Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Insentif Pajak dari Susi Pudjiastuti dan Saham Lebih 50 Persen untuk Investor Asing

12 Agustus 2015   17:54 Diperbarui: 12 Agustus 2015   17:54 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, (kiri) dan Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin. Pertumbuhan sektor perikanan, naik dari 7,46 persen pada triwulan I-2014 menjadi 8,64 pada triwulan I-2015. Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan insentif pajak untuk pendirian pabrik pengolahan ikan. Investasi asing terkait pengolahan ikan dibuka lebar, dengan kepemilikan saham lebih dari 50 persen. Foto: print.kompas.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Ada angin segar untuk industri pengolahan ikan. Pemerintah akan memberikan insentif pajak. Selain itu, investor asing yang hendak masuk ke industri pengolahan ikan, bisa memiliki saham lebih dari 50 persen di perusahaan yang didirikan. Pintu untuk investor pengolahan, terbuka lebar.

Hal itu dikemukakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti[1], di Jakarta, pada Selasa (11/8/2015). Langkah tersebut tentulah patut diapresiasi. Ini bisa menjadi bagian dari upaya untuk menciptakan nilai tambah pada hasil laut kita, mengingat selama ini sebagian besar ikan dari tanah air diekspor dalam kondisi mentah. Provinsi Bali[2], misalnya, mengekspor ikan tuna dalam bentuk segar dan beku, senilai USD 25,55 juta dalam empat bulan, periode Januari-April 2015. Jika saja ikan sebanyak itu diolah di tanah air, kemudian diekspor dalam wujud produk ikan, tentulah nilainya akan berkali-kali lipat. Presiden Joko Widodo, dalam konteks industri pengolahan bahan mentah, mengemukakan, hilirisasi akan dapat meningkatkan nilai sebuah komoditi, menjadi 70 kali lipat[3].

Didorong ke Indonesia Bagian Timur

Nilai tambah dari industri pengolahan ikan, tentu bukan hanya dalam hal produk ikan, tapi juga turut bertambahnya lapangan kerja bagi warga di tanah air. Sebagai gambaran, pabrik pengolahan ikan dengan kapasitas produksi hingga 100 ton per hari, misalnya, setidaknya akan mampu menyerap 1.000 lebih tenaga kerja. Di tengah meningkatnya jumlah pengangguran serta melemahnya daya beli masyarakat, yang ditandai dengan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, tentulah keberadaan industri pengolahan ikan akan menjadi salah satu solusi untuk kondisi tersebut.

Data di Kementerian Kelautan dan Perikanan, menunjukkan, dari total 60.163 unit pengolahan ikan (UPI), sebaran UPI di wilayah Maluku dan Papua hanya 6.198 unit atau hanya 10,3 persen. Setelah disusuri lebih detail, sebagian di antara UPI tersebut, hanya menjadi gudang penyimpanan, tidak sepenuhnya berfungsi sebagai unit pengolahan ikan. Padahal, Papua dan Maluku selama ini dikenal sebagai lumbung ikan nasional. Bahkan, menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Indroyono Soesilo (pada 12/8/2015 digantikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli), Maluku sebagai lumbung ikan nasional (LIN), akan dikukuhkan legalitasnya dalam bentuk Peraturan Presiden.

Mengacu kepada kondisi tersebut, Susi Pudjiastuti mendorong investasi pabrik pengolahan ikan dengan kepemilikan asing di atas 50 persen, ke wilayah perairan Indonesia bagian timur. Misalnya, ke perairan Arafura di Maluku dan ke perairan di kawasan Sulawesi. Dorongan tersebut tentulah akan meminimalkan problem logistik perikanan, yang kerap menjadi kendala bagi investor. Dengan kata lain, langkah Susi Pudjiastuti ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mendekatkan ikan sebagai bahan baku dengan pabrik pengolahan ikan. Dalam konteks pendirian pabrik, sudah dapat dipastikan akan terkait dengan pemerintah daerah setempat.

Untuk itu, langkah Susi Pudjiastuti ini jelas membutuhkan dukungan dari sejumlah pihak terkait, khususnya kalangan birokrasi. Presiden Joko Widodo[4], pada Sabtu (8/8/2015) di Balai Kartini, Jakarta Selatan, sudah mewanti-wanti Dewan Pimpinan Nasional Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) periode 2015-2020, bahwa urusan izin membangun rumah, membangun kantor, hingga membangun kawasan, birokrasi kita masih kerap mempersulit. Ini harus diselesaikan. Tak hanya prosedurnya saja, tetapi juga mental aparaturnya, agar tak menghambat usaha pembangunan di suatu wilayah.

Nelayan merapikan ikan tuna sirip kuning dari kapal ke mobil di Pelabuhan Nelayan Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, sebelum dikirim ke pabrik pengolahan di Medan, Sumatera Utara. Dari Medan, hasil laut Aceh dijual ke luar negeri, antara lain, ke Thailand, Korea Selatan, dan Jepang. Foto diambil Januari 2015. Foto: print.kompas.com

Untuk Mempercepat Investor Masuk

Susi Pudjiastuti menyadari bahwa dalam realitasnya, tidak mudah menarik investor masuk ke industri pengolahan ikan. Ada sejumlah aturan yang menjadi kendala, salah satunya investor asing tidak dibolehkan memiliki saham lebih dari 50 persen di industri pengolahan ikan. Ini tentu saja menyulitkan investor dan menghambat masuknya investor. Bagaimanapun juga, investor tentulah ingin berinvestasi, dengan posisi menjadi mayoritas di investasi tersebut. Kalau tidak, mereka tentu tidak akan leluasa mengendalikan bisnis yang bersangkutan.

Hal itu adalah sesuatu yang logis secara bisnis. Aturan tersebut tentulah bukan kebijakan yang pro-bisnis, di tengah gencarnya hasrat pemerintah menarik investor asing untuk masuk ke tanah air. Untuk itulah, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, segera melayangkan surat kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terkait rencana pemberian insentif pajak dan kepemilikan saham lebih dari 50 persen bagi investor asing, untuk mendirikan pabrik pengolahan ikan di Indonesia.

Investor asing terdekat adalah Malaysia. Karena, selama ini, Indonesia merupakan mitra dagang Malaysia terbesar, di sektor perikanan. Data Statistik pada tahun 2013 menunjukkan, Malaysia mengimpor ikan dari Indonesia di kisaran 600 juta ringgit, dengan nilai tonase 30.000 metrik ton. Dalam pertemuan Susi Pudjiastuti dengan Chairman Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia, Dato Irmohizam HJ Ibrahim[5], dan Sekretaris Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Khairul Tazril, di Jakarta, pada Jumat (13/3/2015), Negeri Jiran tersebut meminta Indonesia bersedia memasok ikan untuk mencukupi kebutuhan pasar Malaysia.

Rencana pemberian insentif pajak dan kepemilikan saham lebih dari 50 persen bagi investor asing tersebut, barangkali bisa menjadi stimulus untuk menarik lebih banyak pengusaha pengolahan ikan dari Malaysia untuk berinvestasi di Indonesia. Ikan segar yang rutin diekspor Indonesia ke Malaysia adalah kakap dan tenggiri. Bila saja ikan tersebut diolah dulu di tanah air sebelum diekspor, tentulah akan mendatangkan nilai tambah yang berlipat bagi negeri ini. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani, sudah sepatutnya mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti ini. Berdasarkan data di BKPM, jumlah penanaman modal asing di sektor maritim pada triwulan I-2015 adalah 88,669 juta dollar AS, dengan proyeksi penyerapan tenaga kerja langsung mencapai 6.650 orang.

Siswa Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan di SMK Negeri 1 Mundu, Cirebon, Jawa Barat, mengikuti uji kompetensi untuk kelulusan dan memperoleh sertifikat kompetensi. Dengan sertifikat kompetensi yang terstandar, mereka memiliki daya saing untuk masuk dalam pasar kerja nasional, regional, ataupun internasional. Aspek kompetensi tersebut dibahas dalam seminar nasional bertajuk Pendidikan Vokasi di Era Persaingan Tenaga Kerja yang diselenggarakan Sekolah Vokasi Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, pada Selasa (19/5/2015). Foto: print.kompas.com

Demi Menciptakan Nilai Tambah

Laut kita memang luas. Indonesia memang memiliki zona ekonomi maritim terbesar di dunia, 2/3 wilayah Indonesia adalah air. Tapi, dalam realitasnya, pengelolaan perikanan Indonesia masih terjebak dalam produksi yang eksploitatif. Artinya, para pelaku bidang perikanan selama ini lebih banyak mengeksploitasi kekayaan alam laut, namun tak cukup serius mengolah hasil laut untuk memberi nilai tambah. Negara lain mengimpor ikan dari Indonesia, juga mencuri ikan dari perairan kita, kemudian mereka yang memberi nilai tambah dan mereka pula yang menikmati berkali lipat nilai tambah tersebut.

Alangkah ironisnya, di negeri yang memiliki laut demikian luas, saat ini, hanya ada 43 unit pabrik pengalengan ikan yang aktif. Jumlah itu tentulah sangat minim, bila dibandingkan dengan hasil laut kita. Okelah, di masa lalu, negara kita hanya dijadikan sebagai basis bahan baku semata oleh negara-negara lain. Beragam komoditas kita hanya mereka impor, bahkan mereka curi, dalam kondisi mentah saja. Itu sekaligus menunjukkan, bagaimana negara-negara lain tersebut menyikapi kita serta memperlakukan kita.

Meskipun mereka mengaku sebagai negara sahabat, tapi pada kenyataannya, mereka sebagian besar menempatkan negara kita hanya sebagai pemasok bahan baku, bahan mentah saja. Apa yang selama bertahun-tahun digaungkan sebagai gerakan alih teknologi atau transfer teknologi, nyatanya di sektor perikanan dan kelautan, sungguh terasa sangat minim. Padahal, bidang studi perikanan dan kelautan, bukan bidang studi yang baru di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Pendidikan tinggi khusus untuk bidang tersebut pun cukup banyak. Untuk tingkat sekolah kejuruan, juga tak kalah banyaknya.

Dengan kata lain, industri pengolahan ikan yang berinvestasi di Indonesia, mungkin relatif tidak sulit untuk mendapatkan tenaga kerja. Kita bisa saksikan bersama, bagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dalam konteks koordinasi antarlembaga dan melaksanakan integrasi sistem informasi di lingkup pemerintahan, memang masih banyak titik yang menjadi ganjalan. Sebagaimana yang dikemukakan Presiden Joko Widodo di atas, ini harus diselesaikan. Tak hanya prosedurnya saja, tetapi juga mental aparaturnya.

Jakarta, 12 Agustus 2015

----------------------------

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, mengatakan, industri pengolahan ikan lesu, karena pasokan ikan turun drastis.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/nasib-industri-pengolahan-ikan-di-tengah-spirit-maritim_55a8100af87e61c20ce0d82b

Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Waiheru, Ambon. Inilah sekolah yang tiap jurusannya saling terintegrasi, hingga lulusannya memiliki keahlian dan menciptakan produk olahan ikan.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/90-persen-lulusan-supm-waiheru-sudah-direkrut-industri-perikanan-sebelum-diwisuda_55c177d76f7a6111055b0781

----------------------------

[1] Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan insentif pajak untuk pendirian pabrik pengolahan ikan. Investasi asing terkait pengolahan ikan, dibuka lebar dengan kepemilikan saham lebih dari 50 persen. Selengkapnya, silakan baca Pemerintah Siapkan Insentif Industri, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu | 12 Agustus 2015.

[2] Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali mencatat, realisasi perdagangan luar negeri menunjukkan, hasil perikanan tersebut mampu memberikan kontribusi sebanyak 15,71 persen dari total ekspor Bali secara keseluruhan, yang mencapai USD162,70 juta. Selengkapnya, silakan baca Nilai Ekspor Ikan Tuna Bali Naik 10,17%, yang dilansir metrotvnews.com, pada Minggu l 07 Juni 2015 l 10:56 WIB.

[3] Presiden Joko Widodo, sebagaimana dilansir situs Sekretariat Kabinet di Jakarta, pada Senin (3/8/2015), menegaskan bahwa kita ini negara yang sangat besar, dengan kekayaan alam, dengan bahan mentah yang banyak macamnya. Inilah yang harus dihilirisasi. Kita harus memulai lagi, pemikiran untuk industrialisasi, re-industrialisasi besar-besaran. Presiden meyakini, keuntungan dari program hilirisasi ini, dipastikan akan dapat dinikmati seluruh bangsa Indonesia. Hilirisasi akan dapat meningkatkan nilai sebuah komoditi, menjadi 70 kali lipat.

[4] Presiden Joko Widodo meminta aparatur birokrasi bekerja cepat dan bergegas, untuk mengatasi ketertinggalan ekonomi dan layanan publik serta perizinan di berbagai bidang, terutama memperbaiki prosedur dan mental aparatur birokrasi. Selengkapnya, silakan baca Presiden Minta Birokrasi Bergegas, yang dilansir print.kompas.com, pada Senin | 10 Agustus 2015.

[5] Kepada Dato Irmohizam HJ Ibrahim, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mempersilakan investor Malaysia untuk berinvestasi gudang pendingin dan industri pengolahan ikan di Indonesia, sebagai solusi atas kekurangan pasokan ikan di Malaysia. Selengkapnya, silakan baca Silakan Malaysia Berinvestasi, tapi Jangan Rebut Bahan Baku Perikanan, yang dilansir print.kompas.com, pada Senin Siang | 16 Maret 2015 l 15:12 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun