Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekolah Gratis 4 Tahun untuk Anak Petani Agar Menjadi Penyuluh Pertanian

1 Agustus 2015   20:38 Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:44 6110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para mahasiswa STPP Malang terjun langsung dalam berbagai aktivitas pertanian. Dengan demikian, setelah lulus dan menjadi penyuluh pertanian kelak, mereka bukan hanya paham permasalahan pertanian tapi juga sudah memiliki pengalaman yang memadai. Ini bagian dari bekal mereka untuk memberikan solusi kepada para petani. Foto: stppmalang.ac.id

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Ada 73.000 desa di Indonesia. Andai di satu desa rata-rata ada 10 petani, maka ada 730.000 petani yang perlu didampingi penyuluh. Sementara, jumlah penyuluh pertanian hanya sekitar 50.000 orang: 27.000 PNS dan 23.000 non-PNS. Bagaimana menyiasatinya?

Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) Malang, Jawa Timur, punya cara kreatif untuk mendukung program swasembada pangan, melalui jalur pendidikan. STPP Malang ini merekrut anak petani yang sudah tamat sekolah menengah kejuruan pertanian. Mereka diseleksi dengan seksama. Yang lulus seleksi, dapat kesempatan mengikuti pendidikan gratis selama empat tahun, setingkat D-4, di lembaga tersebut. Setelah tamat, yang bersangkutan wajib pulang ke daerah asal, menjadi tenaga penyuluh pertanian non-PNS, untuk mendampingi para petani di desa mereka. “Ini diharapkan bisa menutup kekurangan penyuluh pertanian yang kini masih kurang di Indonesia," kata Siti Munifah, Ketua STPP Malang[1], pada Selasa (28/7/2015), di Malang, Jawa Timur.

Dimulai Tahun Lalu dengan 120 Siswa

Langkah merekrut anak petani ini adalah bagian dari upaya STPP Malang untuk menyediakan tenaga pertanian terdidik di desa-desa. Maklum, sebagian besar anak desa yang melanjutkan sekolah ke kota, enggan kembali ke desa setelah lulus. Selain karena tidak tersedia lapangan kerja yang relevan dengan mereka, juga karena kota menjanjikan harapan untuk mereka, demi mewujudkan impian. Realitas mudik lebaran adalah bukti kongkrit yang menunjukkan betapa sangat banyak warga desa yang bertarung hidup di kota-kota.

Dengan merekrut anak petani secara langsung dari desa mereka, diharapkan mereka ikhlas untuk pulang ke kampung halaman setelah lulus. Ini memang program baru, yang dimulai tahun 2014 lalu, dengan peserta 120 orang. Tahun 2015 ini, jumlah mereka yang direkrut bertambah menjadi 140 orang[2]. Mereka, selain berasal dari sejumlah desa di Jawa Timur, juga ada yang berasal dari Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Di STPP Malang, mereka mendapat pendidikan gratis selama empat tahun[3], setingkat D-4. Karena mereka merupakan lulusan sekolah menengah kejuruan pertanian, maka secara dasar-dasar ilmu pertanian, mereka relatif sudah memiliki. Selama 4 tahun, mereka dididik tentang pertanian dan pengolahan hasil pertanian, sesuai dengan potensi pertanian di daerah mereka. Artinya, pengetahuan dan skill yang mereka tekuni, relevan dan kontekstual dengan daerah asal mereka. Baik secara teori maupun praktek.

Aspek kontekstual ini memang menjadi komponen yang penting. Karena, agar pengetahuan yang telah mereka serap benar-benar bisa langsung diterapkan di daerah asal, setelah lulus nanti. Itu artinya, tiap siswa, sejak awal, sudah dituntut memahami potensi pertanian yang ada di daerah mereka. Dengan kata lain, apa yang mereka pelajari selama pendidikan, memiliki korelasi langsung dengan daerah asal, kampung halaman mereka.

Upaya dan karya Cristiyani menjembatani program pemerintah bagi kemajuan pertanian di Kelurahan Sei Gohong, tampak dari perkembangan kesejahteraan penduduk di sana. Rumah-rumah para petani yang dulu masih berupa bangunan kayu, sekarang mulai dibangun dengan tembok. Para petani pun sudah bisa memiliki alat transportasi pribadi berupa sepeda motor. Foto: print.kompas.com

Bukan Hanya Menjawab Tapi Memberi Solusi

Sebagai penyuluh pertanian kelak, mereka bukan hanya akan menjawab pertanyaan petani, tapi yang lebih utama adalah memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi petani di lapangan. Sebagai gambaran, apa yang dilakukan penyuluh pertanian Cristiyani Margaretha[4] ini barangkali bisa menambah pemahaman kita. Cristiyani merupakan tenaga harian lepas-tenaga bantu penyuluh pertanian (THL-TBPP) di Kelurahan Sei Gohong, Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng), sejak 2008.

Ia lulusan D-3 Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya (1995). Secara ringkas, Cristiyani merumuskan bahwa penyuluh pertanian adalah jembatan antara pemerintah dan para petani. Program pertanian skala nasional dirumuskan di pusat, yang kemudian secara berjenjang disosialisasikan ke tingkat provinsi, kabupaten-kota, kecamatan, kelurahan, hingga ke desa. Tidak semua petani dapat kesempatan mengikuti arahan serta petunjuk dari dinas pertanian setempat.

Kalaupun sempat mengikuti arahan secara langsung pada kesempatan tertentu, belum semua arahan tersebut bisa dicerna petani dengan baik. Selain itu, ada saja situasi-kondisi di lapangan yang dihadapi petani, yang membutuhkan penanganan segera. Untuk itulah penyuluh pertanian senantiasa ada di dekat petani. Penyuluh pertanian adalah sosok yang memiliki pengetahun dan skill, yang sewaktu-waktu dengan mudah ditemui para petani.

Cristiyani, misalnya, secara teratur mengadakan pertemuan dengan kelompok-kelompok petani. Pertemuan itu, meski merupakan hal yang serius, tapi pelaksanaannya di tempat-tempat yang familiar dengan petani. Agar petani dan penyuluh pertanian leluasa berdialog, berbincang-bincang. Cristiyani kerap bertemu petani di rumah warga, di kebun petani, di halaman rumahnya, dan sesekali di balai basara kelurahan atau balai pertemuan warga.

Yang juga tak kalah penting untuk dicatat, Cristiyani siap-sedia 24 jam untuk membukakan pintu rumahnya bagi para petani yang ingin menyampaikan keluhan, harapan, atau bertanya tentang program-program pertanian. Dalam hal ini, konteks anak petani yang menjadi penyuluh pertanian di kampung halamannya, menjadi sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, boleh jadi lulusan STPP Malang kelak, akan menjadi pemberi solusi bagi kaum-kerabatnya, bagi petani yang selama ini sedesa dengannya. Dalam hal ini, hambatan komunikasi tentulah bisa diminimalkan sejak awal.

Latifah Sofyan Dide, mahasiswa Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang, pada Selasa (28/7/2015), mengolah tomat menjadi manisan tomat rasa kurma di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian. Pengolahan tomat menjadi manisan tersebut menjadi salah satu solusi bagi petani saat harga tomat jatuh. Petani jadi punya alternatif untuk mengolah produk pertanian mereka. Foto: print.kompas.com

Diarahkan Menjadi Wirausaha Pertanian

Selama pendidikan 4 tahun di STPP Malang, peserta didik tersebut tidak semata-mata hanya dididik menjadi penyuluh pertanian. Agenda besarnya adalah mengarahkan mereka untuk menjadi wirausaha pertanian sekaligus menjadi penyuluh pertanian di daerahnya. Sebagai penyuluh pertanian, fokusnya adalah pada aspek produksi pertanian. Sedangkan sebagai wirausaha pertanian, fokusnya lebih pada aspek mengolah produk pertanian agar memiliki nilai tambah serta memasarkan produk pertanian agar petani memperoleh harga yang kompetitif dari hasil jerih-payah mereka.

Sebagaimana kita tahu, selama ini petani yang berada di desa, minim sekali aksesnya ke pasar. Dinamika kebutuhan konsumen, persaingan produk, kualitas produk, dan harga produk pertanian di pasaran kurang menjadi perhatian bagi petani. Mereka terkonsentrasi pada sektor produksi. Kondisi inilah yang kerap dijadikan lahan empuk oleh para tengkulak yang seenaknya mempermainkan harga. Kondisi itu pula yang menyuburkan tumbuhnya praktik ijon, tengkulak memberi pinjaman pada petani, yang akibatnya petani terpaksa menjual produk pertanian ke tengkulak dengan harga yang tidak wajar.

Dengan adanya penyuluh pertanian, praktik-praktik yang merugikan petani tersebut bisa diminimalkan. Selain itu, berbagai bentuk bantuan pemerintah terhadap petani, bisa dijembatani oleh penyuluh pertanian, yang memiliki kemampuan untuk mengakses birokrasi serta institusi pertanian di wilayah setempat. Karena penyuluh pertanian lulusan STPP Malang ini kelak akan bertugas di kampung halaman mereka masing-masing, maka diharapkan mereka menjaga integritasnya hingga dipercaya oleh petani setempat.

Selain di Malang, Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) juga ada di Yogyakarta, Medan (Sumatera Utara), Bogor (Jawa Barat), Manokwari (Papua), dan Gowa (Sulawesi Selatan). Mengingat adanya 73.000 desa di Indonesia dan luas panen padi secara nasional mencapai 12,6 juta hektar, tentu sebaran STPP tersebut belumlah memadai. Konteks Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian tentu bukan hanya padi, tapi juga produk pertanian lain seperti sayuran dan buah-buahan.

Masih minimnya jumlah penyuluh pertanian dan minimnya sebaran sekolah penyuluh pertanian, tentu sudah dipahami oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman. Karena, ia pernah menjalani profesi sebagai penyuluh pertanian lapangan (PPL). Hal itu dikemukakan Andi Amran Sulaiman saat memberikan sambutan di depan ribuan penyuluh pertanian lapangan (PPL) Jawa Tengah di Taman Budaya Surakarta (TBS), pada Rabu (25/2/2015). Ketika menjadi PPL, Amran Sulaiman bercerita bahwa tiap hari ia mengunjungi 25 petani di daerah tempatnya bertugas saat itu.

Jakarta, 1 Agustus 2015

--------------------------

Perum Bulog mulai membeli langsung produk pertanian dari petani. Ini patut diapresiasi, supaya petani tak selamanya didikte para saudagar:

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/saudagar-menggencet-bulog-petani-tertekan-dan-konsumen-kelimpungan_558d5b941597730014fedfff

Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya (FTP-UB) Malang, Jawa Timur, menciptakan pupuk organik dari limbah:

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/paprika-manjur-pakan-ternak-murah-dari-limbah-biogas-ciptaan-mahasiswa-brawijaya_55765dfccd92731d5cbb9e78

-------------------------

[1] STPP Malang pada awalnya merupakan bagian dari Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) Malang. Pada 1 Oktober 1996, kampus APP Malang secara terpadu pindah ke Desa Randuagung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Kemudian, pada tahun 1999, APP Malang Jurusan Penyuluhan Perikanan di Sedati, Sidoarjo, memisahkan diri dari Departemen Pertanian, menjadi Akademi Perikanan Sidoarjo di bawah Departemen Kelautan. Sejalan dengan perkembangan pembangunan pertanian dan kemajuan teknologi komunikasi dan budidaya, APP Malang sejak tahun 2000 menjadi Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang.

[2] Untuk angkatan 2015, ada 460 peserta yang mengikuti ujian tulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) STPP Malang, yang digelar 6-7 Juli 2015. Lokasi ujian dibagi menjadi 3 rayon. Rayon 1: Jawa Timur, bertempat di STPP Malang. Rayon 2: Mataram NTB, bertempat di SMKPP Negeri Mataram. Rayon 3: Kupang NTT, bertempat di SMKPP Negeri Kupang. Pada hari pertama, materi yang diujikan tes tulis Matematika, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Umum, dan Psikotest. Pada hari kedua, wawancara dan tes kesehatan.

[3] Mereka dilatih serta diberi pengetahuan tentang pertanian dan pengolahan hasil pertanian, sesuai dengan potensi daerahnya. Seusai dididik, anak petani itu diarahkan menjadi wirausaha pertanian, sekaligus menjadi penyuluh pertanian di daerahnya. Selengkapnya, silakan baca Anak Petani Dididik Jadi Penyuluh, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat (31/7/2015)

[4] Cristiyani Margaretha adalah Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) di Kelurahan Sei Gohong, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Selengkapnya, silakan baca Melayani Petani dengan Hati, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu (6/5/2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun