurkan Maskot dan Kartu Komunitas Berbasis Flazz, yang dilansir kompas.com, pada Jumat l 21 November 2014 | 18:08 WIB.
[2] Ini adalah bagian dari promo Kompasiana di gerbong Commuter Line, sejak 20 Agustus 2015 lalu, hingga setahun ke depan. Sejak makin tertatanya transportasi publik ini, jumlah penumpang yang tahun 2013 sekitar 600.000 per hari, meningkat mencapai 700.000 penumpang tahun 2014, dan pada Juni 2015 sudah mencapai 800.000 orang per hari. Pada hari kerja, jumlah penumpang bisa mencapai 830.000 orang per hari. Berbagai brand, berlomba-lomba berpromo di gerbong kereta. Ini terlihat dari banyaknya iklan di dalam dan di luar gerbong. Tentang efektivitas iklan di gerbong kereta, silakan baca Iklan Di KRL Commuter Line Yang Efektif, yang dilansir pariwara.co.id, pada Selasa l 28 April 2015.
[3] Para penulis di Kompasiana menamakan diri Kompasianer. Kompasiana sebagai media warga, dirintis oleh Pepih Nugraha, yang bergabung dengan Harian Kompas, sejak tahun 1990. Pada tahun 2008, ia ditugaskan untuk membidani Kompasiana, yang kemudian menjadi wadah bagi para penulis, para blogger. Nama Kompasiana dicetuskan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas. Nama Kompasiana pada awalnya merupakan rubrik di Harian Kompas, yang diisi oleh PK Ojong, pendiri Kompas. Saat ini, tercatat sekitar 300.000 penulis di Kompasiana. Sehari-hari Pepih Nugraha akrab disapa Kang Pepih.
[4] PT KAI Commuter Jabodetabek, yang mengelola Commuter Line, menambah perjalanan kereta rel listrik (KRL) commuter line, mulai 1 April 2015. Hal ini menyusul meningkatnya pengguna KRL. Direktur Utama PT KCJ, Muhammad Nurul Fadhil, mengatakan, dengan penambahan itu, akan ada 872 perjalanan KRL per hari atau 115 perjalanan lebih banyak dari sebelumnya. Selengkapnya, silakan baca Penambahan Jadwal Commuter Line dan Ancaman Kemacetan, yang dilansir kompas.com, pada Jumat l 27 Maret 2015 | 18:23 WIB.
[5] Mulai 1 April 2015, Commuter Line menetapkan tarif progresif baru. Skema tarif itu diubah dengan berpatok pada jarak tempuh, bukan lagi pada jumlah stasiun. "PSO (public service obligation/subsidi) pemerintah tetap sama, dapat potongan tiga ribu rupiah tiap penumpang. Seharusnya, kalau tanpa PSO, tarif KRL buat 25 kilometer pertama itu sebesar lima ribu rupiah. Dengan PSO, cuma bayar dua ribu," kata Eva Chaerunisa, Manajer Komunikasi PT Kereta Api Indonesia (KAI) Commuter Jabodetabek, pada Kamis (12/3/2015). Selengkapnya, silakan baca Subsidi Tetap Sama Meski Tarif KRL Commuter Berubah, yang dilansir kompas.com, pada Jumat l 13 Maret 2015 | 02:50 WIB.
[6] Soemarsono, Kepala Humas PT KA Daops VIII Surabaya, menegaskan, kesibukan layanan moda transportasi angkutan kereta api di saat libur Natal dan Tahun Baru, sangat terbantu dengan kehadiran para pecinta kereta api yang menjadi relawan. Selengkapnya, silakan baca Natal, Pecinta Kereta Api Bantu Kesibukan Angkutan KA, yang dilansir suarasurabaya.net, pada Senin l 22 Desember 2014 | 15:06 WIB.
[7] Komunitas ini sudah berjalan lima tahun. Bagi anggota KRD9, Depo Lokomotif milik Daops 9 Jember, yang terletak di Jl. Mawar, Kelurahan/Kecamatan Patrang, merupakan wahana bagi mengalirnya darah para pecinta kereta api. Dengan melihat seluruh lokomotif tersebut, para anggota menjadi lebih sayang dan cinta terhadap mesin-mesin itu. Selengkapnya, silakan baca Melihat Lebih Dekat Para Pecinta Kereta Api di Jember, yang dilansir Radar Jember, pada Rabu l 05 Februari 2014.
[8] Salah satunya, Komunitas Pencinta Kereta Api Sumbar, yang didirikan oleh Maulana Nur Achsani, Anggi Andrian Latif, dan Graha pada 25 November 2010 lalu. Selengkapnya, silakan baca Kiprah Komunitas Pencinta Kereta Api Sumbar, yang dilansir koran.padek.co, pada Sabtu l 29 Agustus 2015 l 11:02 WIB.
[9] Kata-kata Jakob Oetama tersebut dipetik Suryopratomo, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, dalam buku Kompas. Dari Belakang ke Depan. Menulis dari Dalam yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada April 2007 dan dicetak terbatas. Kemudian, setelah dilakukan beberapa revisi, judul buku tersebut disingkat menjadi Kompas, Menulis dari Dalam. Edisi revisi ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada November 2007. Buku ini merupakan catatan pengalaman sejumlah karyawan dan wartawan yang pernah bergabung dengan Kompas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H