Beberapa hari lagi, lebaran menjelang. Berdasarkan riset yang dihimpun Balitbang Kementerian Perhubungan, Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, mengatakan, perkiraan jumlah penumpang pada musim mudik lebaran 2015, kurang lebih 20 juta penumpang. Menurut Jonan, perkiraan jumlah penumpang angkutan darat justru menurun sekitar lima persen, dari lebaran 2014. Foto: print.kompas.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Sebagian dari kita mungkin sedang packing, bersiap mudik. Sebagian lagi, barangkali sudah di perjalanan. Sekadar mengingatkan, masih cukup banyak saudara kita yang tertatih-tatih di jalanan, berjuang untuk sesuap nasi[1]. Mereka adalah bagian dari kita, yang tidak seberuntung kita.
Ada yang tak mudah diungkapkan selain maaf, karena sesungguhnya kita punya rasa yang sama. Berbulan-bulan di perantauan, maka lebaran adalah saat yang tepat untuk pulang. Kembali ke kampung halaman, bertatap-muka dengan kerabat serta menyusuri jejak masa lampau yang tak mungkin terlupakan. Suasana mungkin sudah berubah, tapi kampung halaman adalah bagian yang tak sepenuhnya bisa punah oleh gemerlapnya kota.
Mengapa Kita Pulang
Ya, mengapa kita pulang? Ada berjuta alasan dari berjuta mereka yang tergerak menyambangi kampung halaman. Ada yang pulang, karena ingin bersimpuh di kaki orangtua, yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Pahit-getirnya perjuangan hidup di kota, telah turut menyadarkan banyak orang, betapa luar biasanya kasih-sayang orangtua kepada kita. Tanpa kesungguhan orangtua menyayangi serta mendidik kita, tak mungkin rasanya kita bisa sampai di posisi yang sekarang kita jalani.
Ada yang pulang, karena dada ini penuh sesak dengan kerinduan untuk berkumpul dengan keluarga besar, yang selama ini hidup terpencar di berbagai kota di tanah air. Bahkan, ada yang terpencar sampai ke negeri lain, demi menyambung napas kehidupan. Pada saat lebaran, di hari-hari lebaran, ada titik-temu untuk bersua bersama, menyatukan rasa di kampung halaman. Momentum itulah yang rasanya tak sanggup digantikan oleh perangkat teknologi, bahkan oleh ribuan gambar melalui instagram dan berjuta kata di laman facebook[2].
Ada yang pulang, karena ada anak-anak yang telah lahir dan tumbuh di kota. Mereka mulai menghirup napas di rumah bersalin dan turut menghirup napas dari knalpot hiruk-pikuk perkotaan. Mereka sama sekali belum tersentuh lumpur sawah dan kulit mereka masih mulus karena tak sempat tergores ilalang. Mereka dibawa pulang, agar mereka bersentuhan dengan jejak masa lampau orangtua masing-masing. Agar mereka memiliki keterikatan batin. Agar mereka tak sepenuhnya lepas dari akar budaya, yang telah melahirkan ayahbunda mereka[3].
Ada yang pulang, karena di kampung halaman, di salah satu ujung desa, sudah terpancang nisan orangtua. Ke sana, ke batu nisan yang tak bersuara, mereka bersimpuh bersama air mata. Di sana, maaf tak lagi berjawab. Mereka bersandar pada doa, memohon pada Ilahi, demi kelapangan orangtua di alam sana. Meski maaf sudah berjawab, segala doa telah meredam segenap sesak di dada. Air mata telah meluruhkan sebagian dari sesal, karena belum sempat berbakti pada orangtua.
Bagaimana Kita Pulang
Ya, bagaimana kita pulang? Bagaimana kita menempatkan diri di sepanjang perjalanan hingga tiba di kampung halaman? Kota telah membentuk kita menjadi orang yang cekatan dan penuh perhitungan. Kota telah menjadikan kita sebagai sosok yang paham akan pentingnya waktu, betapa berharganya kesempatan. Di sisi lain, kota juga telah turut mengikis sebagian dari rasa kebersamaan. Kota telah membiasakan kita hidup dengan kekurangpedulian, dengan dalih tak hendak mencampuri urusan orang lain.
Maka, sadar atau tidak, kita telah menempatkan diri menjadi orang yang lebih terdidik, lebih bermartabat. Maka, dengan mudah kita menggerutu, bahkan menyumpahi, mereka yang menyeberang jalan sembarangan. Sementara, kita sesungguhnya juga kerap menghentikan kendaraan serampangan di badan jalan, mengganggu pengguna jalan yang lain. Kita dengan gigih menawar dagangan para pedagang yang menawarkan dagangan mereka di tepi jalan. Sementara, kita nyaris memasrahkan diri didikte para pebisnis di mall dan superstore, yang menetapkan harga sesuka mereka.
Adilkah kita pada sikap kita sendiri? Kenapa kita dengan gagah berani menekan harga pada pedagang di tepi jalan, sementara kita hanya berdiam diri menghadapi pebisnis besar? Dengan keterbatasan pengetahuan dan minimnya pengalaman, para pedagang di sepanjang perjalanan pulang, barangkali belum paham tentang prizing strategy. Mereka menetapkan harga berdasarkan naluri semata. Kalkulasi bisnis, biaya penyusutan, prizing based on production, dan prizing based on market mungkin belum menjadi bagian dari pertimbangan mereka.
Apakah karena gap pengetahuan tersebut, kita bisa dengan seenaknya berkata, masak sih harga mangga di sini bisa lebih mahal dari di supermarket? Sebagai konsumen, kita memang punya hak untuk ngedumel, bahkan menggerutu. Namun, setelah berpuasa ramadhan, di tengah perjalanan pulang menyambut lebaran, rasanya kurang elok bila kita mengomeli saudara-saudara kita yang menjajakan dagangan mereka di tepi jalan. Mungkin baiknya kita berdiam diri saja, sebagaimana halnya sikap kita menghadapi para pebisnis besar yang menetapkan harga semau mereka, daripada melukai hati saudara-saudara kita tersebut.
Arus Uang ke Kampung Halaman
Gerakan arus pulang ke kampung halaman, bukan hanya orang dan barang, tapi juga uang, tentunya. Pada lebaran tahun lalu, Kementerian Perhubungan memperkirakan, perputaran uang selama arus mudik dan libur lebaran 2014, mencapai 15 triliun rupiah[4]. Ini tentulah angka yang sangat fantastis. Ini merupakan hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan. Uang dari kota bergerak menuju desa-desa, berputar di sana dan turut menggerakkan roda ekonomi di pedesaan. Dalam konteks ini, gerakan pulang kampung adalah juga bagian dari upaya menyejahterakan masyarakat, yang selama ini tidak menjadi bagian dari putaran uang.
Maklum, uang memang lebih banyak beredar di kota-kota besar, khususnya di kota-kota yang menjadi pusat bisnis. Misalnya, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar. Hingga pekan ketiga ramadan dan sepekan menjelang lebaran tahun 2015 ini, Bank Indonesia mencatat, uang kas yang keluar dari bank sentral telah mencapai Rp 99 triliun[5]. Meski peredaran uang dan denyut nadi ekonomi selama lebaran belum merata secara nasional, tapi dampak positifnya sudah bisa dirasakan oleh masyarakat di luar kota-kota besar tersebut.
Proklamator kita, Mohammad Hatta, sesungguhnya sangat ingin agar peredaran uang, yang berarti denyut nadi ekonomi, getarnya terasa hingga ke seluruh pelosok tanah air. Bukan hanya terpusat di beberapa kota saja. Karena itulah, Bung Hatta dengan gencar mengarahkan aktivitas ekonomi negeri ini berbasis koperasi. Bukan usaha orang per orang atau kelompok per kelompok saja. Namun, gerakan koperasi yang sesungguhnya merupakan gerakan ekonomi berbasis rakyat tersebut, tak kunjung tumbuh secara signifikan.
Maka, pada kesempatan pulang kampung berlebaran ini, berbelanjalah di desa-desa. Baik di toko-toko kecil sepanjang jalan, maupun di warung-warung kelas desa. Dengan melakukan transaksi secara langsung dengan masyarakat desa, sesungguhnya kita telah turut men-support mereka, yang berjuang untuk bangkit. Bila ada kesempatan ke pasar, berbelanjalah di pasar-pasar desa. Tak ada salahnya juga membeli mainan anak-anak tradisional yang dijual di kampung halaman. Membeli hasil jerih-payah mereka, sama artinya kita telah turut menyeka peluh saudara-saudara kita di pedesaan.
Jakarta, 13 Juli 2015
---------------------------
[1] Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2014 mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen. Bank Dunia menyatakan bahwa ukuran miskin atau tidak adalah pengeluaran dua dollar Amerika Serikat per hari per orang. Dewan Pembina Yayasan Institute Bisnis Indonesia, Kwik Kian Gie, mengatakan, jika kriteria ini yang dipakai, maka 50 persen dari rakyat Indonesia, miskin. Hal itu ia ungkapkan dalam seminar Ironi Pembangunan Ekonomi Indonesia, Kesenjangan Sosial Melebar di Jakarta, pada Rabu (18/3/2015).
[2] Menurut Jason Tedjasukmana, yang mengelola komunikasi Google Indonesia, perangkat teknologi tidak seutuhnya bisa menggantikan kualitas komunikasi tatap muka. Karena itu, rapat dengan sesama anggota tim Google Indonesia di Jakarta, tetap dilakukan dengan tatap muka, bukan dengan video conference
[3] Dalam konteks ini, kita bisa melihat langkah yang ditempuh Dewi Fortuna Anwar. Alumnus program doktoral Monash University, Australia, ini, justru memilih menyekolahkan anaknya semasa sekolah menengah di Padang, Sumatera Barat, meski Dewi berkarir di Jakarta. Kini, Dewi menjadi Deputi Sekretaris Wakil Presiden Jusuf Kalla Bidang Politik. Ayahnya, Prof. Dr. Khaidir Anwar, MA. adalah seorang ahli sosiolinguistik yang pada masa itu menjadi Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Dengan demikian, dengan tinggal bersama sang kakek, anak Dewi tetap lekat dengan budaya Minang, yang menjadi akar budaya keluarga tersebut.
[4] Perhitungan ini dengan asumsi rata-rata setiap orang pemudik membawa sekitar Rp 800.000 hingga 1 juta rupiah ke kampung halamannya. Berdasarkan hasil survei itu, perputaran uang tujuan mudik paling banyak di Jawa Tengah, yakni mencapai 4,44 triliun rupiah, disusul Jawa Barat 3,24 triliun rupiah, Jawa Timur 2,5 triliun rupiah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 835 miliar rupiah, Sumatra Utara 785 miliar rupiah, dan Sulawesi Selatan 543 miliar rupiah.
[5] Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Tirta Segara, dari uang tunai yang keluar sebanyak Rp 99 triliun itu, sebanyak Rp 61 triliun beredar di Pulau Jawa. Dari jumlah Rp 61 triliun itu, sebanyak 29%-30% beredar di Jakarta. Uang tunai yang beredar di Sumatera mencapai Rp 20 triliun. Sementara uang tunai yang telah keluar dan beredar di Bali dan Indonesia Timur telah mencapai Rp 11 triliun. Untuk uang tunai yang beredar di Kalimantan telah mencapai Rp 7 triliun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H