Susi Pudjiastuti menyadari bahwa dalam realitasnya, tidak mudah menarik investor masuk ke industri pengolahan ikan. Ada sejumlah aturan yang menjadi kendala, salah satunya investor asing tidak dibolehkan memiliki saham lebih dari 50 persen di industri pengolahan ikan. Ini tentu saja menyulitkan investor dan menghambat masuknya investor. Bagaimanapun juga, investor tentulah ingin berinvestasi, dengan posisi menjadi mayoritas di investasi tersebut. Kalau tidak, mereka tentu tidak akan leluasa mengendalikan bisnis yang bersangkutan.
Hal itu adalah sesuatu yang logis secara bisnis. Aturan tersebut tentulah bukan kebijakan yang pro-bisnis, di tengah gencarnya hasrat pemerintah menarik investor asing untuk masuk ke tanah air. Untuk itulah, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, segera melayangkan surat kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terkait rencana pemberian insentif pajak dan kepemilikan saham lebih dari 50 persen bagi investor asing, untuk mendirikan pabrik pengolahan ikan di Indonesia.
Investor asing terdekat adalah Malaysia. Karena, selama ini, Indonesia merupakan mitra dagang Malaysia terbesar, di sektor perikanan. Data Statistik pada tahun 2013 menunjukkan, Malaysia mengimpor ikan dari Indonesia di kisaran 600 juta ringgit, dengan nilai tonase 30.000 metrik ton. Dalam pertemuan Susi Pudjiastuti dengan Chairman Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia, Dato Irmohizam HJ Ibrahim[5], dan Sekretaris Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Khairul Tazril, di Jakarta, pada Jumat (13/3/2015), Negeri Jiran tersebut meminta Indonesia bersedia memasok ikan untuk mencukupi kebutuhan pasar Malaysia.
Rencana pemberian insentif pajak dan kepemilikan saham lebih dari 50 persen bagi investor asing tersebut, barangkali bisa menjadi stimulus untuk menarik lebih banyak pengusaha pengolahan ikan dari Malaysia untuk berinvestasi di Indonesia. Ikan segar yang rutin diekspor Indonesia ke Malaysia adalah kakap dan tenggiri. Bila saja ikan tersebut diolah dulu di tanah air sebelum diekspor, tentulah akan mendatangkan nilai tambah yang berlipat bagi negeri ini. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani, sudah sepatutnya mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti ini. Berdasarkan data di BKPM, jumlah penanaman modal asing di sektor maritim pada triwulan I-2015 adalah 88,669 juta dollar AS, dengan proyeksi penyerapan tenaga kerja langsung mencapai 6.650 orang.
Demi Menciptakan Nilai Tambah
Laut kita memang luas. Indonesia memang memiliki zona ekonomi maritim terbesar di dunia, 2/3 wilayah Indonesia adalah air. Tapi, dalam realitasnya, pengelolaan perikanan Indonesia masih terjebak dalam produksi yang eksploitatif. Artinya, para pelaku bidang perikanan selama ini lebih banyak mengeksploitasi kekayaan alam laut, namun tak cukup serius mengolah hasil laut untuk memberi nilai tambah. Negara lain mengimpor ikan dari Indonesia, juga mencuri ikan dari perairan kita, kemudian mereka yang memberi nilai tambah dan mereka pula yang menikmati berkali lipat nilai tambah tersebut.
Alangkah ironisnya, di negeri yang memiliki laut demikian luas, saat ini, hanya ada 43 unit pabrik pengalengan ikan yang aktif. Jumlah itu tentulah sangat minim, bila dibandingkan dengan hasil laut kita. Okelah, di masa lalu, negara kita hanya dijadikan sebagai basis bahan baku semata oleh negara-negara lain. Beragam komoditas kita hanya mereka impor, bahkan mereka curi, dalam kondisi mentah saja. Itu sekaligus menunjukkan, bagaimana negara-negara lain tersebut menyikapi kita serta memperlakukan kita.
Meskipun mereka mengaku sebagai negara sahabat, tapi pada kenyataannya, mereka sebagian besar menempatkan negara kita hanya sebagai pemasok bahan baku, bahan mentah saja. Apa yang selama bertahun-tahun digaungkan sebagai gerakan alih teknologi atau transfer teknologi, nyatanya di sektor perikanan dan kelautan, sungguh terasa sangat minim. Padahal, bidang studi perikanan dan kelautan, bukan bidang studi yang baru di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Pendidikan tinggi khusus untuk bidang tersebut pun cukup banyak. Untuk tingkat sekolah kejuruan, juga tak kalah banyaknya.
Dengan kata lain, industri pengolahan ikan yang berinvestasi di Indonesia, mungkin relatif tidak sulit untuk mendapatkan tenaga kerja. Kita bisa saksikan bersama, bagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dalam konteks koordinasi antarlembaga dan melaksanakan integrasi sistem informasi di lingkup pemerintahan, memang masih banyak titik yang menjadi ganjalan. Sebagaimana yang dikemukakan Presiden Joko Widodo di atas, ini harus diselesaikan. Tak hanya prosedurnya saja, tetapi juga mental aparaturnya.
Jakarta, 12 Agustus 2015