Ya, bagaimana kita pulang? Bagaimana kita menempatkan diri di sepanjang perjalanan hingga tiba di kampung halaman? Kota telah membentuk kita menjadi orang yang cekatan dan penuh perhitungan. Kota telah menjadikan kita sebagai sosok yang paham akan pentingnya waktu, betapa berharganya kesempatan. Di sisi lain, kota juga telah turut mengikis sebagian dari rasa kebersamaan. Kota telah membiasakan kita hidup dengan kekurangpedulian, dengan dalih tak hendak mencampuri urusan orang lain.
Maka, sadar atau tidak, kita telah menempatkan diri menjadi orang yang lebih terdidik, lebih bermartabat. Maka, dengan mudah kita menggerutu, bahkan menyumpahi, mereka yang menyeberang jalan sembarangan. Sementara, kita sesungguhnya juga kerap menghentikan kendaraan serampangan di badan jalan, mengganggu pengguna jalan yang lain. Kita dengan gigih menawar dagangan para pedagang yang menawarkan dagangan mereka di tepi jalan. Sementara, kita nyaris memasrahkan diri didikte para pebisnis di mall dan superstore, yang menetapkan harga sesuka mereka.
Adilkah kita pada sikap kita sendiri? Kenapa kita dengan gagah berani menekan harga pada pedagang di tepi jalan, sementara kita hanya berdiam diri menghadapi pebisnis besar? Dengan keterbatasan pengetahuan dan minimnya pengalaman, para pedagang di sepanjang perjalanan pulang, barangkali belum paham tentang prizing strategy. Mereka menetapkan harga berdasarkan naluri semata. Kalkulasi bisnis, biaya penyusutan, prizing based on production, dan prizing based on market mungkin belum menjadi bagian dari pertimbangan mereka.
Apakah karena gap pengetahuan tersebut, kita bisa dengan seenaknya berkata, masak sih harga mangga di sini bisa lebih mahal dari di supermarket? Sebagai konsumen, kita memang punya hak untuk ngedumel, bahkan menggerutu. Namun, setelah berpuasa ramadhan, di tengah perjalanan pulang menyambut lebaran, rasanya kurang elok bila kita mengomeli saudara-saudara kita yang menjajakan dagangan mereka di tepi jalan. Mungkin baiknya kita berdiam diri saja, sebagaimana halnya sikap kita menghadapi para pebisnis besar yang menetapkan harga semau mereka, daripada melukai hati saudara-saudara kita tersebut.
Arus Uang ke Kampung Halaman
Gerakan arus pulang ke kampung halaman, bukan hanya orang dan barang, tapi juga uang, tentunya. Pada lebaran tahun lalu, Kementerian Perhubungan memperkirakan, perputaran uang selama arus mudik dan libur lebaran 2014, mencapai 15 triliun rupiah[4]. Ini tentulah angka yang sangat fantastis. Ini merupakan hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan. Uang dari kota bergerak menuju desa-desa, berputar di sana dan turut menggerakkan roda ekonomi di pedesaan. Dalam konteks ini, gerakan pulang kampung adalah juga bagian dari upaya menyejahterakan masyarakat, yang selama ini tidak menjadi bagian dari putaran uang.
Maklum, uang memang lebih banyak beredar di kota-kota besar, khususnya di kota-kota yang menjadi pusat bisnis. Misalnya, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar. Hingga pekan ketiga ramadan dan sepekan menjelang lebaran tahun 2015 ini, Bank Indonesia mencatat, uang kas yang keluar dari bank sentral telah mencapai Rp 99 triliun[5]. Meski peredaran uang dan denyut nadi ekonomi selama lebaran belum merata secara nasional, tapi dampak positifnya sudah bisa dirasakan oleh masyarakat di luar kota-kota besar tersebut.
Proklamator kita, Mohammad Hatta, sesungguhnya sangat ingin agar peredaran uang, yang berarti denyut nadi ekonomi, getarnya terasa hingga ke seluruh pelosok tanah air. Bukan hanya terpusat di beberapa kota saja. Karena itulah, Bung Hatta dengan gencar mengarahkan aktivitas ekonomi negeri ini berbasis koperasi. Bukan usaha orang per orang atau kelompok per kelompok saja. Namun, gerakan koperasi yang sesungguhnya merupakan gerakan ekonomi berbasis rakyat tersebut, tak kunjung tumbuh secara signifikan.
Maka, pada kesempatan pulang kampung berlebaran ini, berbelanjalah di desa-desa. Baik di toko-toko kecil sepanjang jalan, maupun di warung-warung kelas desa. Dengan melakukan transaksi secara langsung dengan masyarakat desa, sesungguhnya kita telah turut men-support mereka, yang berjuang untuk bangkit. Bila ada kesempatan ke pasar, berbelanjalah di pasar-pasar desa. Tak ada salahnya juga membeli mainan anak-anak tradisional yang dijual di kampung halaman. Membeli hasil jerih-payah mereka, sama artinya kita telah turut menyeka peluh saudara-saudara kita di pedesaan.
Jakarta, 13 Juli 2015