Menindaklanjuti kelangkaan daging sapi, aparat kepolisian menggeledah industri penggemukan sapi pada Rabu (12/8/2015), di Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Banten, dan pada Kamis (13/8/2015) di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Bareskrim Polri, menemukan sebuah surat dari Persatuan Pedagang Sapi Jabodetabek di peternakan dan penggemukan sapi, yang isinya ajakan supaya pedagang tak melepas sapi-sapi mereka untuk dipotong. Foto: kompas.com dan cnnindonesia.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Rabu, 12 Agustus 2015. Mungkin, ini akan jadi hari yang bersejarah: sejumlah menteri ekonomi diganti dan sejumlah perusahaan peternakan sapi digeledah. Sekitar 5.000 ekor sapi yang seharusnya siap dipotong, ditemukan polisi di dua peternakan. Pejabat kementerian bermain?
Dua perusahaan yang digeledah polisi tersebut adalah perusahaan penggemukan sapi yang berbasis di Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Banten[1]. Perusahaan penggemukan sapi, umumnya menggemukkan sapi yang diimpor dari Australia, dengan umur sapi sekitar 2 tahun. Dibutuhkan waktu tiga sampai empat bulan untuk penggemukan, agar bobot sapi impor tersebut mencapai 500 kilogram, yang dijadikan ukuran seekor sapi layak potong. Pada Rabu, 12 Agustus 2015, tersebut, Presiden Joko Widodo bukan hanya melantik sejumlah menteri, tapi juga melantik Rano Karno sebagai Gubernur Banten, untuk sisa masa bakti 2012-2017. Rano Karno, yang sebelumnya merupakan Wakil Gubernur Banten, dilantik untuk menggantikan Gubernur Banten non-aktif, Ratu Atut Chosiyah, yang terjerat kasus korupsi.
Evaluasi Kebijakan, Formula Kebijakan
Temuan polisi berupa sekitar 5.000 ekor sapi di dua perusahaan penggemukan [feedloter], padahal sapi-sapi tersebut sudah memiliki bobot siap potong, merupakan pintu masuk bagi aparat untuk melacak lebih detail. Kenapa sapi yang sudah layak potong itu masih berada di peternakan? Apakah tindakan itu disengaja dan merupakan bagian dari perbuatan penumpukan? Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Victor Edison Simanjuntak[2], menduga, ada yang berniat menahan sapi-sapi tersebut. Itu ia ungkapkan di Bareskrim, Jakarta, pada Kamis (13/8/2015).
Dugaan atas temuan tersebut akan disusuri polisi lebih detail. Setidaknya, itu akan menjelaskan kepada publik, apakah perusahaan penggemukan sapi sengaja menahan sapi, untuk mendongkrak harga atau memang sengaja untuk mengacaukan tata-niaga daging sapi? Sebagaimana kita tahu, harga daging sapi telah melambung dari Rp 89.000 per kilogram menjadi Rp 140.000 per kilogram di tingkat konsumen. Lonjakan harga itu berujung dengan aksi mogok dagang para pedagang daging sapi, sejak Minggu (9/8/2015) hingga Rabu (12/8/2015)[3].
Aksi mogok dagang itu dilakukan serentak di sejumlah wilayah, seperti di Jakarta, Bandung, Serang, dan kota-kota lain. Boleh jadi, tindakan menahan sapi dan aksi mogok dagang, merupakan satu kesatuan gerakan para penguasa bisnis daging sapi, untuk menekan kebijakan pemerintah, yang secara bertahap membatasi impor sapi. Ini tentu tidak bisa dibiarkan. Tindakan mereka jelas akan merusak tata-niaga daging sapi, yang pada akhirnya akan menghambat program swasembada daging sapi. Pemerintah harus memperjuangkan kredibilitasnya, jangan sampai didikte oleh para pebisnis sapi.
Kebijakan pemerintah, memang tidak selamanya tepat. Bahkan, jauh sebelum gaduh daging sapi ini terjadi, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto[4], meminta Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi dan validasi terhadap tiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi. Evaluasi dan validasi kebijakan ekonomi tersebut, tentulah sesuatu yang penting untuk menemukan formula kebijakan yang tepat, yang kondusif bagi dunia usaha serta positif bagi penyelenggara negara. Kebijakan ekonomi yang tepat sasaran adalah komponen penting untuk menciptakan iklim investasi yang sehat.
Monopoli Distribusi Daging Sapi
Permintaan Suryo Bambang Sulisto, yang disampaikan pada Jumat (10/7/2015), menemukan wujudnya pada Rabu (12/8/2015). Presiden Joko Widodo[5] bukan hanya mengevaluasi dan memvalidasi kebijakan ekonomi pemerintahannya, tapi sekaligus mengganti sejumlah menteri ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menggantikan Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menggantikan Indroyono Soesilo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil menggantikan Andrinof Chaniago, dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong menggantikan Rachmat Gobel.
Dalam konteks kegaduhan tata-niaga daging sapi, dengan adanya aksi mogok dagang, ditemukannya sekitar 5.000 ekor sapi di dua perusahaan penggemukan [feedloter], juga ditemukannya indikasi memonopoli distribusi daging sapi, ketika Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Metro Jaya menggeledah perusahaan penggemukan sapi di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (13/8/2015), sudah sepatutnya Suryo Bambang Sulisto selaku Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, juga mengevaluasi dan memvalidasi aktivitas para pelaku usaha, setidaknya yang bergerak di sektor daging sapi.
Apakah perusahaan yang terkait dengan kegaduhan tata-niaga daging sapi tersebut merupakan anggota Kadin Indonesia? Bagaimana komunikasi serta koordinasi Kadin Indonesia dengan para pengusaha tersebut? Juga, dengan sejumlah asosiasi yang terkait dengan aktivitas usaha mereka? Ini sebenarnya hal yang logis saja, jajaran pemerintahan Joko Widodo dengan kalangan pengusaha, memang sudah seharusnya secara bersama-sama mengevaluasi dan memvalidasi aktivitas masing-masing. Konteksnya adalah untuk menemukan formula kebijakan yang tepat, yang kondusif bagi dunia usaha serta positif bagi penyelenggara negara.
Kita tahu, jelang 10 bulan usia pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagaimana diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal II-2015 hanya 4,67 persen, lebih rendah dari kuartal I-2015 yang berada di angka 4,72 persen. Jika pemerintah dan kalangan dunia usaha tidak sama-sama mengevaluasi dan memvalidasi aktivitas masing-masing, maka daya saing bangsa ini akan semakin tergerus. Dengan kata lain, Indonesia akan lebih sering menjadi korban dari gencarnya persaingan global. Akibat lanjutannya, berbagai kebijakan dalam negeri, lumpuh di tengah jalan karena diterpa kondisi global.
Pembatasan Impor Bikin Panik
Mata rantai perdagangan daging sapi, relatif cukup panjang dan melibatkan banyak pihak. Karena itulah, pihak kepolisian akan mengembangkan pemeriksaan ke sejumlah instansi, seperti Direktorat Bea dan Cukai, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Karena bisnis sapi dan daging sapi adalah bisnis yang menggiurkan, maka bukan tidak mungkin, ada pejabat di instansi serta kementerian tersebut, yang telah tergoda memainkan aturan, demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Apalagi terkait impor sapi dari Australia, yang berlangsung sudah sangat lama. Sebagai catatan, Indonesia mulai mengimpor sapi hidup dari Australia, sejak tahun 1990, dengan jumlah 8.061 ekor sapi. Sejak tahun tersebut, praktis Australia menjadi pemasok utama dan terbesar sapi hidup ke Indonesia, di samping dari Selandia Baru. Puncaknya, pada tahun 2009, impor sapi hidup dari Australia mencapai 772.868 ekor. Sebuah nilai belanja yang sangat tidak kecil, sebuah aktivitas penghamburan devisa yang sangat besar, tentunya.
Jika diakumulasikan dengan impor daging beku, aliran uang dari Indonesia ke Australia untuk urusan daging sapi di tahun 2009 itu, mencapai Rp 7,3 triliun. Data ekspor yang dirilis Meat and Livestock Australia (MLA)[6] pada Februari 2015, menunjukkan, bahwa sepanjang tahun 2014, Indonesia telah mendatangkan sapi dari Australia, sebanyak 730.257 ekor. Angka ini hampir menyamai pemuncak tahun 2009, yang mencapai 772.868 ekor. Maka, bukan hal yang mengherankan, ketika pemerintahan Joko Widodo membatasi impor sapi dari Australia, banyak pihak yang kalang-kabut.
Yang panik bukan hanya sebagian kalangan dalam negeri, juga sebagian dunia usaha di Australia. Pengurangan impor tersebut, tentu saja berdampak pada industri peternakan sapi Australia. Juru bicara Menteri Pertanian Australia, Barnaby Joyce, menyatakan, pemerintah Australia menghormati keputusan Indonesia, namun tetap merasa kecewa karena pengurangan tersebut. Dalam beberapa waktu ke depan, Barnaby Joyce mungkin bukan hanya merasa kecewa tapi jadi sangat kecewa. Karena, Indonesia sudah melirik India, sebagai negara alternatif untuk memasok sapi. Memang, sudah saatnya, pasar sapi kita, tidak terus-terusan dimonopoli oleh Australia.
Jakarta, 14 Agustus 2015
----------------------------
Melambungnya harga daging sapi, tidak lancarnya pasokan, dan mogoknya pedagang, adalah rentetan akibat dihentikannya impor daging sapi oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman.
Presiden Joko Widodo, Kamis (9/7/2015), minta para pengusaha melakukan inovasi. Esoknya, Jumat (10/7/2015), Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto, minta Presiden melakukan evaluasi.
--------------------------
[1] Pada Rabu (12/8/2015) siang hingga tengah malam, penyidik Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Bareskrim Polri, menggeledah dua peternakan dan penggemukan sapi di daerah Tangerang. Polisi menduga, pengusaha menimbun sapi siap potong, sehingga menyebabkan gejolak harga di pasaran. Selengkapnya, silakan baca Temukan Surat Ajakan "Simpan" Sapi, Polisi Periksa Intensif Sejumlah Orang, yang dilansir kompas.com, pada Jumat l 14 Agustus 2015 | 07:22 WIB.
[2] Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Victor Edison Simanjuntak, mengatakan, penggeledahan perusahaan penggemukan sapi (feedloter) pada Rabu (12/8/2015), berhasil membongkar fakta, adanya ribuan sapi siap potong yang sengaja dibiarkan. Selengkapnya, silakan baca Penggemukan Sapi Impor Digeledah, Ribuan Ekor Sengaja Tidak Dipotong, yang dilansir solopos.com, pada Kamis l 13 Agustus 2015 l 13:20 WIB.
[3] Para pedagang daging sapi di sejumlah wilayah, seperti di Jakarta, Bandung, Serang, dan kota-kota lain, sepakat melakukan mogok jualan, karena memprotes kebijakan pemerintah yang membatasi impor sapi bakalan. Selanjutnya, silakan baca Pedagang Daging Mogok Jualan, Bulog Lakukan Operasi Pasar, yang dilansir kompas.com, pada Minggu, 9 Agustus 2015 | 17:07 WIB.
[4] Menurut Suryo Bambang Sulisto, harus ada evaluasi dan validasi setiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi. Hal ini agar kebijakan ekonomi terintegrasi, tidak jalan sendiri-sendiri, dan tidak sektoral. Selengkapnya, silakan baca Dunia Usaha Ingin Kebijakan Terintegrasi, dilansir print.kompas.com, pada Sabtu (11/7/2015).
[5] Jelang 10 bulan usia pemerintahan, Presiden Joko Widodo akhirnya melakukan perombakan kabinet. Lima menteri dan sekretaris kabinet yang baru, dilantik Presiden di Istana Negara Jakarta, pada Rabu (12/8/2015) siang. Selengkapnya, silakan baca Presiden Lantik Lima Menteri dan Seskab Baru, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu Siang | 12 Agustus 2015 l 15:59 WIB.
[6] Posisi Indonesia sebagai negara pengimpor terbesar sapi Australia, masih belum tergoyahkan hingga saat ini. Bahkan, sepanjang tahun 2014 Indonesia mencatat meningkatkan impor sapi Australia, sebesar 63 persen dibanding tahun 2013. Selengkapnya, silakan baca Indonesia Masih Pengimpor Sapi Terbesar dari Australia, yang dilansir kompas.com, pada Sabtu l 28 Februari 2015 | 20:14 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H