Di sisi lain, para siswa juga sudah saatnya aktif memerangi berbagai bentuk ketidakjujuran di lingkungan sekolah masing-masing[4]. Misalnya, adakah siswa yang tidak terdaftar dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru, tiba-tiba nongol sebagai murid baru? Bila hal itu terjadi, unggah saja di media sosial. Ini kan bentuk pengawasan publik, sebagai bagian dari upaya membersihkan sekolah dari berbagai praktik ketidakjujuran.
Dengan demikian, orangtua yang memaksakan diri memasukkan anak mereka ke sekolah favorit, padahal tak memenuhi syarat, bisa diminimalkan. Pemaksaan ini kerap memicu permasalahan pada penerimaan murid baru[5]. Kepala sekolah dan guru-guru yang hendak bermain di air keruh pun, bisa dicegah. Artinya, ruang gerak para perusak citra pendidikan tersebut, harus dibatasi, supaya secara bertahap, akan lahir perilaku yang jujur dari berbagai institusi pendidikan.
Selain pada musim penerimaan murid baru, perilaku ketidakjujuran yang juga kerap terjadi di lingkup sekolah adalah yang terkait dengan mutasi murid, sebagaimana yang terjadi di SMA Negeri 15 Surabaya, Jawa Timur, pada Jumat (2/1/2015). Siddiq, orangtua E. Abrar Dharmawan, berencana memindahkan anaknya dari SMA Negeri 66 Jakarta Selatan ke SMA Negeri 15 Surabaya. Karena, Siddiq pindah dinas dari Jakarta ke Surabaya.
Siddiq melaporkan, SMA Negeri 15 Surabaya mematok tarif bervariasi. Mutasi siswa dalam kota ditarif Rp 30 juta, sedangkan dari luar daerah dan luar pulau dibanderol Rp 30-40 juta. Wakil kepala sekolah tersebut, berinisial NA, akhirnya tertangkap tangan dan berurusan dengan pihak berwajib. Praktik ketidakjujuran yang demikian bisa terungkap, karena orangtua murid yang bersangkutan aktif melaporkan tindakan yang tidak terpuji itu.
Apa yang terjadi di SMA Negeri 3 Depok, SMA Negeri 1 Bogor, SMA Negeri 15 Surabaya, dan di Bandung, hanyalah beberapa contoh perilaku yang menggerogoti dunia pendidikan kita. Dari sana kita tahu, ada banyak pihak yang bermain dan memainkan peranan. Artinya, meskipun berbagai sistem pendidikan dibenahi, bila pihak-pihak yang berada dalam pusaran pendidikan masih terus mencederainya, tentulah upaya untuk pembenahan akan makin sulit dicapai.
Sudah waktunya anak-anak didik tersebut belajar dan mendapatkan contoh, betapa pentingnya memelihara nilai-nilai kejujuran[6]. Kita sudah sama-sama menyaksikan, betapa negeri ini terus-menerus terpuruk, baik dalam konteks ilmu pengetahuan maupun di bidang ekonomi. Tanpa dibentengi dengan nilai-nilai yang positif, akan sulit bagi mereka untuk menghadapi gempuran pengaruh asing, di tengah dunia yang makin tanpa sekat ini.
Jakarta, 11 Juli 2015
--------------------------
Pepatah lama: pengalaman adalah guru yang baik. Pepatah baru: guru yang baik adalah guru yang kompeten dan baik: