Pendekatan kekuasaan, dengan format relasi atasan-bawahan tersebut, ternyata tidak menjadi solusi bagi peningkatan penyerapan anggaran. Ada hal yang sesungguhnya lebih mendasar dari relasi pusat dan daerah tersebut: kedudukan, legitimasi. Secara hirarki, kedudukan gubernur, bupati, dan walikota, memang berada di bawah menteri dalam negeri. Tapi, harap diingat, menteri hanya dipilih oleh Presiden, sementara gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam konteks tatanan bernegara, kekuasaan gubernur, bupati, dan walikota, jelas lebih mengakar, dibandingkan dengan kekuasaan seorang menteri dalam negeri.
Apalagi, jika pejabat daerah tersebut sampai terpilih untuk periode kedua jabatannya. Itu salah satu indikator yang menunjukkan bahwa ia memperoleh dukungan kuat dari masyarakat setempat. Karena itu, mana mau mereka diperlakukan layaknya anak buah oleh Tjahjo Kumolo, yang hanya seorang menteri dalam negeri. Ancaman, kegeraman, peringatan, sanksi, dan berbagai aturan yang dibuat pusat untuk menekan daerah, pada kenyataannya justru memperburuk keadaan. Di samping itu, penilaian pejabat pusat yang kerap merendahkan, bahkan juga melecehkan kapasitas pejabat daerah, adalah juga wujud dari arogansi pusat terhadap daerah.
Deputi I Bidang Monitoring dan Evaluasi Kantor Staf Presiden, Darmawan Prasodjo[6], mengatakan, sebagian besar aparat belum siap menjalankan program dana desa. Mereka masih belum memahami penggunaan anggaran, agar tidak menimbulkan masalah hukum. Apa yang dikemukakan Darmawan Prasodjo tersebut, menunjukkan kepada kita bahwa pusat tidak memiliki perencanaan yang komprehensif, sebelum menggulirkan program Dana Desa. Bukankah kesiapan aparat dan kapasitas aparat, merupakan komponen penting dari sebuah program?
Kenapa baru sekarang bicara tentang kesiapan aparat? Kenapa tidak disiapkan, sebelum dana digulirkan? Bagaimana mungkin sebuah program bisa berjalan efektif, jika aparat yang menjadi pelaksananya belum siap? Artinya, keruwetan penyaluran dana desa, juga penyerapan anggaran, membuktikan bahwa biang keladi penyebabnya ada di pusat, di pemerintahan pusat. Pusat tidak menyiapkan program dengan sungguh-sungguh dan pusat belum siap mengoordinasikan program di lapangan. Ini mencerminkan kualitas kepemimpinan di tingkat pusat dan wujud dari arogansi pusat terhadap daerah.
Pengusaha Bukan Anak Buah Pemerintah
Model komunikasi one way seperti pusat terhadap daerah tersebut, juga diterapkan pemerintah pusat terhadap pengusaha. Tentu dengan skala serta gradasi yang berbeda. Padahal, pengusaha jelas-jelas bukan anak buah pemerintah. Berkali-kali Presiden Joko Widodo mengatakan, agar pengusaha jangan cengeng, pelaku usaha kecil menengah (UKM) juga jangan cengeng[7]. Ini terkait dengan kebijakan ekonomi yang dieksekusi pemerintah. Artinya, pemerintah selalu merasa benar dengan kebijakan yang mereka putuskan. Reaksi pengusaha, tanggapan pengusaha, dinilai Presiden Joko Widodo sebagai sikap cengeng.
Tapi, realitas menunjukkan kepada kita, benarkah kebijakan pemerintah pusat selalu benar? Kita saksikan, setelah rupiah anjlok ke Rp 14.000 per dolar, Presiden Joko Widodo pada Senin (24/8/2015), mengundang pengusaha untuk membahas kondisi ekonomi terkini. Kamis (27/8/2015), ia panggil sejumlah menteri, untuk mempersiapkan paket kebijakan ekonomi, guna merespons pelemahan nilai tukar rupiah. Ini langkah yang reaktif, bukan strategi yang antisipatif. Tindakan reaktif pemerintah pusat tersebut, nyaris serupa dengan reaksi pusat terhadap pemerintah daerah, setidaknya dalam konteks penyerapan anggaran.
Serentetan tindakan reaktif pemerintah pusat terhadap dunia usaha, bisa kita saksikan. Peraturan yang menghambat investasi atau aturan yang saling bertabrakan, akan dikurangi atau dicabut. ”Pengusaha juga sudah diundang ke kantor saya, untuk mengemukakan, aturan apa yang harus dideregulasi. Mungkin minggu depan, kita buat peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan keputusan menteri yang harus kita cabut," kata Wakil Presiden, Jusuf Kalla, sebagaimana dikutip print.kompas.com, pada Sabtu l 29 Agustus 2015[8].
Kalangan dunia usaha sebenarnya sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah pusat, terkait kebijakan ekonomi. Bahkan, pada Jumat (10/7/2015), Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto[9], bicara blak-blakan. Ia meminta Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi dan validasi terhadap tiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi. Setelah rupiah anjlok ke Rp 14.000 per dolar, setelah pemerintah menurunkan target pertumbuhan ekonomi[10]: dari 5,7 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen, diturunkan lagi menjadi 5,2 persen, dan lagi-lagi diturunkan menjadi 4,7 persen, sangat tidak patut pemerintah pusat masih mengedepankan arogansi kekuasaan.
Realitas telah menunjukkan, bahwa kebijakan ekonomi Joko Widodo selama ini, tidak membuat kondisi perekonomian Indonesia membaik. Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardoyo, pada Rabu (26/8/2015) mengimbau, agar eksportir dan pengusaha, untuk melepas dolarnya. Sebab, dolar diperlukan untuk kebutuhan impor. Dolar sekarang ini sudah pada posisi under value.[11] Demi kepentingan bersama, kalangan dunia usaha, sudah sepatutnya mengapresiasi kesadaran Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mengevaluasi sejumlah kebijakan ekonomi pemerintah tersebut.