Joko Widodo, ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, tentulah tahu bahwa serapan APBD DKI Jakarta hingga akhir tahun 2014, hanya di kisaran 30 persen. Luhut Binsar Panjaitan, yang kini menjadi Kepala Staf Kepresidenan pemerintahan Joko Widodo, mestinya juga tahu rendahnya serapan anggaran APBD DKI Jakarta tersebut. Ia sebelumnya Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, kemudian mengundurkan diri dari Partai Golkar pada Rabu (21/5/2014), untuk mendukung Joko Widodo menjadi Presiden.
Setelah Joko Widodo menjadi Presiden dan Luhut Binsar Panjaitan, menjadi Kepala Staf Kepresidenan pemerintahan Joko Widodo, atas nama Pemerintah Pusat, ia menekan pemerintah daerah agar mempercepat serapan anggaran. Bukan hanya menekan. Luhut Binsar Panjaitan[4] mengatakan, pemerintah pusat akan menindak tegas pemerintah daerah yang tak segera mencairkan dana transfer daerah. Inikah model relasi kepemimpinan Pemerintah Pusat dengan pemimpin Pemerintah Daerah, yang hendak dicontohkan pemerintahan Joko Widodo?
Mekanisme akan menindak tegas, barangkali mengingatkan kita pada ucapan Presiden Suharto dalam suatu perjalanan dari luar negeri, akan saya gebuk[5]. Itu ucapan seorang otoriter, yang tentu saja sudah anyir dan basi di era reformasi ini. Tapi, itulah yang terjadi. Itulah yang diucapkan petinggi negeri ini. Itu perilaku Istana Negara kepada Pemimpin Daerah. Padahal, pemimpin daerah, dalam hal ini Gubernur dan Bupati-Walikota, tidak dipilih oleh Istana Negara. Mereka menjadi Pemimpin Daerah, bukan karena Joko Widodo, juga bukan karena Luhut Binsar Panjaitan.
Mereka menjadi Pemimpin Daerah, karena dipilih secara legitimasi oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Bukankah ketika Joko Widodo menjadi Pemimpin Daerah, menjadi Gubernur DKI Jakarta, serapan APBD DKI Jakarta hingga akhir tahun 2014, hanya di kisaran 30 persen? Karena belum mampu memberikan contoh yang baik, ya berkomunikasilah dengan baik.
Dominasi Pusat vs Otonomi Daerah
Model kepemimpinan Pusat dengan akan menindak tegas tersebut, menjadi cermin untuk kita semua bahwa sesungguhnya konsolidasi antara Pusat dan Daerah, belum sepenuhnya tuntas. Ego Pusat dan Ego Daerah kerap berbenturan, yang berdampak pada tidak bergulirnya program untuk menyejahterakan rakyat. Pada program Dana Desa, misalnya, nampak jelas betapa semrawutnya alur birokrasi antara Pusat dan Daerah, yang membuat proses aliran dana tersebut bertele-tele dan berkepanjangan[6].
Sebaliknya, permohonan Daerah kepada Pusat, dalam konteks bagi hasil sumber daya alam, juga penuh lika-liku, yang sebagian besar hanya menghasilkan sejumlah kekecewaan Daerah[7]. Bagi hasil yang berkeadilan menggema di mana-mana tapi yang kemudian menikmati tetap saja para pebisnis yang datang dari Pusat, yang memiliki akses dengan Pusat. Kalangan pelaku usaha di Daerah, seringkali hanya dilibatkan sebagai pelengkap semata. Kasarnya, pengusaha daerah hanya menjadi perpanjangan tangan orang-orang Pusat.
Realitas tersebut tentulah menimbulkan kejengkelan dari mereka yang berada di Daerah. Kejengkelan itu menjalar ke mana-mana, juga merasuki mereka yang berada di lingkaran Pemimpin Daerah. Apalagi, cukup sering kita dengar penilaian orang-orang Pusat yang cenderung memandang minor pada Daerah. Dalam konteks sosial-ekonomi, hal tersebut tidak bisa dipandang remeh. Pertumbuhan ekonomi Kalimantan yang hanya 1 persen pada kuartal I-2015, misalnya, tentulah menimbulkan guncangan terhadap Pemimpin Daerah di pulau yang sangat kaya tersebut.
Padahal, mereka sebagai Pemimpin Daerah, telah bertahun-tahun mengawal investasi Pusat yang berada di wilayah mereka. Permohonan mereka untuk mendapatkan bagi hasil yang berkeadilan kepada Pemerintah Pusat, berhadapan dengan jaring birokrasi yang alangkah rapatnya. Semua itu, sedikit atau banyak, telah menyurutkan spirit para Pemimpin Daerah untuk seiring-seirama dengan kehendak yang sudah digariskan Pusat. Untuk mencairkan relasi Pusat dan Daerah, dibutuhkan kepemimpinan yang santun, bukan dengan akan menindak tegas.
Jakarta, 14 Juli 2015