Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kata Pepih Nugraha: ke Laut Aja, Kata Joko Widodo: Harus Kembali ke Laut

22 Agustus 2015   12:27 Diperbarui: 22 Agustus 2015   12:27 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pepih Nugraha dan buku Etalase Warga Biasa yang ia tulis, tentang jungkir-baliknya Kompasiana, hingga moncer seperti sekarang. Tanggal 22 Oktober 2008 ditetapkan sebagai hari lahir Kompasiana. Peristiwa bersejarah itu ditandai dengan kopi darat pertama antar Kompasianer dengan para admin, wartawan, dan para pimpinan Kompas di Bentara Budaya, di seberang Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Foto: @rahabganendra dan gapey sandy  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Pepih Nugraha[1] punya bakat jadi Presiden. Setidaknya, ia sudah punya anjuran yang sama dengan Joko Widodo: ke laut aja. Ini baru kesimpulan sementara, menunggu konfirmasi dari lembaga tes bakat, juga menunggu konfirmasi dari Kang Pepih, untuk kesediaannya melakukan tes bakat menjadi Presiden.

Sebagai COO Kompasiana, Pepih Nugraha sesungguhnya sudah kerasukan spirit laut. Ia telah memilih kawasan Ancol, Jakarta Utara, sebagai tempat ngumpul para punggawa komunitas di Kompasiana. Label acara itu keren, Kompasiana Community Gathering (KCG), yang tepatnya diadakan di Discovery Hotel, Ancol, tepat pada hari Senin, 17 Agustus 2015. Kawasan wisata Ancol, sebagaimana kita tahu, berada di bibir pantai, hanya sejengkal dari laut. Bahkan, area Pondok Putri Duyung, yang menjadi bagian dari Ancol, malah sengaja dibuat menjorok ke tengah laut.

Nah, di acara KCG itulah, Kang Pepih menegaskan pentingnya terlibat dan menjadi bagian dari komunitas, di abad informasi ini. ”Jaman sekarang, jika tak bergabung dalam komunitas, ke laut aja deh,” tutur Kang Pepih, sebagaimana dikutip Rahab Ganendra, Asyiknya Ikut Community Gathering Para Punggawa Komunitas Kompasiana[2]. Ini multiple meaning of the moment. Pertama, tonggak eksistensi komunitas di Kompasiana, dideklarasikan pas Hari Proklamasi. Kedua, Kang Pepih bicara laut di dekat laut, hanya 5 hari menjelang peringatan Hari Maritim Nasional ke-70, pada Jumat, 21 Agustus 2015.

Komunitas Kecil, Komunitas Besar

Pernyataan ke laut aja deh dari Kang Pepih, benar-benar diucapkan di tempat yang berdekatan dengan laut. Ia sebetulnya ingin menegaskan bahwa mereka yang tidak bergabung dengan komunitas atau tidak menjadi bagian dari komunitas apa pun atau tidak memiliki komunitas satu pun, ya akan hilang ditelan laut. Boleh jadi, kata-kata Kang Pepih itu rada ekstrim, tapi memang demikianlah realitasnya kini. Seseorang menjadi bukan siapa-siapa, juga bukan apa-apa, bila tidak memiliki komunitas[3], bila tidak berkelompok.

Karena itulah barangkali, demikian banyak orang yang rela menjadi relawan. Agar merasa memiliki kelompok, agar menjadi bagian dari kelompok. Misalnya, ketika Gunung Raung di kawasan Banyuwangi, Jawa Timur, batuk-batuk, maka puluhan bahkan mungkin ratusan relawan dengan suka-rela memberikan bantuan[4]. Mereka datang dari berbagai wilayah, juga dari beragam profesi. Ada yang sejak awal sudah menamakan diri dengan komunitas tertentu. Ada pula yang datang secara perseorangan, kemudian bergabung ke dalam komunitas yang sudah ada di lokasi bencana.

A community is a social unit of any size that shares common values, demikian antara lain rumusan tentang komunitas. Sebagai unit sosial, besaran atau kecilan komunitas, nyaris tak ada batasannya. Boleh jadi, sebuah komunitas hanya terdiri dari dua orang, yang tiap hari Minggu, mereka membersihkan poster-poster yang ditempel secara serampangan di jembatan penyeberangan orang. Boleh jadi juga, sebuah komunitas merupakan lintas kebangsaan, yang mengalokasikan waktu untuk memunguti sampah yang berceceran, seperti yang dilakukan komunitas Jakarta Osoji Club[5], di kawasan Gelora Bung Karno. Ini komunitas gabungan orang Jepang dengan orang Indonesia.

Dengan kata lain, komunitas berkorelasi erat dengan aktivitas sosial. Dalam perwujudannya, ada komunitas yang memilih ikatan batin sebagai pengikat kebersamaan dalam beraktivitas, ada pula yang merasa perlu dengan tujuan tertentu, melembagakan komunitas mereka. Demikian pula halnya dengan struktur. Ada komunitas yang membangun struktur dengan lengkap dan rinci, sebagaimana halnya struktur sebuah organisasi. Ada pula yang merasa cukup dengan memiliki seorang kepala kelompok, sebagai leader di komunitas tersebut.

Kolaborasi antar komunitas juga diperlukan untuk menggencarkan aktivitas sosial. Tobucil & Klabs, misalnya, berkolaborasi dengan Komunitas Taman Kota dan Komunitas Fency, menggelar kegiatan bertajuk “Ngetik Keroyokan”. Kegiatan ini merupakan sebuah gerakan sosial, yang bertujuan untuk memberi sumbangsih terhadap masyarakat difabel tunanetra, dengan cara mengetik ulang buku-buku berbahasa Indonesia secara keroyokan, untuk kemudian dialihcetak menjadi buku braile. Kegiatan ini dilangsungkan setiap hari Sabtu, selama bulan Januari 2015 lalu, di Tobucil, Jalan Aceh No. 56, Kota Bandung, Jawa Barat. Foto: indonesiakreatif.net

Komunitas Dadakan, Komunitas Kebutuhan

Dari proses kelahirannya, komunitas juga memiliki banyak keragaman. Misalnya, di musim kampanye Joko Widodo menjadi Calon Presiden, komunitas yang menyatakan diri mendukung Joko Widodo, tumbuh bagai jamur di musim hujan. Sekadar menyebut beberapa contoh, ada Komunitas Gotong-royong untuk Jokowi yang disingkat Gong Jokowi, Komunitas Green Hijabers, Komunitas Waria dan Gay, bahkan ada pula Komunitas Janda Indonesia yang disingkat Kojaindo. Sebagai unit sosial, komunitas memang sangat luwes dan leluasa menempatkan diri serta memosisikan diri dengan keadaan. Komunitas juga bisa dibentuk secara dadakan, sesuai kepentingan dan tujuan saat itu.

Dalam konteks Kompasiana Community Gathering (KCG), tentulah yang diharapkan Kang Pepih, adalah komunitas yang mewadahi kebutuhan sejumlah orang untuk mengekspresikan diri, yang kemudian secara bersama-sama berkontribusi secara sosial kepada mereka yang berada di luar komunitas. Artinya, ada interaksi sosial secara internal komunitas, juga ada relasi sosial kepada eksternal komunitas. Gerakan sosial secara internal dan eksternal itulah barangkali yang disebut sebagai hakekat komunitas. Kata kunci yang kerap menyertai aktivitas komunitas adalah memberi dan berbagi.

Kompasiana sendiri sesungguhnya adalah komunitas, wadah yang mewadahi lalu-lintas gagasan, dari ratusan ribu orang, melalui tulisan. Di dalam komunitas yang besar ini, besar secara organisasi dan besar pula secara jumlah, ada minat-minat khusus, yang juga membutuhkan wadah khusus. Karena itulah, misalnya, lahir Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) yang mengkhususkan diri pada aksi nyam-nyam alias kunyah-kunyah lezat. Juga, ada Fiksiana Community (FC), komunitas yang menjadi tempat berhimpunnya para pegiat fiksi. Ini adalah bagian dari dinamika berkelompok, dinamika berkomunitas.

Kita tahu, manusia adalah makhluk sosial yang sangat gandrung berkelompok, punya hasrat yang besar untuk berkoloni. Dengan adanya KCG tersebut, sejumlah minat khusus dengan komunitas khusus, sudah tampil ke permukaan. Bahwa ada kompasianer yang lintas komunitas, itu adalah wajar adanya. Itu adalah bagian dari upaya pribadi masing-masing untuk mengekspresikan diri. Dalam perjalanan ke depannya, eksistensi tiap komunitas khusus tersebut, tentulah bergantung pada dinamika masing-masing. Kalau Kompasiana merupakan Republik Kompasiana, maka komunitas khusus tersebut bisa jadi Provinsi atau Kabupaten-Kota.

Memilih aktivitas sosial yang tepat di tempat yang tepat, adalah komponen yang penting dalam berkomunitas. Ini salah satu aktivitas Komunitas Pendongeng (Kadotaman), yang tampil dalam acara Pasar Kreatif yang diadakan oleh Sekolah Komunitas Johar Baru, Jakarta Pusat, pada Sabtu (28/3/2015). Tampak pendongeng Sovia Agustina Djajasinga memegang boneka, tengah mendongeng di depan anak-anak Johar Baru, salah satu kawasan dengan penduduk terpadat di Jakarta Pusat. Foto: beritadaerah.co.id

Laut Kang Pepih, Laut Joko Widodo

Untuk menggerakkan Republik Kompasiana, juga dengan Provinsi atau Kabupaten-Kota, tentulah dibutuhkan leader yang cakap. Untunglah, Pepih Nugraha diduga berbakat menjadi Presiden. Tentang hal ini, sekali lagi, masih menunggu konfirmasi dari lembaga tes bakat, juga menunggu konfirmasi dari Kang Pepih. Oh, ya, terkait ucapan ke laut aja dari Kang Pepih, itu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Kita tahu, Pepih Nugraha lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 11 Desember 1964. Sebagai wartawan senior yang sudah bergabung dengan Harian Kompas sejak 1990, ia tentu tangkas menampilkan kearifan lokal tanah kelahirannya.

Tasikmalaya adalah sebuah kabupaten yang luas di Jawa Barat, di kisaran 2.708 kilometer, termasuk di dalamnya Kotamadya Tasikmalaya, yang berdiri sejak tahun 2001. Bagian selatan kabupaten ini, berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Ada 3 dari 39 kecamatan di kabupaten ini yang mempunyai wilayah pesisir dan lautan yaitu Kecamatan Cikalong, Cipatujah, dan Karangnunggal. Dengan demikian, di 3 kecamatan tersebut, membentang garis pantai sepanjang 56 kilometer. Artinya, laut bukanlah sesuatu yang asing bagi Kang Pepih.

Dalam konteks ke laut aja dari Kang Pepih, seseorang bisa hilang-lenyap digulung gelombang, jika tak bergabung dengan komunitas. Sementara, Joko Widodo[6] mengingatkan kita untuk kembali ke laut, karena sudah sekian lama kita memunggungi laut. Sebagai Presiden, ia mencanangkan negeri ini untuk bangkit, dengan menjadi Poros Maritim di kawasan, setidaknya, di tingkat regional. Untunglah, Presiden Abdurrahman Wahid sudah menciptakan dan mewariskan Kementerian Perikanan dan Kelautan, yang fokus menangani bidang kemaritiman.

Kemarin, pada Jumat, 21 Agustus 2015, kita sama-sama memperingati Hari Maritim Nasional ke-70. Kalimat Selamat Hari Maritim Nasional sempat bertengger di urutan ke-5 daftar trending topic di Twitter Indonesia. Spirit maritim ini tentulah sepatutnya kita pelihara dan terus digelorakan. Banyak hal tentang laut yang relevan untuk kita tulis dan kita suarakan di Kompasiana. Bukan hanya tentang tempat-tempat wisata pantai yang menakjubkan, tapi juga tentang saudara-saudara kita yang menjadikan laut sebagai sumber utama penghidupan. Jalesveva Jayamahe, Selamat Hari Maritim Nasional.

Jakarta, 22 Agustus 2015

----------------------------

Dengan masih tingginya ketimpangan dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia, kontribusi para pegiat sosial di berbagai komunitas, tentulah sangat dibutuhkan bangsa ini.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/ketimpangan-si-kaya-dan-si-miskin-dari-andrinof-chaniago-hingga-faisal-basri_55d30f34b57a61fb07f97b40

Laut adalah salah satu sumber penghidupan kita. Kementerian Perikanan dan Kelautan akan memberikan insentif pajak kepada industri pengolahan ikan, untuk menambah daya saing produk ikan.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/insentif-pajak-dari-susi-pudjiastuti-dan-saham-lebih-50-persen-untuk-investor-asing_55cb25e7519773fa132210da

---------------------------

[1] Pepih Nugraha bergabung dengan Harian Kompas, sejak tahun 1990. Pada tahun 2008, ia ditugaskan untuk merintis Kompasiana, yang kemudian menjadi wadah bagi para penulis, para blogger. Nama Kompasiana dicetuskan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas. Nama Kompasiana pada awalnya merupakan rubrik di Harian Kompas, yang diisi oleh PK Ojong, pendiri Kompas. Saat ini, tercatat sekitar 300.000 penulis di Kompasiana. Sehari-hari Pepih Nugraha akrab disapa Kang Pepih. Para penulis di Kompasiana menamakan diri Kompasianer.

[2] Ada 26 Kompasianer dari 21 Komunitas di Kompasiana yang hadir. Menurut Kang Pepih, keberadaan komunitas tersebut sangat vital bagi ajang kegiatan online maupun offline. Komunitas di Kompasiana akan terlibat langsung di ajang Kompasianival 2015, yang rencananya digelar Desember mendatang. Selengkapnya, silakan baca Asyiknya Ikut Community Gathering Para Punggawa Komunitas Kompasiana, yang dilansir kompasiana.com, pada Rabu l 19 Agustus 2015 l 02:54 WIB.

[3] Banyak rumusan tentang komunitas atau community, antara lain, a community is any group united by interpersonal relationships where all members know and recognize others in an equal belonging that implies personal and collective rights. The nuclear or extensive family, and to a lesser extent the premodern guild, become the model of community for an educated person.

[4] Hingga pertengahan Agustus 2015 ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, aktivitas vulkanik Gunung Raung sudah semakin menurun. Petugas penanggulangan bencana bersama para relawan, melakukan pemantauan di sekitar wilayah yang dekat dengan lokasi gunung. Agar masyarakat tenang, petugas dan sejumlah relawan menggelar patroli di desa yang berdekatan dengan lokasi terdampak. Secara psikologis, keberadaan petugas dan para relawan di dekat masyarakat daerah terdampak, menenangkan hati mereka. Selengkapnya, silakan baca Setelah 4 Hari Tutup, Bandara Notohadinegoro Hari Ini Beroperasi, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu Siang | 5 Agustus 2015 l 14:11 WIB.

[5] Komunitas ini terbentuk karena keprihatinan melihat kebersihan lingkungan, khususnya di Jakarta. Banyak sampah berserakan, sehingga lingkungan kotor dan jorok, karena kekurangpedulian warga pada keadaan. Komunitas ini terbentuk sejak 29 April 2012. Anggotanya sekitar 100 orang, terdiri dari 60-an orang Jepang dan 40-an orang Indonesia.

[6] Kita harus kembali ke laut, karena dua per tiga wilayah Indonesia terdiri dari laut. Konektivitas antar pulau itu penting. Dengan adanya tol laut, akan muncul daya saing yang baik, akan muncul cost yang murah. Hal itu diungkapkan Presiden Joko Widodo saat meresmikan pembangunan Makassar New Port di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan, pada Jumat l 22 Mei 2015. Selengkapnya, silakan baca Kita harus kembali ke laut, kata Jokowi, yang dilansir antaranews.com, pada Jumat l 22 Mei 2015 l 16:49 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun