Sikap pemerintah kita menghadapi petani, memang berbeda dengan sikap pemerintah Thailand menghadapi petani mereka. Dalam hal hujan buatan, misalnya, Thailand sudah menjadikan aktivitas memodifikasi cuaca tersebut sebagai program nasional mereka. Artinya, hujan buatan di Thailand[7], dilakukan secara terprogram dari tahun ke tahun. Bukan dadakan. Bukan pula hanya karena menyambut El Nino[8]. Tiap kali menjelang musim kemarau tiba, mereka mengantisipasinya dengan membuat hujan buatan.
Untuk semua itu, Thailand menyiagakan 5 satgas yang menangani hujan buatan. Juga, untuk memantau perkembangan iklim secara reguler. Dikaitkan dengan luas negara mereka yang tak seberapa, jika dibandingkan dengan luas tanah air kita, tentulah hal itu merupakan indikator, betapa sungguh-sungguhnya mereka menjaga serta merawat lahan pertanian yang ada. Pemerintah Thailand juga mengalokasikan anggaran untuk hujan buatan, lebih dari Rp 400 miliar per tahun.
Memang, meski sudah melakukan hujan buatan secara reguler tiap tahun, tetap saja ada wilayah-wilayah tertentu yang pada waktu tertentu mengalami kekeringan. Intensitas kekeringan yang terjadi di sana, juga berbeda dengan di wilayah kita. Kalau di kita, kekeringan bisa sampai benar-benar kering hingga tanah sawah bisa retak-retak, berubah jadi bongkahan, yang bahkan bisa dijual sebagai bahan baku batu-bata. Karena hujan buatan dilakukan secara reguler, kondisi tanah sawah mereka tak sampai demikian.
Maka, proses untuk mengolah tanah sawah tersebut, setelah musim kering berakhir, tentulah tidak seberat, sebagaimana yang dihadapi para petani kita di akhir musim kering. Itu pula yang menjadi salah satu faktor, yang membuat masa transisi musim kering ke musim hujan, tidak berlangsung lama di Thailand. Dengan demikian, keberadaan produk pertanian mereka, relatif terjaga di pasaran. Dengan kesungguhan perhatian pemerintah Thailand pada bidang pertanian, maka sekitar 60 persen dari seluruh angkatan kerja di Thailand, bekerja di bidang pertanian. Beras adalah hasil bumi yang paling penting bagi Thailand, yang menempatkan negara tersebut sebagai eksportir besar di pasar beras dunia.
Restoran Thailand, Produk Pertanian Thailand
Thailand bisa menjadi eksportir besar di pasar beras dunia, tentulah merupakan hasil yang sepadan dengan kesungguhan pemerintah Thailand memperhatikan petani mereka: memberi kompensasi saat musim kering, memberi pinjaman, dan menjadikan hujan buatan sebagai program nasional. Dengan demikian, lapangan kerja di bidang pertanian, kian terbuka sekaligus kian diminati warga. Karena itu pulalah sekitar 60 persen dari seluruh angkatan kerja di Thailand, bekerja di bidang pertanian.
Secara bertahap, dunia usaha di Thailand terus mengembangkan usaha restoran. Bukan hanya dalam negeri. Restoran Thailand, dengan berbagai brand, terus merambah dunia. Bisnis kuliner Thailand tumbuh pesat. Penulis dan pelopor pembentukan komunitas wisata boga Jalan Sutra, Bondan Winarno[9], mencatat, dari target awal sekitar 10.000 restoran di seluruh dunia, hanya kurang dari lima tahun sejak program itu diluncurkan, telah ada 20.000 restoran Thailand di seluruh dunia. Hal tersebut tentulah sebuah capaian yang mengagumkan.
Terus, apa kaitannya pertanian Thailand dengan restoran Thailand? Ini dijelaskan oleh Chairman Indonesian Agency for Outbond Investment Development (InaGoInvest), Guspiabri Sumowigeno[10]. Katanya, keberadaan restoran Thailand di luar negeri, terbukti mendorong pertumbuhan ekspor produk pertanian dari Thailand. Karena, bersamaan dengan menjamurnya restoran Thailand di berbagai negara, diiringi dengan pendirian minimarket Thailand, yang berkembang di luar negeri mengikuti penetrasi restoran. Sebab, konsumen di luar negeri yang sudah bisa menerima rasa masakan atau produk makanan jadi Thailand, juga ingin mencari produk segarnya.
Sungguh, sebuah strategi yang terintegrasi. Bila mengacu pada apa yang sudah ditunjukkan Thailand, kita tahu sesungguhnya tidak ada yang sia-sia bila kita berpihak pada petani. Di musim kering yang sudah menyengsarakan puluhan ribu petani kini, yang telah mengakibatkan puluhan ribu hektar lahan mereka tidak bisa ditanami, haruskah kita menanti puncak musim kering untuk melakukan hujan buatan? Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Heru Widodo, idealnya untuk wilayah Jawa, hujan buatan dilakukan pada April atau November di Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta Maret atau November di Jawa Timur. Kita sudah terlambat? Tidak ada kata terlambat, demi berbuat untuk rakyat.
Jakarta, 11 Agustus 2015