Warga dunia dalam Jambore Pramuka Dunia ke-23 di Kirarahama, Yamaguchi, Jepang, akhir Juli 2015, memainkan angklung, musik tradisi kita. Angklung ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia oleh UNESCO, badan dunia yang mengurusi seputar budaya di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), sejak November 2010. Tanggal 16 November ditetapkan sebagai Hari Angklung sedunia. Foto: print.kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Tiap kali berhadapan dengan warga dunia, yang kita suguhkan kepada mereka adalah tradisi kita, kebudayaan kita. Menekuni tradisi, tidak akan membuat kita terkucil dari pergaulan dunia. Karena, kebudayaan adalah bahasa yang universal, yang dengan luwes menyentuh nurani lintas benua.
Kang Udjo, seniman angklung asal Jawa Barat, misalnya, sukses menyentuh serta menggerakkan warga dunia di Jambore Pramuka Dunia[1] ke-23 di Kirarahama, Yamaguchi, Jepang, akhir Juli 2015, dengan seni tradisi musik angklung. Puluhan pemimpin pramuka dunia, Asia Pasifik, serta 40 perwakilan negara, turut serta memainkan alat musik tradisional Sunda tersebut[2]. Hanya dalam hitungan hari, sekitar sepekan kemudian, pada 6-8 Agustus 2015, 34 kelompok remaja dari 34 provinsi yang menekuni musik tradisi, menyajikan kesungguhan mereka dalam menggali akar budaya melalui musik. Di halaman Museum Fatahillah, di kawasan Kota Tua, Jakarta Pusat, para remaja tersebut tampil di Festival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015[3]. Mereka meyakinkan kita semua, bahwa mereka tak sepenuhnya tercerabut dari akar budaya tanah air.
Merawat Budaya Malah Mendunia
Kalau ada yang menganggap bahwa menekuni budaya masa lalu akan membuat kita terpuruk dan ketinggalan zaman, mungkin anggapan itu tidak berlaku bagi mereka yang beraktivitas di Saung Angklung Udjo[4], yang berada di Jalan Padasuka No. 118, Bandung. Mereka, secara turun-temurun, sejak tahun 1966, telah mengabdikan hidup untuk merawat budaya Sunda, mengembangkan diri bersama seni musik angklung. Sementara, seni musik angklung itu sendiri diperkirakan sudah mulai ada sejak 18 abad silam, pada suku Baduy, yang merupakan leluhur masyarakat Sunda.
Apakah mereka ketinggalan zaman? Apakah mereka tersisih dari pergaulan dunia? Nyatanya, tidak. Saung Angklung Udjo malah sering mewakili Indonesia di ajang Internasional, seperti di event Jambore Pramuka Dunia ke-23 di Kirarahama, Yamaguchi, Jepang, tersebut. Dengan kemahiran menguasai tradisi masa lalu, mereka justru mampu memukau warga dunia, dari berbagai belahan benua. Interaksi mereka yang beraktivitas di Saung Angklung Udjo dengan warga dunia, justru sangat tinggi dan intens. Ada begitu banyak orang asing yang mendalami Angklung di saung mereka.
Itulah kekuatan budaya, yang dengan kokoh telah menjadi perekat hubungan manusia dengan manusia, relasi bangsa dengan bangsa, dari abad ke abad. Maka, tak ada alasan bagi kita untuk tidak peduli pada tradisi budaya sendiri. Dari sepuluh kali melahap fastfood, tentu tak ada salahnya kita sempatkan sekali makan gudeg, misalnya. Setelah terpesona membaca karya-karya Stephenie Meyer, Dean Koontz, Nora Roberts, Jackie Collins, John Grisham, Tom Clancy, James Patterson, Danielle Steel, Stephen King, dan J.K. Rowling, misalnya, tak ada salahnya menyelinginya dengan sejenak membaca Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Siti Nurbaya karya Marah Roesli, atau bahkan Api Di Bukit Menoreh karya S.H.Mintardja.
Untuk apa? Untuk memberi kesempatan kepada jiwa kita, agar tetap bersentuhan dengan nilai-nilai budaya, yang menjadi bagian dari kehidupan kita. Mungkin terasa jadul saat kita membaca karya-karya mereka. Tapi, dari membaca tersebut, mungkin ada bagian yang menggugah kita, yang menuntun kita untuk memahami tradisi budaya negeri kita sendiri. Setidaknya, kita tidak menjadi malin kundang bagi karya-karya anak bangsa.
Terbuka Tapi Tetap Selektif