Seberapa besar potensi turis China? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusdatin Kementerian Pariwisata, selama April 2015 saja, ada 749.882 kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Dan, 11,52 persen di antaranya adalah turis asal China. Selain itu, gencarnya gerakan pemerintah untuk menarik investor China agar berinvestasi di Indonesia, adalah juga bagian yang turut meningkatkan arus masuknya orang China ke Indonesia. Sebagai catatan, investasi China di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Pada triwulan I-2015, investasi China[5] menempati urutan ke-10 terbesar, dibanding investor dari negara lain.
Barangkali, karena mencermati potensi itulah makanya Menteri Pariwisata, Arief Yahya, menargetkan 2 juta kunjungan turis China pada 2015 ini. Kemudian, diikuti dengan kebijakan bebas visa untuk turis China, yang terus dilanjutkan dengan promosi Wisata Indonesia ke Changsha dan Provinsi Hunan, pada pertengahan Agustus 2015 ini. Langkah komprehensif dan strategis Kementerian Pariwisata tersebut, tentulah patut kita apresiasi. Adalah konsekuensi logis, bila sektor terkait mengapresiasi langkah tersebut dengan membenahi diri untuk meningkatkan pelayanan kepada wisatawan.
Dalam hal berpromosi melalui internet, dengan menggunakan bahasa Mandarin, misalnya. Banyak pihak sebenarnya yang bisa menempuh cara ini. Pemerintah Daerah yang memiliki banyak aset artefak yang relevan dengan China, bisa memanfaatkan peluang dengan mengomunikasikan hal tersebut dengan bahasa Mandarin melalui internet. Baik dilakukan oleh instansi wisata setempat, bekerjasama dengan kalangan universitas setempat, maupun bekerjasama dengan komunitas yang memiliki kapasitas untuk hal itu. Sekadar menyebut contoh, Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu wilayah yang memiliki relasi tinggi dengan kebudayaan China.
Kota Medan, ibukota provinsi tersebut, misalnya. Di sana, ada situs Kota Cina, yang berada di wilayah pesisir utara Medan, tepatnya di Kecamatan Medan Marelan. Sejumlah artefak berupa sisa-sisa kapal, arca, guci, batu permata, bahkan emas, yang diduga peninggalan abad ke-12, bisa ditemukan di situs Kota China Medan Marelan. Di Universitas Sumatera Utara (USU), sejak tahun 2008, juga telah ada Jurusan Sastra Cina, hasil kerjasama dengan Jinan University Guangzhou, China. Universitas Jinan secara reguler mengirimkan tenaga pengajar bahasa Mandarin ke USU Medan.
Content Bahasa Mandarin
Bukan hanya Medan. Masih sangat banyak kota lain di negeri ini yang memiliki hal yang relevan dengan China, yang bisa dikomunikasikan di dunia maya dengan menggunakan bahasa Mandarin. Bila ini dilakukan oleh banyak kota secara teratur dan terencana, tentulah peluang untuk diakses warga China di benua sana, akan lebih besar. Demikian pula halnya dengan biro perjalanan wisata. Di samping memenuhi laman situs mereka dengan promosi harga tiket dan paket wisata, tak ada salahnya bila disertai content yang menggunakan bahasa Mandarin[6].
Bahasa leluhur, wisata leluhur, dan mengunjungi jejak para leluhur, adalah salah satu daya pikat untuk memikat para wisatawan China. Bukan hanya wilayah di luar China yang menyadari, industri wisata di China sendiri pun sangat menyadari hal tersebut. Lihatlah rumah leluhur keluarga Lee Kuan Yew, yang berada di distrik Dabu, Provinsi Guangdong, China. Rumah leluhur Bapak Bangsa Singapura itu, kental dengan karateristik budaya Cina Hakka. Rumah itu didirikan oleh Li Muwen, buyut perdana menteri pertama Singapura tersebut, pada tahun 1884. Rumah leluhur itu diberi nama Zhonghandi.
Reputasi Lee Kuan Yew di dunia internasional, dikelola pihak setempat untuk menjadikan rumah leluhur itu sebagai destinasi wisata internasional. Lee Kuan Yew meninggal pada Rabu, 23 Maret 2015, dalam usia 91 tahun. Jauh sebelumnya, antara tahun 2007-2008, pemerintah Provinsi Guangdong sudah membenahi rumah tersebut. Mereka menyadari bahwa itu merupakan aset wisata yang tidak ternilai harganya. Secara budaya, mereka paham artinya jejak leluhur bagi bangsa China. Dan, secara bisnis industri wisata, mereka tentulah lebih paham lagi.
Kita, dalam hal ini Semarang, Jawa Tengah, sesungguhnya juga memiliki relasi yang kuat dengan Lee Kuan Yew. Karena, kakek nenek serta ayah mendiang pendiri Singapura itu, adalah orang Semarang, yang merantau dan bermukim di Singapura. Artinya, bukan sesuatu yang kebetulan Lee Kuan Yew lahir di Jalan Kampung Jawa, di Kampong Java Road, Singapura, pada 16 September 1923. Tidak seperti di Provinsi Guangdong, di Provinsi Jawa Tengah, kita nyaris tidak menemukan lagi jejak leluhur Lee Kuan Yew.
Dari catatan SN Wargatjie, koresponden Harian Kompas di Semarang, kita tahu, betapa susahnya ia menyusuri jejak leluhur Lee Kuan Yew di Semarang. Hasil penelusurannya dimuat di halaman pertama Harian Kompas, edisi 26 Mei 1973. Eksklusif. Laporan itu untuk menyambut kunjungan pertama PM Lee Kuan Yew ke Indonesia. Untuk mengembangkan destinasi wisata, khususnya untuk menarik kunjungan wisatawan asal China, kita memang masih harus belajar banyak. Pesan dari Xu Yun, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Hunan di atas, setidaknya bisa menjadi pesan yang positif untuk pengembangan industri wisata di tanah air.