Warga Distrik Wang Luang, Thailand, memiliki cara yang terbilang unik untuk memanggil hujan, pada musim kemarau tahun 2015 ini. Mereka menolak untuk menggunakan kucing hitam, khawatir nanti muncul kritikan karena dinilai menganiaya hewan. Akhirnya, mereka sepakat menggunakan boneka kucing yang layak, Doraemon, yang merupakan karakter robot kucing populer dalam film animasi Jepang. Walaupun ritual itu belum berhasil, menurut Rattakarn Jantanu, Kepala Distrik Wang Luang, warga tetap bahagia dan mereka merasa lebih nyaman. Foto: kompas.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Pemerintah akhirnya memutuskan membuat hujan buatan. Keputusan itu ditetapkan pada Senin (10/8/2015)[1]. Kapan dieksekusi? Belum ada kepastian. Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Heru Widodo[2], bulan Agustus dan September, bukan waktu ideal untuk mengeksekusinya.
Padahal, kekeringan sudah relatif merata di tanah air. Dampaknya pun sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Di Jawa Barat[3], misalnya, pada minggu pertama Agustus 2015, lahan yang terimbas kekeringan bertambah sekitar 18.000 hektar, hingga kini area yang kekeringan menjadi 67.000 hektar. Kekeringan itu merata di seluruh Jawa Barat. Di Jawa Tengah[4] pun demikian. Kekeringan dengan cepat meluas, kini telah melanda 9 kabupaten yang meliputi 530 desa. Bahkan, petani di Desa Brani, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sampai menjual bongkahan tanah di lahan persawahan mereka yang sudah mengering. Bongkahan tanah sawah kering tersebut dijual Rp 100.000-Rp 200.000 satu truk. Tanah sawah kering itu digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu-bata dan sebagai material urukan.
Thailand Beri Kompensasi Kepada Petani
Hujan buatan adalah otoritas pemerintah, keputusan pemerintah. Meskipun realitas kekeringan di berbagai wilayah tanah air sudah memenuhi laman media massa, tapi kalau pemerintah belum berkehendak melaksanakannya ya belum akan kejadian. Mungkin ini memang bagian dari strategi pemerintah Joko Widodo, yang menunggu sampai tiba pada puncak musim kering, baru hujan buatan dieksekusi. Cara pemerintah menyikapi musim kering, tentulah berbeda dengan cara ribuan rakyat yang mengalami langsung kekeringan tersebut.
Cara pemerintah Joko Widodo menghadapi kekeringan, juga berbeda dengan cara pemerintah negara tetangga kita. Dengan Thailand[5], misalnya. Pemerintah Negeri Gajah Putih tersebut membayar kompensasi ke petani di sejumlah daerah, karena mereka tidak mendapatkan air selama musim kering. Artinya, pemerintah Thailand menunjukkan bahwa penyediaan air untuk pengairan petani adalah sepenuh-penuhnya tanggung jawab pemerintah. Karena petani tidak mendapatkan air selama musim kering, pemerintah membayar kompensasi kepada petani.
Bukan hanya itu. Pemerintah Thailand telah menghitung, ada penurunan produksi padi di negara tersebut selama musim kering ini, yang diperkirakan penurunannya mencapai 14 persen, dibanding produksi tahun lalu. Produksi padi Thailand kini hanya di kisaran 23,3 juta ton. Penurunan produksi tersebut tentulah berimbas pada berkurangnya pendapatan petani, yang ujung-ujungnya mengganggu kehidupan keseharian petani. Demi menjaga kesejahteraan petani, pemerintah Thailand menyetujui pinjaman untuk petani sebesar 60 miliar baht atau sekitar 1,77 miliar dollar Amerika Serikat.
Sementara, pemerintah kita, dalam hal ini Perum Bulog, keteteran menyerap gabah dan beras petani, karena harga jual dari petani di atas harga yang sudah ditetapkan pemerintah. Pada musim kering seperti ini, harga gabah dan beras di sejumlah sentra pertanian, memang telah melebihi harga pembelian pemerintah. Di Jawa Tengah[6], yang meliputi Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara, misalnya, penyerapan pangan yang dilakukan Perum Bulog biasanya hingga 1.000 ton per hari, kini hanya berkisar 100-200 ton per hari. Karena Perum Bulog tak mampu membeli, petani menjual ke pedagang. Akibatnya, pengadaan pangan yang dilakukan Perum Bulog di wilayah tersebut pun anjlok hingga 80 persen.
Hujan Buatan, Program Nasional Thailand
Sikap pemerintah kita menghadapi petani, memang berbeda dengan sikap pemerintah Thailand menghadapi petani mereka. Dalam hal hujan buatan, misalnya, Thailand sudah menjadikan aktivitas memodifikasi cuaca tersebut sebagai program nasional mereka. Artinya, hujan buatan di Thailand[7], dilakukan secara terprogram dari tahun ke tahun. Bukan dadakan. Bukan pula hanya karena menyambut El Nino[8]. Tiap kali menjelang musim kemarau tiba, mereka mengantisipasinya dengan membuat hujan buatan.
Untuk semua itu, Thailand menyiagakan 5 satgas yang menangani hujan buatan. Juga, untuk memantau perkembangan iklim secara reguler. Dikaitkan dengan luas negara mereka yang tak seberapa, jika dibandingkan dengan luas tanah air kita, tentulah hal itu merupakan indikator, betapa sungguh-sungguhnya mereka menjaga serta merawat lahan pertanian yang ada. Pemerintah Thailand juga mengalokasikan anggaran untuk hujan buatan, lebih dari Rp 400 miliar per tahun.
Memang, meski sudah melakukan hujan buatan secara reguler tiap tahun, tetap saja ada wilayah-wilayah tertentu yang pada waktu tertentu mengalami kekeringan. Intensitas kekeringan yang terjadi di sana, juga berbeda dengan di wilayah kita. Kalau di kita, kekeringan bisa sampai benar-benar kering hingga tanah sawah bisa retak-retak, berubah jadi bongkahan, yang bahkan bisa dijual sebagai bahan baku batu-bata. Karena hujan buatan dilakukan secara reguler, kondisi tanah sawah mereka tak sampai demikian.
Maka, proses untuk mengolah tanah sawah tersebut, setelah musim kering berakhir, tentulah tidak seberat, sebagaimana yang dihadapi para petani kita di akhir musim kering. Itu pula yang menjadi salah satu faktor, yang membuat masa transisi musim kering ke musim hujan, tidak berlangsung lama di Thailand. Dengan demikian, keberadaan produk pertanian mereka, relatif terjaga di pasaran. Dengan kesungguhan perhatian pemerintah Thailand pada bidang pertanian, maka sekitar 60 persen dari seluruh angkatan kerja di Thailand, bekerja di bidang pertanian. Beras adalah hasil bumi yang paling penting bagi Thailand, yang menempatkan negara tersebut sebagai eksportir besar di pasar beras dunia.
Restoran Thailand, Produk Pertanian Thailand
Thailand bisa menjadi eksportir besar di pasar beras dunia, tentulah merupakan hasil yang sepadan dengan kesungguhan pemerintah Thailand memperhatikan petani mereka: memberi kompensasi saat musim kering, memberi pinjaman, dan menjadikan hujan buatan sebagai program nasional. Dengan demikian, lapangan kerja di bidang pertanian, kian terbuka sekaligus kian diminati warga. Karena itu pulalah sekitar 60 persen dari seluruh angkatan kerja di Thailand, bekerja di bidang pertanian.
Secara bertahap, dunia usaha di Thailand terus mengembangkan usaha restoran. Bukan hanya dalam negeri. Restoran Thailand, dengan berbagai brand, terus merambah dunia. Bisnis kuliner Thailand tumbuh pesat. Penulis dan pelopor pembentukan komunitas wisata boga Jalan Sutra, Bondan Winarno[9], mencatat, dari target awal sekitar 10.000 restoran di seluruh dunia, hanya kurang dari lima tahun sejak program itu diluncurkan, telah ada 20.000 restoran Thailand di seluruh dunia. Hal tersebut tentulah sebuah capaian yang mengagumkan.
Terus, apa kaitannya pertanian Thailand dengan restoran Thailand? Ini dijelaskan oleh Chairman Indonesian Agency for Outbond Investment Development (InaGoInvest), Guspiabri Sumowigeno[10]. Katanya, keberadaan restoran Thailand di luar negeri, terbukti mendorong pertumbuhan ekspor produk pertanian dari Thailand. Karena, bersamaan dengan menjamurnya restoran Thailand di berbagai negara, diiringi dengan pendirian minimarket Thailand, yang berkembang di luar negeri mengikuti penetrasi restoran. Sebab, konsumen di luar negeri yang sudah bisa menerima rasa masakan atau produk makanan jadi Thailand, juga ingin mencari produk segarnya.
Sungguh, sebuah strategi yang terintegrasi. Bila mengacu pada apa yang sudah ditunjukkan Thailand, kita tahu sesungguhnya tidak ada yang sia-sia bila kita berpihak pada petani. Di musim kering yang sudah menyengsarakan puluhan ribu petani kini, yang telah mengakibatkan puluhan ribu hektar lahan mereka tidak bisa ditanami, haruskah kita menanti puncak musim kering untuk melakukan hujan buatan? Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Heru Widodo, idealnya untuk wilayah Jawa, hujan buatan dilakukan pada April atau November di Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta Maret atau November di Jawa Timur. Kita sudah terlambat? Tidak ada kata terlambat, demi berbuat untuk rakyat.
Jakarta, 11 Agustus 2015
----------------------------
Petani adalah pekerja yang ulet, yang mengenal betul apa artinya pergantian musim. Mereka belajar dari alam, karena mereka sepenuhnya menyadari bahwa mereka bagian dari alam itu sendiri.
Petani jagung sudah meningkatkan produksi jagung nasional. Impor jagung sudah dihentikan. Ayolah Perum Bulog, segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah, untuk menyerap jagung petani.
--------------------------
[1] Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Syamsul Maarif, mengatakan hal itu pada Senin (10/8/2015) di Jakarta, seusai mengikuti rapat membahas masalah kekeringan, sekaligus membuka Pos Komando Kekeringan Bencana Nasional di Kantor Kementerian Pertanian. Pada tahap I hujan buatan, pemerintah menyiapkan dana Rp 200 miliar, dengan mengerahkan lima pesawat. Selengkapnya, silakan baca Pemerintah Putuskan Buat Hujan Buatan, yang dilansir print.kompas.com, pada Selasa | 11 Agustus 2015.
[2] Menurut Heru Widodo, idealnya untuk wilayah Jawa, hujan buatan dilakukan pada April atau November di Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta Maret atau November di Jawa Timur. Selengkapnya, silakan baca Hujan Buatan Perlu Jadi Program Nasional, yang dilansir print.kompas.com, pada Siang | Kamis l 16 Juli 2015 l 13:35 WIB.
[3] Laju kekeringan di Jawa Barat dalam beberapa minggu terakhir, sangat cepat. Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, Diden Trisnadi, di Bandung, pada Jumat (7/8/2015), mengatakan, hal itu memicu penurunan produksi padi tahun 2015. Selengkapnya, silakan baca Laju Kekeringan di Jabar Sangat Cepat, yang dilansir print.kompas.com, pada Sabtu | 8 Agustus 2015.
[4] Dampak kekeringan paling awal, melanda wilayah Jawa Tengah bagian timur. Kemarau kali ini dikhawatirkan makin kering, seiring dengan dampak El Nino, meski kategorinya lemah. Selengkapnya, silakan baca Kekeringan di Jateng Meluas, Ratusan Desa Mengajukan Permintaan Pasokan Air Bersih, yang dilansir print.kompas.com, pada Senin | 13 Juli 2015.
[5] Silakan baca Kilas Ekonomi, yang dilansir print.kompas.com, pada Selasa | 21 Juli 2015.
[6] Musim kemarau yang memicu kekeringan di sejumlah sentra pertanian menyebabkan harga pangan mulai meningkat. Harga gabah dan beras di sejumlah sentra pertanian telah melebihi harga pembelian pemerintah. Selengkapnya, silakan baca Penyerapan Pangan Anjlok, Bulog Sumsel Babel Bikin Posko Pembelian Beras Petani, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu | 5 Agustus 2015.
[7] Menghadapi musim kemarau, salah satu rekayasa alam yang umum dilakukan adalah melakukan Hujan Buatan. Teknik Hujan Buatan ditemukan oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir pada tahun 1946. Setahun kemudian, 1947, temuan itu dilanjutkan oleh Bernard Vonnegut. Dalam hal Hujan Buatan ini, yang sebenarnya dilakukan adalah menciptakan peluang hujan dan mempercepat proses terjadinya hujan. Makanya, hal itu dinamai Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Pada Februari 2015 lalu, Provinsi Riau bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan modifikasi cuaca hujan buatan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah Pusat melalui BNPB menyiapkan 68 ribu ton garam untuk proses modifikasi cuaca, yang menelan biaya hampir Rp 16 miliar tersebut.
[8] Ini catatan dari Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan Amerika Serikat (NOAA). Dalam 65 tahun terakhir, telah terjadi 5 El Nino, yang berintensitas kuat, atau dengan anomali suhu lebih dari 1,5 derajat celsius. Terjadinya El Nino kuat, memang terkait dengan banyak faktor, termasuk aktivitas matahari. El Nino kuat biasanya akan terjadi ketika aktivitas matahari berada pada level minimum. Selengkapnya, silakan baca Bagaimana Pemanasan Global Memicu El Nino yang Lebih Ekstrem?, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 5 Agustus 2015 | 20:45 WIB.
[9] Bondan Winarno mengatakan, Indonesia bisa meniru cara Thailand mempromosikan kuliner, untuk memperkenalkan khazanah makanan tradisional Tanah Air ke mancanegara. Thailand terbukti berhasil menduniakan makanan tradisionalnya, dengan Thai Kitchen to The World, program promosi pariwisata lewat kuliner. Bondan mengatakan hal itu saat berada di Beijing, China, untuk menghadiri penyerahan penghargaan Gourmand World Cookbook Awards. Selengkapnya, silakan baca Indonesia Bisa Tiru Thailand Promosikan Kuliner, yang dilansir kompas.com, pada Sabtu l 24 Mei 2014 | 07:42 WIB.
[10] Investasi pelaku usaha Indonesia ke luar negeri, berpotensi membuka pasar ekspor. Langkah serupa telah dilakukan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand dan Malaysia. Selengkapnya, silakan baca Investasi Buka Peluang Ekspor, Fasilitas Perdagangan Dapat Dimanfaatkan, yang dilansir print.kompas.com, pada Senin | 25 Mei 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H