Menteri Pariwisata, Arief Yahya, mengenakan kostum ala Kaisar Ming, tokoh yang melepas sang Admiral di Tiongkok pada tahun 1405 hingga 1433. Ini adalah bagian dari acara launching Jalur Cheng Ho di Klenteng Sam Poo Kong, Semarang, pada Kamis, 13 Agustus 2015. Kostum tersebut pernah dikenakan oleh Kaisar Ming, dalam rangka prosesi tahunan Peringatan 610 Tahun Laksamana Cheng Ho di Sam Poo Kong. Foto: tribunnews.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Orang Tiongkok itu sangat mengandalkan internet. Semua informasi yang mereka perlukan, dicari melalui internet. Jika Indonesia ingin berpromosi, promosilah melalui internet, dengan bahasa Mandarin. Itulah pesan Xu Yun[1], Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Hunan, pada Jumat (14/8/2015).
Provinsi Hunan adalah sebuah provinsi di kawasan China Tengah, yang ibukotanya berada di Kota Changsha. Pesan Xu Yun tersebut adalah pesan yang sangat jelas, juga sangat relevan tentunya, jika dikaitkan dengan target Arief Yahya, mendatangkan 2 juta pelancong dari Negeri Tirai Bambu[2] itu, pada 2015. Target tersebut diungkapkan Menteri Pariwisata, Arief Yahya[3], pada acara peresmian penerbangan Garuda Indonesia rute Denpasar-Beijing di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, pada Selasa (13/1/2015). Jika dikorelasikan dengan kebijakan bebas visa untuk turis dari China, pesan Xu Yun tersebut sudah sepatutnya disikapi dengan sungguh-sungguh. Bukan hanya oleh birokrasi pemerintah, juga oleh kalangan industri pariwisata di tanah air.
Changsha, Kota Pemikir China
Kementerian Pariwisata, memang sedang melakukan promosi Wisata Indonesia, khususnya di Changsha dan umumnya di Provinsi Hunan. Ini adalah pilihan yang tepat, karena Hunan merupakan salah satu provinsi penting di China. Di provinsi inilah tanah kelahiran pemimpin besar China, Mao Zedong. Bukan hanya itu. Di Changsha juga masih berdiri tegak Akademi Yuelu, yang menjadi bagian Universitas Hunan, yang dibangun pada zaman Dinasti Song, lebih dari seribu tahun yang lalu. Perguruan tinggi tersebut menjadi salah satu penanda, betapa ilmu pengetahuan, sudah merupakan hal yang penting bagi mereka, sejak 1.000 tahun lalu.
Kampus itu telah melahirkan banyak pemikir, sastrawan, dan politisi terkenal China. Antara lain, Zhu Xi, ahli filsafat pada zaman Dinasti Song. Juga, Zeng Guofan, pejabat senior pemerintahan pada Zaman Dinasti Qing. Demikian pula halnya, Mao Zedong. Maka, tidaklah mengherankan bila pesan wisata Xu Yun tersebut, bukan hanya mengandung aspek wisata, tapi juga mencakup aspek budaya, teknologi, dan strategi marketing[4]. Xu Yun telah memberi ilmu kepada kita, bagaimana mengimplementasikan strategi marketing pariwisata, dengan pendekatan budaya.
Bila kita singgah ke www.parekraf.go.id, memang belum ada pilihan bahasa Mandarin di sana. Yang tersedia, baru pilihan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kepala Bidang Misi Penjualan Luar Negeri Wilayah Asia Pasifik Kementerian Pariwisata, Jordi Paliama, yang mengikuti promosi Wisata Indonesia tersebut, juga mengungkapkan realitas yang serupa. Kata Jordi Paliama, banyak keluhan dari wisatawan, petugas-petugas di imigrasi kita, tidak bisa berbahasa Mandarin. Dengan kata lain, pesan wisata Xu Yun tersebut adalah pesan yang kontekstual dengan pariwisata kita.
Secara teknis dan layanan kepada wisatawan, kemampuan petugas imigrasi berbahasa Mandarin adalah komponen yang penting untuk dibenahi. Karena, keterbatasan bahasa tersebut, akan menimbulkan banyak kesalahpahaman antara petugas imigrasi dan wisatawan. Akibatnya, antrean di pintu imigrasi menjadi panjang, dan itu adalah sambutan yang sangat menjengkelkan bagi wisatawan. Mereka bisa mengumbar kejengkelan itu melalui media sosial, yang bisa menyurutkan minat saudara sebangsa mereka untuk berwisata ke Indonesia.
Turis China Mencapai 11,52 Persen
Seberapa besar potensi turis China? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusdatin Kementerian Pariwisata, selama April 2015 saja, ada 749.882 kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Dan, 11,52 persen di antaranya adalah turis asal China. Selain itu, gencarnya gerakan pemerintah untuk menarik investor China agar berinvestasi di Indonesia, adalah juga bagian yang turut meningkatkan arus masuknya orang China ke Indonesia. Sebagai catatan, investasi China di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Pada triwulan I-2015, investasi China[5] menempati urutan ke-10 terbesar, dibanding investor dari negara lain.
Barangkali, karena mencermati potensi itulah makanya Menteri Pariwisata, Arief Yahya, menargetkan 2 juta kunjungan turis China pada 2015 ini. Kemudian, diikuti dengan kebijakan bebas visa untuk turis China, yang terus dilanjutkan dengan promosi Wisata Indonesia ke Changsha dan Provinsi Hunan, pada pertengahan Agustus 2015 ini. Langkah komprehensif dan strategis Kementerian Pariwisata tersebut, tentulah patut kita apresiasi. Adalah konsekuensi logis, bila sektor terkait mengapresiasi langkah tersebut dengan membenahi diri untuk meningkatkan pelayanan kepada wisatawan.
Dalam hal berpromosi melalui internet, dengan menggunakan bahasa Mandarin, misalnya. Banyak pihak sebenarnya yang bisa menempuh cara ini. Pemerintah Daerah yang memiliki banyak aset artefak yang relevan dengan China, bisa memanfaatkan peluang dengan mengomunikasikan hal tersebut dengan bahasa Mandarin melalui internet. Baik dilakukan oleh instansi wisata setempat, bekerjasama dengan kalangan universitas setempat, maupun bekerjasama dengan komunitas yang memiliki kapasitas untuk hal itu. Sekadar menyebut contoh, Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu wilayah yang memiliki relasi tinggi dengan kebudayaan China.
Kota Medan, ibukota provinsi tersebut, misalnya. Di sana, ada situs Kota Cina, yang berada di wilayah pesisir utara Medan, tepatnya di Kecamatan Medan Marelan. Sejumlah artefak berupa sisa-sisa kapal, arca, guci, batu permata, bahkan emas, yang diduga peninggalan abad ke-12, bisa ditemukan di situs Kota China Medan Marelan. Di Universitas Sumatera Utara (USU), sejak tahun 2008, juga telah ada Jurusan Sastra Cina, hasil kerjasama dengan Jinan University Guangzhou, China. Universitas Jinan secara reguler mengirimkan tenaga pengajar bahasa Mandarin ke USU Medan.
Content Bahasa Mandarin
Bukan hanya Medan. Masih sangat banyak kota lain di negeri ini yang memiliki hal yang relevan dengan China, yang bisa dikomunikasikan di dunia maya dengan menggunakan bahasa Mandarin. Bila ini dilakukan oleh banyak kota secara teratur dan terencana, tentulah peluang untuk diakses warga China di benua sana, akan lebih besar. Demikian pula halnya dengan biro perjalanan wisata. Di samping memenuhi laman situs mereka dengan promosi harga tiket dan paket wisata, tak ada salahnya bila disertai content yang menggunakan bahasa Mandarin[6].
Bahasa leluhur, wisata leluhur, dan mengunjungi jejak para leluhur, adalah salah satu daya pikat untuk memikat para wisatawan China. Bukan hanya wilayah di luar China yang menyadari, industri wisata di China sendiri pun sangat menyadari hal tersebut. Lihatlah rumah leluhur keluarga Lee Kuan Yew, yang berada di distrik Dabu, Provinsi Guangdong, China. Rumah leluhur Bapak Bangsa Singapura itu, kental dengan karateristik budaya Cina Hakka. Rumah itu didirikan oleh Li Muwen, buyut perdana menteri pertama Singapura tersebut, pada tahun 1884. Rumah leluhur itu diberi nama Zhonghandi.
Reputasi Lee Kuan Yew di dunia internasional, dikelola pihak setempat untuk menjadikan rumah leluhur itu sebagai destinasi wisata internasional. Lee Kuan Yew meninggal pada Rabu, 23 Maret 2015, dalam usia 91 tahun. Jauh sebelumnya, antara tahun 2007-2008, pemerintah Provinsi Guangdong sudah membenahi rumah tersebut. Mereka menyadari bahwa itu merupakan aset wisata yang tidak ternilai harganya. Secara budaya, mereka paham artinya jejak leluhur bagi bangsa China. Dan, secara bisnis industri wisata, mereka tentulah lebih paham lagi.
Kita, dalam hal ini Semarang, Jawa Tengah, sesungguhnya juga memiliki relasi yang kuat dengan Lee Kuan Yew. Karena, kakek nenek serta ayah mendiang pendiri Singapura itu, adalah orang Semarang, yang merantau dan bermukim di Singapura. Artinya, bukan sesuatu yang kebetulan Lee Kuan Yew lahir di Jalan Kampung Jawa, di Kampong Java Road, Singapura, pada 16 September 1923. Tidak seperti di Provinsi Guangdong, di Provinsi Jawa Tengah, kita nyaris tidak menemukan lagi jejak leluhur Lee Kuan Yew.
Dari catatan SN Wargatjie, koresponden Harian Kompas di Semarang, kita tahu, betapa susahnya ia menyusuri jejak leluhur Lee Kuan Yew di Semarang. Hasil penelusurannya dimuat di halaman pertama Harian Kompas, edisi 26 Mei 1973. Eksklusif. Laporan itu untuk menyambut kunjungan pertama PM Lee Kuan Yew ke Indonesia. Untuk mengembangkan destinasi wisata, khususnya untuk menarik kunjungan wisatawan asal China, kita memang masih harus belajar banyak. Pesan dari Xu Yun, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Hunan di atas, setidaknya bisa menjadi pesan yang positif untuk pengembangan industri wisata di tanah air.
Jakarta, 16 Agustus 2015
----------------------------
Museum Benteng Heritage, Kota Tangerang, Banten. Posisinya bersebelahan dengan Kelenteng Boen Tek Bio. Museum itu salah satu jejak peninggalan Cina Benteng di Tangerang.
Pemerintah China gencar mengembangkan industri. Para petani yang bekerja di ladang, ditarik untuk bekerja di pabrik-pabrik. Para petani juga bekerja di industri pengolahan.
---------------------------
[1] Xu Yun, Kepala Dinas Pariwisata Hunan, mengungkapkan hal itu saat Kementerian Pariwisata Indonesia menggelar Promosi Wisata Indonesia di Changsha. Ia sangat senang dengan adanya promosi wisata tersebut. Pada saat yang sama, Kepala Bidang Misi Penjualan Luar Negeri Wilayah Asia Pasifik, Kementerian Pariwisata, Jordi Paliama, menilai potensi wisatawan dari Changsha yang besar, membuat pemerintah mempertimbangkan untuk mempermudah akses dari Changsha ke Indonesia. Selengkapnya, silakan baca Changsha Ingin Layanan Lebih Mudah, yang dilansir print.kompas.com, pada Sabtu | 15 Agustus 2015.
[2] Negeri Tirai Bambu atau Cina atau Tiongkok atau China atau Tionghoa adalah sejumlah penyebutan yang kerap digunakan di berbagai media dan forum resmi di Indonesia. Tahun 2013, budayawan Remy Sylado mengkritik penggunaan istilah China yang dianjurkan oleh Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina (RRC) di Jakarta. Menurut dia, istilah itu merupakan pemaksaan yang bersifat politis. Dia merujuk pada terbitnya surat edaran yang dikeluarkan Kedubes RRC di Jakarta kepada sejumlah media massa. Isi surat edaran tersebut menyerukan media menggunakan istilah China, bukan Cina. Selengkapnya, silakan baca Perbedaan Cina dan China Versi Remy Sylado, yang dilansir tempo.co, pada Minggu l 20 Oktober 2013 | 18:39 WIB. Pada tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengganti kata Cina menjadi Tiongkok melalui Keputusan Presiden. Selengkapnya, silakan baca Remy Sylado Kritik Keppres Soal Tiongkok, yang dilansir tempo.co, pada Sabtu l 29 Maret 2014 | 16:32 WIB.
[3] Arief Yahya menjelaskan, sejak Januari hingga November 2014, jumlah kunjungan wisatawan Tiongkok ke Indonesia, sebanyak 883.725 orang. Itu menempatkan Tiongkok di urutan keempat, setelah turis dari Singapura sebanyak 1,32 juta, dari Malaysia 1,12 orang, dan wisatawan dari Australia 996.032. Atas dasar itu, Arief Yahya optimistis, pada akhir tahun 2015, kunjungan wisatawan dari Tiongkok terealisasi dua juta orang. Hal ini sudah ia bicarakan dengan pejabat pariwisata Tiongkok, China National Tourism Administration (CNTA), saat kunjungan kerja ke Tiongkok, 11-13 Januari 2015.
[4] Jumlah pengguna internet di China terus meningkat, mendekati angka 650 juta orang, per Januari 2015. Menurut Pusat Informasi Jaringan Internet China, China Internet Network Information Center (CNNIC), sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi Xinhua, ada 648 juta pengguna internet di China pada akhir tahun 2014. Jumlah itu menunjukkan peningkatan lebih dari 30 juta, sejak akhir tahun 2013.
[5] Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi pada triwulan IV-2014, berdasarkan negara: Singapura, USD900 juta, Malaysia USD800 juta, Jepang USD700 juta, China USD500 juta, dan Korea Selatan USD400 juta. Hal itu dikemukakan Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM, Azhar Lubis, saat konferensi pers di kantornya, di Jakarta, pada Rabu (28/1/2015).
[6] Konteks bahasa ini juga digarisbawahi Jusuf Wanandi, salah satu pendiri dan anggota Dewan Penyantun Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Menurut Jusuf Wanandi, masalah bahasa perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak. Kita butuh belajar bahasa China untuk bisa bekerja sama dengan orang China. Begitu juga dengan sebaliknya, orang China harus belajar Bahasa Indonesia juga. Hal itu dikatakan Jusuf dalam acara Indonesia, China, and The Pacific Rim Relationship; Economy, Business and Foreign Investment Outlook di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa (20/1/2015).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H