Permintaan Suryo Bambang Sulisto, yang disampaikan pada Jumat (10/7/2015), menemukan wujudnya pada Rabu (12/8/2015). Presiden Joko Widodo[5] bukan hanya mengevaluasi dan memvalidasi kebijakan ekonomi pemerintahannya, tapi sekaligus mengganti sejumlah menteri ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menggantikan Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menggantikan Indroyono Soesilo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil menggantikan Andrinof Chaniago, dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong menggantikan Rachmat Gobel.
Dalam konteks kegaduhan tata-niaga daging sapi, dengan adanya aksi mogok dagang, ditemukannya sekitar 5.000 ekor sapi di dua perusahaan penggemukan [feedloter], juga ditemukannya indikasi memonopoli distribusi daging sapi, ketika Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Metro Jaya menggeledah perusahaan penggemukan sapi di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (13/8/2015), sudah sepatutnya Suryo Bambang Sulisto selaku Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, juga mengevaluasi dan memvalidasi aktivitas para pelaku usaha, setidaknya yang bergerak di sektor daging sapi.
Apakah perusahaan yang terkait dengan kegaduhan tata-niaga daging sapi tersebut merupakan anggota Kadin Indonesia? Bagaimana komunikasi serta koordinasi Kadin Indonesia dengan para pengusaha tersebut? Juga, dengan sejumlah asosiasi yang terkait dengan aktivitas usaha mereka? Ini sebenarnya hal yang logis saja, jajaran pemerintahan Joko Widodo dengan kalangan pengusaha, memang sudah seharusnya secara bersama-sama mengevaluasi dan memvalidasi aktivitas masing-masing. Konteksnya adalah untuk menemukan formula kebijakan yang tepat, yang kondusif bagi dunia usaha serta positif bagi penyelenggara negara.
Kita tahu, jelang 10 bulan usia pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagaimana diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal II-2015 hanya 4,67 persen, lebih rendah dari kuartal I-2015 yang berada di angka 4,72 persen. Jika pemerintah dan kalangan dunia usaha tidak sama-sama mengevaluasi dan memvalidasi aktivitas masing-masing, maka daya saing bangsa ini akan semakin tergerus. Dengan kata lain, Indonesia akan lebih sering menjadi korban dari gencarnya persaingan global. Akibat lanjutannya, berbagai kebijakan dalam negeri, lumpuh di tengah jalan karena diterpa kondisi global.
Pembatasan Impor Bikin Panik
Mata rantai perdagangan daging sapi, relatif cukup panjang dan melibatkan banyak pihak. Karena itulah, pihak kepolisian akan mengembangkan pemeriksaan ke sejumlah instansi, seperti Direktorat Bea dan Cukai, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Karena bisnis sapi dan daging sapi adalah bisnis yang menggiurkan, maka bukan tidak mungkin, ada pejabat di instansi serta kementerian tersebut, yang telah tergoda memainkan aturan, demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Apalagi terkait impor sapi dari Australia, yang berlangsung sudah sangat lama. Sebagai catatan, Indonesia mulai mengimpor sapi hidup dari Australia, sejak tahun 1990, dengan jumlah 8.061 ekor sapi. Sejak tahun tersebut, praktis Australia menjadi pemasok utama dan terbesar sapi hidup ke Indonesia, di samping dari Selandia Baru. Puncaknya, pada tahun 2009, impor sapi hidup dari Australia mencapai 772.868 ekor. Sebuah nilai belanja yang sangat tidak kecil, sebuah aktivitas penghamburan devisa yang sangat besar, tentunya.
Jika diakumulasikan dengan impor daging beku, aliran uang dari Indonesia ke Australia untuk urusan daging sapi di tahun 2009 itu, mencapai Rp 7,3 triliun. Data ekspor yang dirilis Meat and Livestock Australia (MLA)[6] pada Februari 2015, menunjukkan, bahwa sepanjang tahun 2014, Indonesia telah mendatangkan sapi dari Australia, sebanyak 730.257 ekor. Angka ini hampir menyamai pemuncak tahun 2009, yang mencapai 772.868 ekor. Maka, bukan hal yang mengherankan, ketika pemerintahan Joko Widodo membatasi impor sapi dari Australia, banyak pihak yang kalang-kabut.
Yang panik bukan hanya sebagian kalangan dalam negeri, juga sebagian dunia usaha di Australia. Pengurangan impor tersebut, tentu saja berdampak pada industri peternakan sapi Australia. Juru bicara Menteri Pertanian Australia, Barnaby Joyce, menyatakan, pemerintah Australia menghormati keputusan Indonesia, namun tetap merasa kecewa karena pengurangan tersebut. Dalam beberapa waktu ke depan, Barnaby Joyce mungkin bukan hanya merasa kecewa tapi jadi sangat kecewa. Karena, Indonesia sudah melirik India, sebagai negara alternatif untuk memasok sapi. Memang, sudah saatnya, pasar sapi kita, tidak terus-terusan dimonopoli oleh Australia.
Jakarta, 14 Agustus 2015