Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jokowi Minta Pengusaha Berinovasi, Pengusaha Minta Jokowi Evaluasi Tiap Kebijakan

12 Juli 2015   05:17 Diperbarui: 12 Juli 2015   05:17 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo memberikan gambaran makro ekonomi Indonesia dalam silaturahmi dengan dunia usaha di Jakarta Convention Center, Kamis (9/7/2015). Presiden akan segera menerbitkan peraturan presiden untuk percepatan penyerapan anggaran. Di dalam aturan itu, akan ada pembentukan satuan tugas yang berwenang mempersingkat sejumlah aturan yang dianggap menghambat realisasi proyek pembangunan. Foto: kompas.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Dalam silaturahim Joko Widodo dengan dunia usaha Presiden Menjawab Tantangan Ekonomi pada Kamis (9/7/2015), Presiden meminta para pengusaha melakukan inovasi.[1] Jangan buru-buru menaikkan harga barang dan jasa. Jangan buru-buru melakukan pemutusan hubungan kerja. Apa reaksi pengusaha?

Esoknya, pada Jumat (10/7/2015), Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, meminta Presiden melakukan evaluasi dan validasi terhadap tiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi[2]. Di tengah perlambatan ekonomi seperti ini, memang sudah sepatutnya pemerintahan Jokowi dan kalangan pengusaha, sama-sama saling mengoreksi dan saling mengevaluasi. Pemerintah dan pengusaha toh sama-sama tahu bahwa ekonomi Indonesia terus melambat. Daya beli masyarakat, terus melemah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, terus merosot. Jokowi bukan hanya mengakui hal itu, Presiden bahkan dengan berturut-turut, dalam rentang waktu yang relatif singkat, menurunkan target pertumbuhan ekonomi: dari 5,7 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen, kemudian diturunkan lagi menjadi 5,2 persen.

Kebijakan Jokowi, Hasil Kebijakan Jokowi  

Penurunan target pertumbuhan ekonomi yang beruntun tersebut, sesungguhnya merupakan hal yang buruk bagi pemerintahan Jokowi. Hal itu memperlihatkan kepada publik dalam negeri dan dunia internasional, bahwa Jokowi tak cukup percaya diri untuk menumbuhkan ekonomi negeri ini. Dalam konteks kepemimpinan, menyalahkan para menteri ekonomi yang tidak perform, justru nampak sebagai aksi ngeles dan buang badan semata.

Bukankah Jokowi yang memilih para menteri, Jokowi yang memimpin para menteri, dan Jokowi pula yang mengarahkan para menteri, mengacu pada garis kebijakan yang ditetapkan Jokowi. Artinya, tidak tercapainya pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015, yang hanya 4,71 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2014 yang 4,89 persen, menunjukkan bahwa kebijakan Jokowi memang patut dievaluasi.

Bila dikorelasikan dengan penurunan target pertumbuhan ekonomi yang beruntun tersebut, barangkali apa yang diungkapkan Suryo Bambang Sulisto di atas, patut kita cermati bersama. Sedikit atau banyak, kondisi ekonomi sekarang ini, tentulah merupakan hasil dari kebijakan Jokowi. Secara artikulasi, Jokowi boleh saja mengatakan bahwa ia yakin dengan kebijakan yang telah ia gariskan. Tapi, publik dalam negeri dan dunia internasional toh tidak bodoh untuk mencermati realitas yang telah terjadi.

Syafii Maarif[3], misalnya. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut secara blak-blakan mengatakan, perekonomian Indonesia melambat, produk domestik menurun, harga sejumlah komoditas juga turun. Kondisi itu telah memicu pengangguran yang luar biasa. Gleen Maguire[4], juga tak kalah blak-blakan. Menurut Chief Economist ANZ Bank for Asia Pacific itu, perekonomian Indonesia berubah dari menggembirakan menjadi bermasalah. "Kami tidak memiliki tingkat kepercayaan bahwa kelanjutan pertumbuhan sudah mencapai dasarnya pada kuartal I. Indeks harga konsumen Indonesia membukukan penurunan yang signifikan," kata Gleen Maguire lebih detail.

Presiden Joko Widodo bertemu dengan para pengusaha properti yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI). Ini terkait dengan rencana pemerintah dalam program pembangunan satu juta rumah. Pertemuan tersebut berlangsung tertutup di Istana Merdeka, Jakarta, dari pukul 10.30 WIB hingga 12.00 WIB, pada‎ Selasa (23/6/2015). Jokowi ditemani Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono. Foto: detik.com

Semakin Siap? Benarkah Semakin Siap?

Dalam acara silaturahim Presiden dengan dunia usaha yang bertajuk Presiden Menjawab Tantangan Ekonomi, yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta Convention Center, pada Kamis (9/7/2015) tersebut, Jokowi mengatakan, ”Kalau saya, pahit, ya, saya bilang pahit. Kalau manis, ya, saya bilang manis. Kita sekarang menghadapi tantangan ekonomi yang fundamental. Namun, saya yakin pemerintah semakin siap menghadapi tantangan tersebut.”

Semakin siap? Benarkah semakin siap? Dari realitas di atas, yang nyata adalah bahwa justru kebijakan Jokowi kedodoran, salah satunya ditandai dengan penurunan target pertumbuhan ekonomi yang beruntun: dari 5,7 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen, kemudian diturunkan lagi menjadi 5,2 persen. Kedodoran itu bukan hanya nyata pada tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 dan diturunkannya target pertumbuhan ekonomi secara beruntun, tapi juga kedodoran dalam target pengumpulan pajak.

Sampai dengan awal pekan Juni 2015, penerimaan pajak baru Rp 431 triliun atau 33 persen dari target. Padahal, Jokowi menargetkan realisasi pada semester I-2015 adalah sebesar 40 persen. Ini setidaknya mencerminkan lemahnya fungsi koordinasi dalam pemerintahan Jokowi. Mulai dari mekanisme menetapkan target, menyusun berbagai aturan terkait, hingga eksekusi di lapangan. Para menteri yang kabarnya profesional, tentulah secara profesional pula melakukan semua itu.

Benarkah profesional? Benarkah siap? Sekadar menyebut contoh, Jokowi memerintahkan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri, bersama Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn Masassya, pada Jumat (3/7/2015) merevisi atau mengubah bagian tertentu atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua. Padahal, PP itu ditandatangani Presiden, pada Kamis (30/6/2015). Hanya dalam tempo 4 hari, sudah direvisi. Bukan hanya kali ini saja Presiden mengubah peraturan atau keputusan yang ditetapkannya, dalam rentang waktu yang relatif singkat[5].

Presiden Joko Widodo didampingi Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo (dua dari kiri), Ketua Ororitas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad (kiri), dan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Darmin Nasution (kanan) saat menghadiri silaturahmi dengan dunia usaha di Jakarta Convention Center, pada Kamis (9/7/2015). Dalam acara tersebut, Presiden berdiskusi terkait tantangan ekonomi bersama 400 ekonom yang merupakan bagian dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. Foto: print.kompas.com

Kepercayaan Pasar, Konsistensi Kebijakan

Sekali lagi, publik dalam negeri dan dunia internasional tidak bodoh untuk mencermati realitas yang telah terjadi. Perilaku Presiden beserta barisan Kabinet Kerja adalah komponen untuk menciptakan kepercayaan pasar dan menumbuhkan keyakinan investor. Ini bagian dari upaya untuk menumbuhkan ekonomi nasional. Langkah Presiden mengundang sejumlah ekonom ke Istana Kepresidenan pada Senin (29/6/2015) adalah bagian dari upaya untuk menumbuhkan kepercayaan pasar yang terus melemah[6].

Acara silaturahim Presiden dengan dunia usaha yang bertajuk Presiden Menjawab Tantangan Ekonomi, yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta Convention Center, pada Kamis (9/7/2015) tersebut juga merupakan bagian dari upaya itu. Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia, Eric Alexander Sugandi, menilai pidato Presiden pada kesempatan itu hanya memberikan efek psikologis. ”Investor masih menunggu realisasi janji Presiden, bahwa kondisi perekonomian semester II akan lebih baik,” katanya.

Investor menunggu? Wah, yang dibutuhkan Indonesia adalah investor merealisasikan investasi mereka, agar perlambatan ekonomi ini tidak semakin lambat. Kenapa investor menunggu? Bukankah Presiden yakin dengan kebijakannya? Barangkali, inilah momentum untuk mencari titik-temu bersama, antara Presiden dan barisan Kabinet Kerja dengan para pengusaha. Dengan kebersamaan, mungkin akan lahir kebijakan yang terintergrasi antar sektor, hingga terbuka sejumlah peluang yang bisa menumbuhkan kepercayaan investor. Kebersamaan tersebut sangat dibutuhkan rakyat banyak.

Bahwa untuk mencapai titik-temu tersebut, Presiden dan barisan Kabinet Kerja harus melakukan evaluasi dan validasi terhadap tiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi, itu adalah konsekuensi bersama. Demikian pula sebaliknya, kalangan pengusaha harus mengevaluasi kebijakan agar tak buru-buru menaikkan harga dan tak buru-buru pula melakukan pemutusan hubungan kerja. Singkronisasi dan harmonisasi kebijakan pemerintah dan kebijakan pengusaha adalah komponen penting bagi perbaikan bangsa ini.

Jakarta, 12 Juli 2015

---------------------------

Memang, ada yang mendesakkan reshuffle kabinet. Ada pula yang mendesakkan diri untuk masuk kabinet. Kekuasaan ibarat candu, yang membuat sebagian orang ketagihan untuk berkuasa:

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/reshuffle-kabinet-profesional-tak-mampu-dongkrak-kepercayaan-pasar_55985bfabd22bdde06c38953

--------------------------

[1] Menurut Presiden Joko Widodo, kurs rupiah yang melemah, tidak harus dihadapi dengan langsung menaikkan harga barang, tetapi dilakukan dengan mengubah sistem distribusi, sistem produksi, dan perubahan desain produk. Joko Widodo, dalam silaturahim Presiden Menjawab Tantangan Ekonomi, tersebut, didampingi Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Darmin Nasution. Acara berlangsung di Jakarta Convention Center, pada Kamis (9/7/2015), dihadiri sekitar 400 ekonom.

[2] Menurut Suryo Bambang Sulisto, harus ada evaluasi dan validasi setiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi. Hal ini agar kebijakan ekonomi terintegrasi, tidak jalan sendiri-sendiri, dan tidak sektoral. Selengkapnya, silakan baca Dunia Usaha Ingin Kebijakan Terintegrasi, dilansir print.kompas.com, pada Sabtu (11/7/2015).

[3] Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafii Maarif, mengadakan pertemuan sekitar 40 menit dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (29/6/2015).

[4] Menurut Gleen Maguire, perekonomian Indonesia kehilangan momentum pada kuartal I-2015. Beberapa kebijakan yang diumumkan untuk menggiatkan program infrastruktur, tampaknya tidak dapat menahan penurunan tersebut. Selengkapnya, silakan baca Pertumbuhan Ekonomi Kehilangan Momentum, dilansir print.kompas.com, pada Selasa (5/5/2015).

[5] Contoh lainnya, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Uang Muka Pembelian Kendaraan bagi Para Pejabat Tinggi Kementerian/Lembaga/Komisi. Setelah marak protes dan heboh pro-kontra, Presiden Joko Widodo segera mencabut perpres tersebut pada Rabu (6/5/2015). Masih ada lagi, Perpres No 190/2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja yang dicabut dengan penerbitan perpres untuk setiap kementerian. Demikian juga dengan Perpres No 190/2014 tentang Unit Staf Kepresidenan yang direvisi lewat Perpres No 26/2015. Juga, Perpres No 6/2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif, yang ternyata tidak jelas kelembagaannya.

[6] Presiden Joko Widodo kecewa dirinya kekurangan menteri yang bisa didengar, untuk memberikan kepastian kepada para investor dan pasar. Pengamat ekonomi, Destry Damayanti, mengibaratkan, tidak ada menteri senior, yang jika berbicara satu topik, pasar mempercayainya. Selengkapnya, silakan baca Pasar Disebut Tak Percaya Kinerja Menteri Ekonomi Jokowi, dilansir tempo.co, pada Selasa, 30 Juni 2015 | 16:36 WIB. Ekonom yang diundang pada Senin (29/6/2015): Arif Budimanta, Iman Sugema, Hendri Saparini, Djisman Simanjuntak, Anton Gunawan, Destry Damayanti, Prasetyantoko, Poltak Hotradero, Tony Prasetyantono, Lin Che Wei, dan Raden Pardede.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun