Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pejabat Pusat Arogan? Pemda dan Pengusaha Bukan Anak Buah Orang Pusat

30 Agustus 2015   11:00 Diperbarui: 30 Agustus 2015   14:06 1570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, pada Senin (24/8/2015). Rapat yang dihadiri oleh Wakil Presiden, Jusuf Kalla, Dirut BUMN, pengusaha nasional, serta sejumlah menteri kabinet kerja itu, membahas kondisi terkini perekonomian Indonesia. "Kalau pengusaha diundang diskusi, pulangnya akan ada rasa tanggung jawab. Namun, kalau hanya untuk mendengarkan dan basa-basi, pulangnya akan bersungut-sungut," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani. Foto: print.kompas.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Bahasa Indonesia diterjemahkan ke bahasa Madura. Itu terjadi Kamis (27/8/2015) siang, di ruang sidang, di lantai satu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Sidang perkara korupsi itu pun riuh dengan gelak tawa. Asli, Ngakak! Pak Hakim Ikut-ikutan Pakai Bahasa Madura, tulis jpnn.com, pada Jumat l 28 Agustus 2015 l 05:51 WIB.

jpnn.com, sebagai bagian dari kelompok media Jawa Pos, yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur, tentulah paham dengan keriuhan yang penuh dengan gelak tawa tersebut. Peristiwa itu baru pertama kali terjadi di sana. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), I Wayan Riana, yang menangani kasus korupsi dengan terdakwa Fuad Amin, mantan Bupati sekaligus Ketua DPRD Bangkalan, Madura, Jawa Timur, tersebut, juga tidak tahan untuk tidak tertawa. Baginya, ini pengalaman pertama bersidang, yang harus mendatangkan seorang penerjemah, karena saksi yang diperiksa tidak memahami bahasa Indonesia[1]. Penerjemahan itu dilakukan untuk mengatasi kendala bahasa[2], meminimalkan kesalahpahaman, sebagai bagian dari upaya untuk meraih keadilan.

Dilema Bahasa Kekuasaan

Dalam konteks salah paham dan kesalahpahaman, kendala bahasa memang bukan satu-satunya faktor yang menjadi penyebab. Pada bulan-bulan belakangan ini, misalnya, kita menyaksikan demikian banyak kesalahpahaman yang tercipta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, meski kedua pihak sama-sama berkomunikasi dalam bahasa yang sama, yakni bahasa Indonesia. Bila sungguh-sungguh mencermati, kita akan tahu, ternyata pemerintah pusat lebih sering menggunakan pendekatan kekuasaan dalam berkomunikasi dengan pemerintah daerah.

Pusat lebih sering menggunakan kata instruksi, perintah, bahkan ancaman kepada daerah. Sebaliknya, daerah lebih kerap menggunakan kata permohonan, pengajuan, keinginan, dan harapan kepada pusat. Dari sini kita melihat, kedudukan pusat yang lebih tinggi, membuat pejabat pusat cenderung sewenang-wenang terhadap pejabat daerah, setidaknya dalam konteks berkomunikasi. Selain itu, Pusat juga cenderung memosisikan diri sebagai pihak yang selalu benar. Misalnya, bila instruksi tidak berjalan sebagaimana maunya pejabat pusat, maka yang dituding salah adalah pejabat daerah.

Benarkah pusat selalu benar? Model komunikasi one way yang diterapkan pusat terhadap daerah selama ini, terbukti tidak mampu membangun kesepahaman antara pusat dan daerah. Keruwetan penyaluran Dana Desa adalah contoh kongkrit yang menggambarkan kondisi tersebut. Tjahjo Kumolo[3] sampai tidak mampu menahan kegeramannya pada Kamis (27/8/2015), karena penyaluran dana pembangunan desa, baru 20 persen. Geram kepada siapa? Kepada bupati dan walikota, tentunya.

Toh, kegeraman Menteri Dalam Negeri tersebut, tidak serta-merta mempercepat bergulirnya dana desa yang dimaksud. Luhut Binsar Pandjaitan[4], misalnya, ketika menjadi Kepala Staf Kepresidenan, juga dengan sadar mengancam pemerintah daerah, dalam kaitan penyerapan anggaran. Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo[5], pada awal Agustus 2015, mengatakan, kementeriannya telah mengirimkan surat edaran peringatan soal serapan anggaran pemerintah daerah. Pemerintah juga menyiapkan sejumlah sanksi bagi pemerintah daerah yang serapan anggarannya rendah.

Mendagri Tjahjo Kumolo (kanan berdiri) pada rapat koordinasi para bupati dari wilayah Sumatera di Istana Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (22/1/2015). Rencananya, pada 1-2 September 2015, Kemendagri akan mengundang semua gubernur, bupati, dan walikota se-Indonesia. Pada 3-4 September 2015, Kemendagri mengundang Biro Keuangan Daerah dan Sekda (sekretaris daerah) se-Indonesia. Agenda pertemuan tersebut, antara lain, akan membahas dana desa, lantaran sejauh ini masih banyak yang belum optimal dalam penyerapannya. Hal itu dikatakan Mendagri Tjahjo Kumolo di kantornya, Jakarta Pusat, pada Kamis (20/8/2015). Foto: antaranews.com

Pemda Bukan Anak Buah Pusat

Pendekatan kekuasaan, dengan format relasi atasan-bawahan tersebut, ternyata tidak menjadi solusi bagi peningkatan penyerapan anggaran. Ada hal yang sesungguhnya lebih mendasar dari relasi pusat dan daerah tersebut: kedudukan, legitimasi. Secara hirarki, kedudukan gubernur, bupati, dan walikota, memang berada di bawah menteri dalam negeri. Tapi, harap diingat, menteri hanya dipilih oleh Presiden, sementara gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam konteks tatanan bernegara, kekuasaan gubernur, bupati, dan walikota, jelas lebih mengakar, dibandingkan dengan kekuasaan seorang menteri dalam negeri.

Apalagi, jika pejabat daerah tersebut sampai terpilih untuk periode kedua jabatannya. Itu salah satu indikator yang menunjukkan bahwa ia memperoleh dukungan kuat dari masyarakat setempat. Karena itu, mana mau mereka diperlakukan layaknya anak buah oleh Tjahjo Kumolo, yang hanya seorang menteri dalam negeri. Ancaman, kegeraman, peringatan, sanksi, dan berbagai aturan yang dibuat pusat untuk menekan daerah, pada kenyataannya justru memperburuk keadaan. Di samping itu, penilaian pejabat pusat yang kerap merendahkan, bahkan juga melecehkan kapasitas pejabat daerah, adalah juga wujud dari arogansi pusat terhadap daerah.

Deputi I Bidang Monitoring dan Evaluasi Kantor Staf Presiden, Darmawan Prasodjo[6], mengatakan, sebagian besar aparat belum siap menjalankan program dana desa. Mereka masih belum memahami penggunaan anggaran, agar tidak menimbulkan masalah hukum. Apa yang dikemukakan Darmawan Prasodjo tersebut, menunjukkan kepada kita bahwa pusat tidak memiliki perencanaan yang komprehensif, sebelum menggulirkan program Dana Desa. Bukankah kesiapan aparat dan kapasitas aparat, merupakan komponen penting dari sebuah program?

Kenapa baru sekarang bicara tentang kesiapan aparat? Kenapa tidak disiapkan, sebelum dana digulirkan? Bagaimana mungkin sebuah program bisa berjalan efektif, jika aparat yang menjadi pelaksananya belum siap? Artinya, keruwetan penyaluran dana desa, juga penyerapan anggaran, membuktikan bahwa biang keladi penyebabnya ada di pusat, di pemerintahan pusat. Pusat tidak menyiapkan program dengan sungguh-sungguh dan pusat belum siap mengoordinasikan program di lapangan. Ini mencerminkan kualitas kepemimpinan di tingkat pusat dan wujud dari arogansi pusat terhadap daerah.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardoyo, mengimbau pengusaha agar melepas dollar. Pada saat yang sama, pengusaha sudah merugi karena selisih kurs. Indosat, misalnya, sebagaimana disampaikan Division Head Investor Cummunications-nya, Andromeda H. Tristanto, mengaku, selisih rugi kurs besar terjadi ketika rupiah melemah dari posisi Rp 13.000 per dollar AS ke 14.000-an. Perusahaan telekomunikasi tersebut mencatat rugi selisih kurs sebesar Rp 996,5 miliar. "Kami rugi kurs hampir Rp 1 triliun," kata Andromeda, pada Jumat (28/8/2015). Foto: kompas.com

Pengusaha Bukan Anak Buah Pemerintah

Model komunikasi one way seperti pusat terhadap daerah tersebut, juga diterapkan pemerintah pusat terhadap pengusaha. Tentu dengan skala serta gradasi yang berbeda. Padahal, pengusaha jelas-jelas bukan anak buah pemerintah. Berkali-kali Presiden Joko Widodo mengatakan, agar pengusaha jangan cengeng, pelaku usaha kecil menengah (UKM) juga jangan cengeng[7]. Ini terkait dengan kebijakan ekonomi yang dieksekusi pemerintah. Artinya, pemerintah selalu merasa benar dengan kebijakan yang mereka putuskan. Reaksi pengusaha, tanggapan pengusaha, dinilai Presiden Joko Widodo sebagai sikap cengeng.

Tapi, realitas menunjukkan kepada kita, benarkah kebijakan pemerintah pusat selalu benar? Kita saksikan, setelah rupiah anjlok ke Rp 14.000 per dolar, Presiden Joko Widodo pada Senin (24/8/2015), mengundang pengusaha untuk membahas kondisi ekonomi terkini. Kamis (27/8/2015), ia panggil sejumlah menteri, untuk mempersiapkan paket kebijakan ekonomi, guna merespons pelemahan nilai tukar rupiah. Ini langkah yang reaktif, bukan strategi yang antisipatif. Tindakan reaktif pemerintah pusat tersebut, nyaris serupa dengan reaksi pusat terhadap pemerintah daerah, setidaknya dalam konteks penyerapan anggaran.

Serentetan tindakan reaktif pemerintah pusat terhadap dunia usaha, bisa kita saksikan. Peraturan yang menghambat investasi atau aturan yang saling bertabrakan, akan dikurangi atau dicabut. ”Pengusaha juga sudah diundang ke kantor saya, untuk mengemukakan, aturan apa yang harus dideregulasi. Mungkin minggu depan, kita buat peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan keputusan menteri yang harus kita cabut," kata Wakil Presiden, Jusuf Kalla, sebagaimana dikutip print.kompas.com, pada Sabtu l 29 Agustus 2015[8].

Kalangan dunia usaha sebenarnya sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah pusat, terkait kebijakan ekonomi. Bahkan, pada Jumat (10/7/2015), Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto[9], bicara blak-blakan. Ia meminta Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi dan validasi terhadap tiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi. Setelah rupiah anjlok ke Rp 14.000 per dolar, setelah pemerintah menurunkan target pertumbuhan ekonomi[10]: dari 5,7 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen, diturunkan lagi menjadi 5,2 persen, dan lagi-lagi diturunkan menjadi 4,7 persen, sangat tidak patut pemerintah pusat masih mengedepankan arogansi kekuasaan.

Realitas telah menunjukkan, bahwa kebijakan ekonomi Joko Widodo selama ini, tidak membuat kondisi perekonomian Indonesia membaik. Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardoyo, pada Rabu (26/8/2015) mengimbau, agar eksportir dan pengusaha, untuk melepas dolarnya. Sebab, dolar diperlukan untuk kebutuhan impor. Dolar sekarang ini sudah pada posisi under value.[11] Demi kepentingan bersama, kalangan dunia usaha, sudah sepatutnya mengapresiasi kesadaran Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mengevaluasi sejumlah kebijakan ekonomi pemerintah tersebut.

Jakarta, 30 Agustus 2015

----------------------------

Pada Selasa (25/8/2015), Presiden Joko Widodo mengingatkan, agar masyarakat Indonesia tidak pesimistis, karena pemerintah masih memiliki anggaran yang cukup untuk membangkitkan perekonomian.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/rupiah-melemah-ekspor-produk-olahan-ikan-dan-berkah-nelayan-menjaga-laut_55de43420bb0bdbe0eb683a3

Pada Kamis (9/7/2015), Presiden meminta para pengusaha melakukan inovasi. Jangan buru-buru menaikkan harga barang dan jasa dan jangan buru-buru melakukan pemutusan hubungan kerja.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/jokowi-minta-pengusaha-berinovasi-pengusaha-minta-jokowi-evaluasi-tiap-kebijakan_55a196162bb0bd300f290c75

--------------------------

[1] KPK menghadirkan 27 saksi, warga asli Madura, untuk terdakwa Fuad Amin. Mereka dihadirkan, karena pernah menjual tanah milik mereka, kepada Fuad. Mereka tidak fasih berbahasa Indonesia. Agus Ramdhani, dosen Universitas Trunojoyo, Madura, sengaja dihadirkan sebagai penerjemah, untuk memperlancar tanya jawab di persidangan. Majelis hakim diketuai M. Mukhlis. Selengkapnya, silakan baca Saat Bahasa Indonesia Jadi Kendala, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat | 28 Agustus 2015.

[2] Bahasa Madura, sesungguhnya bukan bahasa yang asing. Dari 726 bahasa daerah yang ada di Indonesia, bahasa Madura menempati urutan ke-4, dari sisi jumlah pengguna, setelah bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda. Ada sekitar 15 juta orang yang kerap menggunakan bahasa Madura dalam berkomunikasi. Selengkapnya, silakan baca Kamus Lengkap Bahasa Madura-Indonesia, di plat-m.com/kamus-madura/.

[3] Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, geram karena penyaluran dana pembangunan desa sampai saat ini baru mencapai 20 persen. Padahal, instruksi dan radiogram sudah disampaikan kepada para kepala daerah di seluruh Indonesia. Bahkan, kepala daerah sudah dipanggil ke pusat, begitu pula sekretaris daerah. Kepala biro keuangan dan kepala dinas keuangan pemerintah daerah juga sudah dipanggil, begitu pula DPRD. Selengkapnya, silakan baca Mendagri Geram Penyaluran Baru Mencapai 20 Persen, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat | 28 Agustus 2015.

[4] Menurut Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah akan melakukan berbagai hal agar pemerintah daerah segera melakukan pencairan. ‎Dari mulai cara sederhana, seperti meminta langsung melalui telepon, hingga ancaman perubahan anggaran di tahun selanjutnya. Luhut mengatakan hal itu usai mendampingi Presiden Jokowi bertemu dengan utusan khusus Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, Hiroto Izumi, di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, pada Jumat, 10 Juli 2015. Selengkapnya, bisa dibaca Dana Transfer Mengendap, Pemerintah Pusat Ancam Daerah, yang dilansir tempo.co, pada Jumat, 10 Juli 2015 | 14:20 WIB.

[5] Pemerintah pusat tengah kebingungan, melihat minimnya serapan anggaran di daerah-daerah. Kondisi demikian bukan hanya terjadi di daerah, juga di Provinsi DKI Jakarta, yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan. Hingga Juli 2015, DKI Jakarta baru mampu membelanjakan 19,4 persen dari total Rp 69,28 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI. Rendahnya serapan anggaran, tentu berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, apalagi di tengah sulitnya investasi asing masuk ke Indonesia. Selengkapnya, silakan baca Ini Dua Jurus Atasi Serapan Anggaran Daerah yang Rendah, yang dilansir tempo.co, pada Sabtu l 29 Agustus 2015 | 13:39 WIB.

[6] Menurut Darmawan Prasodjo, sebagian besar aparat daerah masih belum memahami penggunaan anggaran, agar tidak menimbulkan masalah hukum. Selengkapnya, silakan baca Mendagri Geram Penyaluran Baru Mencapai 20 Persen, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat | 28 Agustus 2015.

[7] Sekadar menyebut beberapa contoh, silakan baca Jokowi: UKM Jangan Cengeng Hadapi Fluktuasi Harga BBM, dilansir varia.id pada Jumat l 10 April 2015 | 10:27 WIB, BBM Naik, Rakyat Kelas Menengah Jangan Cengeng!, dilansir republika.co.id pada Kamis l 20 November 2014 l 14:40 WIB, dan Jokowi larang PNS rapat di luar, pengusaha hotel jangan cengeng!, dilansir merdeka.com pada Minggu l 7 Desember 2014 l 15:16 WIB.

[8] Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Industri Pengolahan Makanan dan Komoditas Strategis, Juan Permata Adoe, saat berkunjung ke Redaksi Kompas, di Jakarta, pada Jumat (28/8/2015), menyebutkan, komunikasi diperlukan, agar tidak terjadi salah paham dalam menghadapi suatu persoalan. Komunikasi itu termasuk dengan pengusaha. Karena, komunikasi menjadi faktor penting dalam rencana pengguliran kebijakan pemerintah. Komunikasi efektif perlu hadir, baik dalam interaksi di dalam pemerintahan, seperti antara presiden dan para menteri, maupun antara pemerintah dan pelaku usaha. Selengkapnya, silakan baca Komunikasi Jadi Kunci Efektivitas Kebijakan, Selesaikan Persoalan Persepsi, yang dilansir print.kompas.com, pada Sabtu | 29 Agustus 2015.

[9] Menurut Suryo Bambang Sulisto, harus ada evaluasi dan validasi setiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi. Hal ini agar kebijakan ekonomi terintegrasi, tidak jalan sendiri-sendiri, dan tidak sektoral. Selengkapnya, silakan baca Dunia Usaha Ingin Kebijakan Terintegrasi, dilansir print.kompas.com, pada Sabtu (11/7/2015).

[10] Setelah beberapa kali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) akhirnya merevisi lagi proyeksi pertumbuhan ekonomi di rentang 4,7-5,1 persen, dengan kecenderungan mengarah ke 4,89 persen. Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual, memproyeksikan sepanjang 2015, pertumbuhan ekonomi 4,9 persen. Ekonom Bank Danamon, Dian Ayu Yustina, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sekitar 4,8 persen sepanjang 2015. Selengkapnya, silakan baca Target Pertumbuhan Ekonomi Sulit Tercapai, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat Siang | 28 Agustus 2015 l 14:34 WIB.

[11] Pasar modal sedang tertekan dan modal asing sedang dibawa keluar Indonesia. Hal itu dikatakan Agus Martowardoyo di kompleks parlemen Senayan, pada Rabu (26/8/2015). Selengkapnya, silakan baca BI Imbau Pengusaha Lepas Dolar, yang dilansir republika.co.id, pada Rabu l 26 Agustus 2015 l 21:56 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun