Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri di Kantor Presiden, membahas program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt serta tranmisinya. Pemerintah akan menerbitkan peraturan presiden untuk mempercepat pembangunan proyek listrik tersebut. Isinya, antara lain, dimungkinkan penunjukan yang lebih cepat dan mewajibkan pemerintah daerah untuk mendukung. Foto: print.kompas.com dan kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Di saat Dahlan Iskan dan Nur Pamudji, disengat kasus listrik, para pebisnis swasta yang bergerak di bidang pembangkit listrik, justru bersuka-cita. Bukan mensyukuri nasib dua mantan Dirut PLN[1] tersebut, tapi bersuka-ria karena makin banyak proyek listrik yang bisa mereka garap.
Ketersediaan listrik adalah kebutuhan mendesak. Pasokan listrik dan kehadiran investor, ibarat dua sisi mata uang[2]. Dalam forum bisnis Indonesia-Inggris[3] di Hotel Shangri-La, Jakarta, Selasa (28/7/2015), Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajak investor Inggris untuk masuk ke bisnis pembangkit listrik. Ini terkait dengan program pemerintah yang mencanangkan pembangkit listrik 35.000 MW. Semula, Perusahaan Listrik Negara (PLN) dijatah menggarap 10.000 Megawatt (MW) tapi kemudian dipangkas hanya menjadi 5.000 MW. Artinya, porsi terbesar, yaitu 30.000 MW, akan digarap oleh swasta.
Swastanisasi Listrik, Dominasi Swasta
Proyek pembangkit listrik 35.000 MW tersebut tentulah proyek yang menggiurkan. Nilai investasinya bila ditotal, sekitar Rp 1.100 triliun dan dijadwalkan selesai pada 2019. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PLN memang dijatah pemerintah hanya menggarap 5.000 MW, dari semula yang direncanakan 10.000 MW. Dalam konteks ini, kita mungkin belum lupa pada pernyataan Joko Widodo[4] di Pelabuhan Rakyat Potere, Makassar, Sulawesi Selatan, pada Jumat (22/5/2015), dana proyek pembangkit listrik tersebut akan dibagi antara pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), kemudian BUMN dalam hal ini PLN, dan dari pembangkit listrik mandiri atau Independent Power Producer (IPP).
Melihat porsi proyek listrik yang demikian besar pada swasta, dibandingkan dengan jatah PLN, boleh jadi ke depannya, penguasaan listrik yang merupakan salah satu sumber energi pokok rakyat, akan berada di tangan swasta. Dalam konteks ini, mekanisme bisnis tentulah menjadi acuan berbagai kebijakan. Karena, swasta adalah institusi bisnis. Pada penetapan harga listrik, misalnya, perhitungan yang diacu tentulah perhitungan bisnis. Kita tahu, harga listrik berdampak signifikan pada denyut kehidupan rakyat. Selama ini, tiap kali pemerintah menaikkan tarif listrik, maka dalam sekejap, barang dan jasa berlomba-lomba naik harga.
Artinya, meskipun tarif listrik rumah tangga tidak naik, tapi realitasnya rumah tangga turut menanggung beban kenaikan tarif listrik tersebut. Karena, rumah tangga merupakan konsumen dari barang dan jasa yang diproduksi dengan menggunakan listrik. Dengan penguasaan listrik yang kelak mayoritas berada di tangan swasta dan dunia usaha yang juga mayoritas dikelola swasta, maka berbagai pihak tersebut akan sama-sama mengacu pada hitung-hitungan bisnis. Mekanisme yang demikian adalah bagian dari hakekat bisnis itu sendiri.
Rumah tangga tentulah tak akan berdaya menghadapi kuatnya dominasi kalangan swasta tersebut. Mereka sudah canggih berstrategi, mereka sudah piawai mengelola bisnis. Sementara, rumah tangga adalah konsumen, yang seumur hidup mereka ya didikte para produsen, yang notabene kalangan swasta. Dengan kata lain, swastanisasi proyek pembangkit listrik 35.000 MW tersebut, bukanlah proyek untuk rakyat agar rakyat mendapatkan listrik dengan harga murah, tapi justru proyek yang memperkuat dominasi swasta untuk menguasai hajat hidup rakyat banyak.
PLN di Hilir, Pertamina di Hilir
Ketika Joko Widodo mengatakan dana proyek pembangkit listrik tersebut akan dibagi antara pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), kemudian BUMN dalam hal ini PLN, barangkali para pendukungnya berharap mayoritas listrik akan dikuasai negara. Karena, BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara dan PLN adalah Perusahaan Listrik Negara. Dengan listrik dikuasai negara, maka negara berdaulat atas salah satu energi pokok rakyat tersebut. Bukankah itu yang kerap digaungkan sebagai kedaulatan energi?
Dengan jatah PLN yang hanya menggarap 5.000 MW, apalah daya PLN menghadapi dominasi swasta yang menguasai industri hulu listrik dalam skala mayoritas tersebut? Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, mengungkapkan bahwa PLN akan lebih fokus membangun transmisi dan distribusi listrik[5]. Artinya, PLN berada di posisi hilir dan swasta menguasai industri hulu listrik. Posisi ini sebenarnya nyaris serupa dengan posisi Pertamina di industri migas. Sebagai satu-satunya badan usaha milik negara di sektor minyak dan gas bumi, Pertamina hanya berkontribusi 22 persen terhadap seluruh produksi minyak siap jual di Indonesia. Porsi terbesar dikuasai swasta.
Padahal, Pertamina adalah perusahaan yang 100 persen sahamnya milik negara ini. Dalam penetapan harga, Pertamina tunduk pada industri hulu migas yang dikuasai swasta. Contohnya, ketika Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram. Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang[6], mengatakan bahwa harga elpiji per 12 kilogram, mulai 1 Maret 2015, menjadi Rp 134 ribu per tabung dari sebelumnya Rp 129 ribu. Kenaikan sebesar Rp 5.000 per tabung. Menurut Ahmad Bambang, pertimbangan kenaikan harga elpiji 12 kilogram yang nonsubsidi tersebut, semata-mata kenaikan harga pasar elpiji sesuai dengan patokan kontrak (contract price/CP) Aramco.
Artinya, Pertamina yang berada di hilir hanya sebatas penyalur, mekanisme harga ditentukan oleh industri hulu migas. Maka, akan demikian pula kelak yang terjadi pada PLN yang berada di industri hilir listrik. Dengan demikian, tiap kali tarif listrik naik kelak, PLN akan berargumen bahwa itu semata-mata sesuai dengan patokan kontrak dengan penguasa industri hulu listrik yang dikuasai swasta. Adakah daya rakyat menghadapi semua itu? Mekanisme yang seperti itukah yang dimaksud Joko Widodo sebagai wujud kedaulatan energi untuk kesejahteraan rakyat?
Listrik: Kalla Piawai, Bukaka Gesit
Setelah negeri ini tidak berdaulat di industri migas, maka selanjutnya negeri ini juga tidak berdaulat di industri listrik. Pertamina hanya penyalur migas, PLN juga hanya penyalur listrik. Industri hulu migas mayoritas dikuasai swasta dan kelak industri hulu listrik juga akan dikuasai swasta. Secara bertahap, dengan kebijakan pemerintah yang menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai minoritas di sektor pokok kebutuhan rakyat, maka barangkali kelak BUMN hanya akan menjadi pedagang kelontong atau pedagang asongan semata.
Tapi, benarkah PLN sekerdil itu, hingga hanya dijatahi menggarap 5.000 MW? Bukankah di sejumlah negara seperti di Tiongkok, Singapura, Malaysia, dan India yang menjadi motor utama penggerak ekonomi mereka adalah perusahaan negara yang bersangkutan? Secara keseluruhan, sebenarnya kontribusi BUMN terhadap ekonomi negeri ini, tidaklah kecil. Pada tahun 2013, total output BUMN menyumbang sekitar 30 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang sebesar Rp 9.084 triliun. Pada tahun yang sama, penerimaan pajak yang disumbangkan 138 BUMN di Indonesia mencapai Rp 113,7 triliun.
Artinya, dengan menempatkan profesional yang tepat, BUMN bisa lebih diberdayakan. Bukan dikerdilkan seperti PLN tersebut. Kalau yang menjadi persoalan adalah praktik korupsi di BUMN ya korupsinya yang dibenahi, bukan BUMN-nya yang dikerdilkan. Kalau politisi dinilai menjadi biang korupsi ya jangan tempatkan politisi di BUMN. Sebagai catatan, sejak Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, hingga April 2015, setidaknya ada 16 orang yang menjadi komisaris perusahaan pelat merah. Mereka yang ditunjuk Presiden ini terafiliasi dengan partai pendukung ataupun kelompok relawan pendukung Jokowi-Jusuf Kalla[7].
Tapi, ya begitulah Joko Widodo menempatkan serta memperlakukan BUMN. Dalam konteks PLN, porsi yang besar yang diberikan kepada pihak swasta untuk menguasai industri hulu listrik, adalah juga cerminan dari sikap yang nyaris serupa. Diplomasi Wakil Presiden Jusuf Kalla yang piawai tentang investasi listrik dalam forum bisnis Indonesia-Inggris di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada Selasa (28/7/2015) tersebut, sama dan sebangun dengan gerakan kelompok bisnis Bukaka Teknik Utama. Sebagai catatan, dalam perusahaan tersebut, ada Suhaeli Kalla sebagai Komisaris Utama dan Solihin Jusuf Kalla sebagai Komisaris.
Sebulan sebelum forum bisnis Indonesia-Inggris tersebut, pada Senin (29/6/2015), dalam konferensi pers di Auditorium Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, diungkapkan bahwa perusahaan induk infrastruktur milik Keluarga Jusuf Kalla itu kembali mencatatkan sahamnya ke lantai Bursa Efek Indonesia, relisting. Langkah ini mereka lakukan untuk mengincar proyek pembangkit listrik yang diusung pemerintah. Sekretaris Perusahaan Bukaka, Devindra Ratzarwin[8] mengatakan, pihaknya kembali ke lantai bursa karena melihat kesempatan ekspansi bisnis. Ia menjelaskan, pihaknya melalui Bukaka Energy memiliki bisnis pembangkit listrik tenaga mini hydro.
Sebuah pertunjukan kolaborasi yang sudah tertata rapi. Di BUMN, ada mereka yang ditunjuk Presiden yang terafiliasi dengan partai pendukung ataupun kelompok relawan pendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Selain itu, ada kalangan swasta yang siap menyambut proyek, yang notabene berkorelasi dengan lingkar dalam Istana. Secara formal, diplomasi untuk meraih mitra bisnis, dilakukan dengan gencar. Akan seperti apa nasib perusahaan negara di negerinya sendiri? Selamat datang untuk swastanisasi listrik, selamat berkolaborasi.
Jakarta, 31 Juli 2015
---------------------------
Indonesia memiliki cadangan panas bumi 28 gigawatt, tapi baru memanfaatkannya sekitar 4 persen. Filipina memiliki cadangan panas bumi hanya 6 gigawatt, tapi sudah dikembangkan 33 persen:
Kita harus memperbaiki manajemen energi nasional, dengan roadmap jangka panjang. Karena, kondisi energi negeri ini sudah dalam posisi sungguh mencemaskan:
----------------------------
[1] Dahlan Iskan, mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, 23 Desember 2009 hingga 19 Oktober 2011, ditetapkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sebagai tersangka kasus korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, senilai Rp 1,06 triliun. Proyek itu dimulai tahun 2011. Dahlan ditetapkan sebagai tersangka setelah dua kali diperiksa sebagai saksi oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada Kamis dan Jumat (4-5/6/2015). Badan Reserse Kriminal Polri pada Kamis (23/7/2015) menetapkan Nur Pamudji, mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara periode 2011-2014, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan bahan bakar minyak high speed diesel atau solar industri pada PT PLN tahun 2010. Polri menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka, setelah melakukan gelar perkara. Saat kasus ini terjadi, Nur Pamudji menjabat sebagai Direktur Energi Primer PT PLN.
[2] Listrik dibutuhkan masyarakat sekaligus menjadi magnet investasi di Tanah Air. Pemerintah mengakui perlu upaya dan kerja keras untuk mencapai target pembangunan proyek ketenagalistrikan 35.000 megawatt. Hal itu dikemukakan Presiden Joko Widodo dan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Sofyan Basir, ketika memberikan pengarahan kepada manajemen PT PLN di Kantor Pusat PLN, Jakarta, pada Selasa (7/4/2015).
[3] Forum bisnis Indonesia-Inggris tersebut dihadiri pelaku bisnis lokal maupun pengusaha Inggris. Hadir pula Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Perusahaan publik terbesar di Indonesia, yakni Astra, mayoritas sahamnya dimiliki oleh perusahaan Inggris. Sejak 1949, Indonesia dan Inggris menjalin kerjasama lintas sektor. Nilai perdagangan Indonesia-Inggris merupakan keempat terbesar di antara negara-negara Uni Eropa selama tiga tahun terakhir.
[4] Kalau APBN tidak cukup, apa yang bisa dikerjakan BUMN, BUMN tidak cukup bisa ditaktisi dengan swasta, kalau tidak cukup, bisa investor. Selengkapnya, silakan baca Presiden Jokowi prioritaskan kelistrikan di KTI, dilansir antaranews.com, pada Jumat, 22 Mei 2015 l 20:37 WIB.
[5] PLN bisa lebih fokus pada penyediaan transmisi dan distribusi. Kesempatan yang lebih besar diberikan kepada produsen listrik swasta. Hal itu dikemukakan Menteri ESDM, Sudirman Said, di Kantor Ditjen Ketenagalistrikan, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa (28/7/2015).
[6] Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram, sebesar Rp 5.000 per tabung, mulai 1 Maret 2015. Selengkapnya, silakan baca Pertamina: Harga Elpiji 12 Kg Naik Rp 5.000 Per Tabung, yang dilansir kompas.com, pada Minggu, 1 Maret 2015 | 14:52 WIB.
[7] Komisaris BUMN yang ditunjuk Joko Widodo kebanyakan terafiliasi dengan partai pendukung serta memiliki hubungan dengan lingkar Istana. Selengkapnya, silakan baca 16 Politisi dan Relawan Jokowi Jadi Komisaris, Bahaya Menanti BUMN, yang dilansir kompas.com, pada Minggu, 12 April 2015 | 11:41 WIB.
[8] Devindra Ratzarwin mengatakan, perseroan mendirikan anak usaha, PT Bukaka Mandiri Sejahtera untuk bisnis smelter dan usaha tambang lainnya. Selain itu, ada rencana pendirian anak usaha, PT Bukaka Energi, untuk bisnis usaha PLTU dan PLTM lainnya. Selengkapnya, silakan baca Incar Proyek Listrik, Perusahaan Konstruksi JK Lepas Saham, yang dilansir cnnindonesia.com, pada Senin (29/06/2015) 12:08 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H