Ketika Joko Widodo mengatakan dana proyek pembangkit listrik tersebut akan dibagi antara pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), kemudian BUMN dalam hal ini PLN, barangkali para pendukungnya berharap mayoritas listrik akan dikuasai negara. Karena, BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara dan PLN adalah Perusahaan Listrik Negara. Dengan listrik dikuasai negara, maka negara berdaulat atas salah satu energi pokok rakyat tersebut. Bukankah itu yang kerap digaungkan sebagai kedaulatan energi?
Dengan jatah PLN yang hanya menggarap 5.000 MW, apalah daya PLN menghadapi dominasi swasta yang menguasai industri hulu listrik dalam skala mayoritas tersebut? Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, mengungkapkan bahwa PLN akan lebih fokus membangun transmisi dan distribusi listrik[5]. Artinya, PLN berada di posisi hilir dan swasta menguasai industri hulu listrik. Posisi ini sebenarnya nyaris serupa dengan posisi Pertamina di industri migas. Sebagai satu-satunya badan usaha milik negara di sektor minyak dan gas bumi, Pertamina hanya berkontribusi 22 persen terhadap seluruh produksi minyak siap jual di Indonesia. Porsi terbesar dikuasai swasta.
Padahal, Pertamina adalah perusahaan yang 100 persen sahamnya milik negara ini. Dalam penetapan harga, Pertamina tunduk pada industri hulu migas yang dikuasai swasta. Contohnya, ketika Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram. Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang[6], mengatakan bahwa harga elpiji per 12 kilogram, mulai 1 Maret 2015, menjadi Rp 134 ribu per tabung dari sebelumnya Rp 129 ribu. Kenaikan sebesar Rp 5.000 per tabung. Menurut Ahmad Bambang, pertimbangan kenaikan harga elpiji 12 kilogram yang nonsubsidi tersebut, semata-mata kenaikan harga pasar elpiji sesuai dengan patokan kontrak (contract price/CP) Aramco.
Artinya, Pertamina yang berada di hilir hanya sebatas penyalur, mekanisme harga ditentukan oleh industri hulu migas. Maka, akan demikian pula kelak yang terjadi pada PLN yang berada di industri hilir listrik. Dengan demikian, tiap kali tarif listrik naik kelak, PLN akan berargumen bahwa itu semata-mata sesuai dengan patokan kontrak dengan penguasa industri hulu listrik yang dikuasai swasta. Adakah daya rakyat menghadapi semua itu? Mekanisme yang seperti itukah yang dimaksud Joko Widodo sebagai wujud kedaulatan energi untuk kesejahteraan rakyat?
Listrik: Kalla Piawai, Bukaka Gesit
Setelah negeri ini tidak berdaulat di industri migas, maka selanjutnya negeri ini juga tidak berdaulat di industri listrik. Pertamina hanya penyalur migas, PLN juga hanya penyalur listrik. Industri hulu migas mayoritas dikuasai swasta dan kelak industri hulu listrik juga akan dikuasai swasta. Secara bertahap, dengan kebijakan pemerintah yang menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai minoritas di sektor pokok kebutuhan rakyat, maka barangkali kelak BUMN hanya akan menjadi pedagang kelontong atau pedagang asongan semata.
Tapi, benarkah PLN sekerdil itu, hingga hanya dijatahi menggarap 5.000 MW? Bukankah di sejumlah negara seperti di Tiongkok, Singapura, Malaysia, dan India yang menjadi motor utama penggerak ekonomi mereka adalah perusahaan negara yang bersangkutan? Secara keseluruhan, sebenarnya kontribusi BUMN terhadap ekonomi negeri ini, tidaklah kecil. Pada tahun 2013, total output BUMN menyumbang sekitar 30 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang sebesar Rp 9.084 triliun. Pada tahun yang sama, penerimaan pajak yang disumbangkan 138 BUMN di Indonesia mencapai Rp 113,7 triliun.
Artinya, dengan menempatkan profesional yang tepat, BUMN bisa lebih diberdayakan. Bukan dikerdilkan seperti PLN tersebut. Kalau yang menjadi persoalan adalah praktik korupsi di BUMN ya korupsinya yang dibenahi, bukan BUMN-nya yang dikerdilkan. Kalau politisi dinilai menjadi biang korupsi ya jangan tempatkan politisi di BUMN. Sebagai catatan, sejak Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, hingga April 2015, setidaknya ada 16 orang yang menjadi komisaris perusahaan pelat merah. Mereka yang ditunjuk Presiden ini terafiliasi dengan partai pendukung ataupun kelompok relawan pendukung Jokowi-Jusuf Kalla[7].
Tapi, ya begitulah Joko Widodo menempatkan serta memperlakukan BUMN. Dalam konteks PLN, porsi yang besar yang diberikan kepada pihak swasta untuk menguasai industri hulu listrik, adalah juga cerminan dari sikap yang nyaris serupa. Diplomasi Wakil Presiden Jusuf Kalla yang piawai tentang investasi listrik dalam forum bisnis Indonesia-Inggris di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada Selasa (28/7/2015) tersebut, sama dan sebangun dengan gerakan kelompok bisnis Bukaka Teknik Utama. Sebagai catatan, dalam perusahaan tersebut, ada Suhaeli Kalla sebagai Komisaris Utama dan Solihin Jusuf Kalla sebagai Komisaris.
Sebulan sebelum forum bisnis Indonesia-Inggris tersebut, pada Senin (29/6/2015), dalam konferensi pers di Auditorium Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, diungkapkan bahwa perusahaan induk infrastruktur milik Keluarga Jusuf Kalla itu kembali mencatatkan sahamnya ke lantai Bursa Efek Indonesia, relisting. Langkah ini mereka lakukan untuk mengincar proyek pembangkit listrik yang diusung pemerintah. Sekretaris Perusahaan Bukaka, Devindra Ratzarwin[8] mengatakan, pihaknya kembali ke lantai bursa karena melihat kesempatan ekspansi bisnis. Ia menjelaskan, pihaknya melalui Bukaka Energy memiliki bisnis pembangkit listrik tenaga mini hydro.