Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Joko Widodo Mengeluh, Luhut Panjaitan Mengancam, dan Target Serapan Tidak Tercapai

14 Juli 2015   10:09 Diperbarui: 14 Juli 2015   10:18 10811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah sudah menyiapkan sejumlah alasan terkait rendahnya penyerapan anggaran. Menurut Presiden Joko Widodo, adanya proses politik yang harus dilakukan, sehingga menjadi salah satu penyebab serapan anggaran rendah. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, banyak pejabat di daerah takut dikriminalisasi terjerat korupsi karena banyak aturan yang tak jelas. Akibatnya, uang Rp 255 triliun mengendap di daerah dan tak dipergunakan seperti selayaknya. Grafik di atas menunjukkan serapan anggaran di beberapa kementerian. Foto: tempo.co dan bisnis.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Dana Rp 255 triliun mengendap di daerah, kata Menteri Keuangan, Bambang Brojonegoro di Jakarta, pada Senin (13/7/2015)[1]. Dana itu disimpan di bank dan belum diserap untuk pembangunan. Serapan APBD secara nasional sangat rendah. Hingga semester I-2015, hanya 25 persen. Ada apa dengan Pemimpin Daerah? Bagaimana koordinasi Pusat dengan Daerah?

Ketika Joko Widodo jadi Gubernur DKI Jakarta, serapan APBD DKI hingga akhir tahun 2014, juga rendah, hanya di kisaran 30 persen[2]. Setelah Joko Widodo jadi Presiden, hingga semester I-2015, serapan APBN masih di bawah 40 persen. Inilah kinerja Presiden. Inilah kinerja Kabinet Kerja. Rendahnya serapan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rendahnya serapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), menjadi salah satu penyebab melambatnya perekonomian negeri ini. Para pemimpin di pusat dan di daerah, lamban mengeksekusi rencana yang sudah mereka buat. Mereka tidak mencapai target yang sudah mereka tetapkan. Akibatnya, rencana hanya mengendap di laci mereka, dana yang sudah tersedia hanya mengendap di bank. Akibat lanjutannya, perekonomian melambat, daya beli masyarakat melemah, dan rakyat yang harus menanggung perbuatan mereka.

Pemimpin Lemah, Kinerja Rendah

Dalam konteks kepemimpinan, kualitas pemimpin tercermin dari kinerjanya. Dari realitas rendahnya serapan anggaran di atas, kita sama-sama bisa mencermati bahwa kinerja para pemimpin kita ternyata lemah. Mereka tidak mampu mencapai target yang sudah mereka tetapkan sendiri. Mereka tidak mampu mengeksekusi rencana yang sudah mereka rancang sendiri. Tapi, saat ini, mereka adalah pemimpin kita, pemimpin yang telah memiliki legitimasi politis untuk memegang kendali sejumlah kebijakan.

Di ranah eksekutif, Presiden adalah nakhoda bagi Menteri, Gubernur, dan Bupati-Walikota. Menurut A. Tony Prasetiantono[3], Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada (UGM), Presiden Joko Widodo mengeluhkan rendahnya serapan anggaran tersebut di depan 11 pengamat ekonomi yang menemui Presiden di Istana Merdeka, pada Senin (29/6/2015). Wah, nakhoda negara, mengeluh? Ini tentu bukan kabar baik dan bukan pula kabar positif, dalam konteks mengerek kepercayaan pasar yang terus melorot terhadap kinerja pemerintah.

Ketika Joko Widodo jadi Gubernur DKI Jakarta, serapan APBD DKI Jakarta hingga akhir tahun 2014, hanya di kisaran 30 persen. Padahal, kala itu, Joko Widodo menargetkan penyerapan anggaran mencapai 97 persen. Sebagai Gubernur, ia tidak mencapai target yang sudah ia tetapkan. Kini, setelah Joko Widodo menjadi Presiden, hingga semester I-2015, serapan APBN masih di bawah 40 persen. Dengan kemampuan yang rendah, dalam hal penyerapan anggaran, baik semasa menjadi Gubernur dan kini ketika menjadi Presiden, relevankah Joko Widodo menekan Gubernur dan Bupati-Walikota untuk mempercepat serapan anggaran?

Pemimpin adalah contoh, suritauladan bagi mereka yang ia pimpin. Dan, Joko Widodo, dalam konteks penyerapan anggaran, belum patut dijadikan contoh. Ini dilema kepemimpinan di negeri kita. Bahwa dalam penyerapan anggaran, banyak kendala, beragam hambatan, serta bervariasi tantangan, semua itu adalah bagian dari tugas seorang pemimpin untuk menemukan solusi. Tiap provinsi memiliki karakter yang berbeda, hingga berbeda pula tantangan yang dihadapi pemimpin provinsi yang bersangkutan.

Wapres Jusuf Kalla bersama Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan. Pemerintah pusat menekan kepala daerah untuk segera mencairkan dana dekonsentrasi yang dibutuhkan warga. Luhut Panjaitan bahkan mengancam, pemerintah pusat siap menjatuhkan sanksi bagi kepala daerah yang tak patuh. Luhut di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat (10/7/2015), mengungkapkan, dengan ancaman itu, sejumlah kepala daerah mulai mencairkan anggaran dana dekonsentrasi sebesar Rp 250 triliun. Sebelumnya, anggaran itu hanya terserap 0,9 persen. Foto: kompas.com

Pemerintah Pusat Ancam Daerah

Joko Widodo, ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, tentulah tahu bahwa serapan APBD DKI Jakarta hingga akhir tahun 2014, hanya di kisaran 30 persen. Luhut Binsar Panjaitan, yang kini menjadi Kepala Staf Kepresidenan pemerintahan Joko Widodo, mestinya juga tahu rendahnya serapan anggaran APBD DKI Jakarta tersebut. Ia sebelumnya Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, kemudian mengundurkan diri dari Partai Golkar pada Rabu (21/5/2014), untuk mendukung Joko Widodo menjadi Presiden.

Setelah Joko Widodo menjadi Presiden dan Luhut Binsar Panjaitan, menjadi Kepala Staf Kepresidenan pemerintahan Joko Widodo, atas nama Pemerintah Pusat, ia menekan pemerintah daerah agar mempercepat serapan anggaran. Bukan hanya menekan. Luhut Binsar Panjaitan[4] mengatakan, pemerintah pusat akan menindak tegas pemerintah daerah yang tak segera mencairkan dana transfer daerah. Inikah model relasi kepemimpinan Pemerintah Pusat dengan pemimpin Pemerintah Daerah, yang hendak dicontohkan pemerintahan Joko Widodo?

Mekanisme akan menindak tegas, barangkali mengingatkan kita pada ucapan Presiden Suharto dalam suatu perjalanan dari luar negeri, akan saya gebuk[5]. Itu ucapan seorang otoriter, yang tentu saja sudah anyir dan basi di era reformasi ini. Tapi, itulah yang terjadi. Itulah yang diucapkan petinggi negeri ini. Itu perilaku Istana Negara kepada Pemimpin Daerah. Padahal, pemimpin daerah, dalam hal ini Gubernur dan Bupati-Walikota, tidak dipilih oleh Istana Negara. Mereka menjadi Pemimpin Daerah, bukan karena Joko Widodo, juga bukan karena Luhut Binsar Panjaitan.

Mereka menjadi Pemimpin Daerah, karena dipilih secara legitimasi oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Bukankah ketika Joko Widodo menjadi Pemimpin Daerah, menjadi Gubernur DKI Jakarta, serapan APBD DKI Jakarta hingga akhir tahun 2014, hanya di kisaran 30 persen? Karena belum mampu memberikan contoh yang baik, ya berkomunikasilah dengan baik.

Kepadatan lalu lintas saat jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto ke arah Slipi dan di jalan tol ke arah Cawang di depan Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (13/7/2015). Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo pada hari itu di Jakarta, mengemukakan, penyerapan anggaran infrastruktur pada kementerian dan lembaga hingga Juni 2015 masih sangat rendah, berkisar 6-8 persen dari total anggaran. Pemerintah segera menerbitkan kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur strategis dalam bentuk peraturan presiden. Foto: print.kompas.com

Dominasi Pusat vs Otonomi Daerah

Model kepemimpinan Pusat dengan akan menindak tegas tersebut, menjadi cermin untuk kita semua bahwa sesungguhnya konsolidasi antara Pusat dan Daerah, belum sepenuhnya tuntas. Ego Pusat dan Ego Daerah kerap berbenturan, yang berdampak pada tidak bergulirnya program untuk menyejahterakan rakyat. Pada program Dana Desa, misalnya, nampak jelas betapa semrawutnya alur birokrasi antara Pusat dan Daerah, yang membuat proses aliran dana tersebut bertele-tele dan berkepanjangan[6].

Sebaliknya, permohonan Daerah kepada Pusat, dalam konteks bagi hasil sumber daya alam, juga penuh lika-liku, yang sebagian besar hanya menghasilkan sejumlah kekecewaan Daerah[7]. Bagi hasil yang berkeadilan menggema di mana-mana tapi yang kemudian menikmati tetap saja para pebisnis yang datang dari Pusat, yang memiliki akses dengan Pusat. Kalangan pelaku usaha di Daerah, seringkali hanya dilibatkan sebagai pelengkap semata. Kasarnya, pengusaha daerah hanya menjadi perpanjangan tangan orang-orang Pusat.

Realitas tersebut tentulah menimbulkan kejengkelan dari mereka yang berada di Daerah. Kejengkelan itu menjalar ke mana-mana, juga merasuki mereka yang berada di lingkaran Pemimpin Daerah. Apalagi, cukup sering kita dengar penilaian orang-orang Pusat yang cenderung memandang minor pada Daerah. Dalam konteks sosial-ekonomi, hal tersebut tidak bisa dipandang remeh. Pertumbuhan ekonomi Kalimantan yang hanya 1 persen pada kuartal I-2015, misalnya, tentulah menimbulkan guncangan terhadap Pemimpin Daerah di pulau yang sangat kaya tersebut.

Padahal, mereka sebagai Pemimpin Daerah, telah bertahun-tahun mengawal investasi Pusat yang berada di wilayah mereka. Permohonan mereka untuk mendapatkan bagi hasil yang berkeadilan kepada Pemerintah Pusat, berhadapan dengan jaring birokrasi yang alangkah rapatnya. Semua itu, sedikit atau banyak, telah menyurutkan spirit para Pemimpin Daerah untuk seiring-seirama dengan kehendak yang sudah digariskan Pusat. Untuk mencairkan relasi Pusat dan Daerah, dibutuhkan kepemimpinan yang santun, bukan dengan akan menindak tegas.

Jakarta, 14 Juli 2015

-----------------------------

Kenapa daerah yang kaya-raya seperti Kalimantan, pertumbuhan ekonominya hanya 1 persen? Sudah adilkah bagi hasil industri yang mereka terima?

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/irman-gusman-ingin-semua-daerah-berkembang-sesuai-potensi-dan-dapat-bagi-hasil-yang-adil_558b7185729373c5072813f5

--------------------------

[1] Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro mengungkapkan, para pejabat di daerah takut dikriminalisasi terjerat korupsi, karena banyak aturan yang tak jelas. Akibatnya, uang Rp 255 triliun mengendap di daerah dan tak dipergunakan seperti selayaknya. Selengkapnya, silakan baca Pemerintah Bakal Buat Peraturan agar Dana Rp 255 Triliun Tak Menganggur, yang dilansir kompas.com, pada Senin, 13 Juli 2015 | 20:24 WIB.

[2] Jelang akhir tahun atau triwulan ketiga, serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI 2014 yang nilainya Rp 72,9 triliun, belum mencapai 30 persen. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta, Endang Widjajanti. Padahal, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menargetkan penyerapan anggaran mencapai 97 persen. Hal itu diungkapkan Endang Widjajanti di Ruang Pola Bappeda DKI Jakarta, pada Selasa (16/9/2014).

[3] A. Tony Prasetiantono adalah salah seorang dari 11 pengamat ekonomi yang menemui Presiden. Menurut A. Tony Prasetiantono, satu-satunya yang bisa diharapkan adalah pemerintah pusat dan daerah dapat disiplin membelanjakan APBN dan APBD. Namun, yang terjadi sekarang, serapan dana rendah sekali. Selengkapnya, silakan baca Mengungkit Dana Mengendap yang dilansir print.kompas.com, pada Senin, (13/7/2015).

[4] Menurut Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah akan melakukan berbagai hal agar pemerintah daerah segera melakukan pencairan. ‎Dari mulai cara sederhana, seperti meminta langsung melalui telepon, hingga ancaman perubahan anggaran di tahun selanjutnya. Luhut mengatakan hal itu usai mendampingi Presiden Jokowi bertemu dengan utusan khusus Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, Hiroto Izumi, di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, pada Jumat, 10 Juli 2015. Selengkapnya, bisa dibaca Dana Transfer Mengendap, Pemerintah Pusat Ancam Daerah, yang dilansir tempo.co, pada Jumat, 10 Juli 2015 | 14:20 WIB.

[5] Menurut Presiden Soeharto, jika rakyat menghendakinya mundur sesuai dengan konstitusi, keputusan itu akan ia terima dengan baik. Tapi, harus konstitusional. "Kalau tidak melewati itu, seperti waktu saya katakan di pesawat dulu, biar saya gebuk. Karena melanggar konstitusi," kata Pak Harto dalam temu wicara dengan para calon jamaah haji, seusai meresmikan Asrama Haji Donohudan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Yang dimaksud Pak Harto di pesawat dulu adalah ucapannya di pesawat dalam penerbangan ke Jakarta, ketika ia pulang dari lawatan ke Yugoslavia dan Uni Soviet pada September 1989.

[6] Program satu miliar rupiah untuk satu desa, mendapat tanggapan dari masyarakat. Banyak kalangan menilai, program tersebut jika memakai tenaga pendamping dapat menimbulkan persoalan baru di daerah. Bahkan, menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, hingga saat ini, masih banyak desa yang belum mengajukan perencanaan anggaran tersebut. Tjahjo mengatakan hal itu kepada wartawan di Gedung Sindo, Jakarta Pusat, pada Kamis (25/6/2015).

[7] Untuk memperjelas transparansi dalam penghitungan dan bagi hasil minyak dan gas bumi dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten Muara Enim melalui Dinas Pendapatan Daerah Muara Enim, mengadakan workshop penghitungan hasil produksi migas dan minerba bagi penerimaan daerah Kabupaten dan Kota Se-Sumatera Selatan Tahun 2015 di Gedung Kesenian Putri Dayang Rindu, Muara Enim, pada Rabu (15/4/2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun