Presiden Joko Widodo meresmikan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang Unit 5 di Garut, Jawa Barat, Minggu (5/7/2015). PLTP Kamojang Unit 5 merupakan satu dari dua PLTP yang dikembangkan Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Geothermal Energy (PGE), dengan kapasitas 35 megawatt. PLTP lain yang dikembangkan, yakni PLTP Kamojang Unit 4 dengan kapasitas 60 megawatt. Produksi listrik pembangkit ini untuk memperkuat suplai listrik di Jawa Barat. Foto: print.kompas.com dan kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Presiden Joko Widodo meresmikan beroperasinya pembangkit listrik geothermal di Garut, Jawa Barat, pada Minggu (5/7/2015). Dengan kapasitas 35 megawatt, proyek ini secara komersial telah mengalirkan listrik kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN), sejak pukul 00.00 WIB, Senin (29/6/2015).
Pada saat yang bersamaan, PLN pun sudah mengalirkannya kepada masyarakat dan industri yang membutuhkan. Pembangkit listrik geothermal yang diresmikan itu adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang Unit 5, yang dibangun sejak September 2013. Hingga tahun 2014, geothermal yang sudah terpasang mencapai 1.350 megawatt[1]. Kesadaran untuk mengembangkan energi panas bumi ini, salah satunya, ditandai dengan dirumuskan kemudian disahkannya Undang-undang Panas Bumi tahun 2014[2].
Meyakinkan Investor, Menarik Investor
Proyek listrik panas bumi ini bisa dijadikan momentum oleh pemerintahan Jokowi, untuk lebih gencar mengembangkan pembangkit listrik yang bersumber dari panas bumi. Karena, pembangkit listrik geothermal adalah pembangkit listrik yang sangat ramah lingkungan. Dengan kata lain, kita mendapatkan energi yang berkelanjutan, tanpa harus merusak lingkungan. Saat ini, hampir 90 persen kebutuhan listrik di negeri ini mengandalkan batubara.
Kita tahu, cadangan energi dari batubara dan minyak bumi, sudah semakin menipis. Kerusakan alam akibat penambangan batubara dan minyak bumi, sudah tak terhitung banyaknya. Maka, gerakan untuk mendapatkan energi dari Energi Baru dan Energi Terbarukan seperti dari geothermal ini, hendaknya benar-benar difokuskan. Ini sekaligus menjadi bagian dari gerakan menyelamatkan lingkungan hidup secara keseluruhan.
Peresmian proyek listrik panas bumi tersebut, bisa bermakna ganda bagi pemerintahan Jokowi. Pertama, untuk meyakinkan investor bahwa pemerintah sungguh-sungguh menyediakan pasokan listrik yang cukup untuk kebutuhan industri. Ini penting, mengingat banyaknya investor yang mengeluh kekurangan listrik, saat berencana merealisasikan investasi. Keluhan tersebut juga datang dari pengusaha yang hendak meluaskan investasi mereka[3].
Kedua, dengan melimpahnya sumber panas bumi di Indonesia, diperkirakan mencapai mencapai 28 gigawatt[4], maka pemerintahan Jokowi juga punya kesempatan untuk menarik investor yang berminat membangun pembangkit listrik geothermal ini. Pada kesempatan di Garut tersebut, Jokowi membuka peluang kepada PLN untuk menaikkan harga beli listrik dari pembangkit listrik geothermal. Ya, semacam pemanis untuk memikat hati investor.
Dalam konteks ini, Jokowi menggarisbawahi, agar harga beli listrik yang diproduksi dengan batubara tidak disamakan dengan harga beli listrik yang datang dari pembangkit listrik geothermal. Corporate Secretary PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Tafip Azimudin, yang berada di lokasi peresmian, menuturkan, saat ini harga jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 9,6 sen dollar AS per kilowatthour (KWh). Sementara itu, harga listrik dari pembangkit listrik batubara sebesar 8,2 sen dollar AS per KWh.
Fokus ke Energi Baru dan Energi Terbarukan
Sehari sebelum peresmian, pada Sabtu (4/7/2015) di Jakarta, VP Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, menjelaskan, PLTP Kamojang Unit 5 ini dibangun oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak perusahaan Pertamina yang membidangi usaha panas bumi. Pembangunan ini dilakukan dengan menggandeng konsorsium PT Rekayasa Industri dan Sumitomo sebagai pelaksana Engineering Procurement and Construction (EPC).
Langkah Pertamina sebagai perusahaan nasional dalam mengembangkan sumber energi panas bumi ini, tentu patut kita apresiasi. Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), secara blak-blakan, di hadapan sekitar 300 peserta Kompasiana Seminar Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas di Indonesia, meyakinkan bahwa ke depan, pemerintah akan fokus pada Energi Baru dan Energi Terbarukan.
”Matahari di negeri ini bersinar sepanjang tahun, tapi energi tenaga surya belum kita kembangkan. Sungai dan air terjun ada seluruh pelosok nusantara, tapi energi hydro belum sepenuhnya digarap. Negeri ini penuh dengan tanaman, tapi energi biofuel belum serius ditangani,” papar Sudirman Said panjang-lebar, pada seminar yang berlangsung Senin, (13/4/2015), di Hotel Santika Premiere, Jl. Aipda KS Tubun No. 7, Slipi, Jakarta Barat, tersebut.
Kesadaran untuk fokus pada energi baru ini, merupakan indikasi yang menggembirakan. Presiden Jokowi juga memiliki tingkat perhatian yang tinggi akan hal tersebut, dalam konteks upaya mencapai pemenuhan kebutuhan listrik 35.000 megawatt. Ini bukan target tapi kebutuhan listrik yang memang harus dicapai. Jokowi, pada peresmian PLTP Kamojang Unit 5 tersebut, menyampaikan, untuk mencapai suksesnya program kelistrikan itu, dia memantau perkembangannya tiap hari, tiap minggu, dan tiap bulan.
Belajar dari Amerika, Jepang, dan Filipina
Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan listrik 35.000 megawatt, jelas bukanlah hal yang mudah. Ini disadari oleh Presiden Joko Widodo dan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, ketika memberikan pengarahan kepada manajemen PLN di Kantor Pusat PLN, Jakarta, pada Selasa (7/4/2015). "Target yang diberikan kepada PLN bukan target ringan. (Proyek) yang kemarin saja, selama delapan tahun 10.000 megawatt, tak kesampaian. Ini 35.000 megawatt," kata Presiden Joko Widodo dalam kesempatan tersebut.
Jokowi juga menyadari bahwa PLN tak mungkin sanggup sendiri memproduksi listrik sebanyak itu. Makanya, dibutuhkan keterlibatan investor, salah satunya Pertamina Geothermal Energy, yang mengembangkan panas bumi ini. Dalam konteks pengembangan energi panas bumi, barangkali tidak ada salahnya bila Indonesia belajar dari Amerika Serikat yang memiliki cadangan panas bumi 20 gigawatt dan Jepang dengan cadangan sama. Juga, dari Filipina yang kekayaan panas bumi mereka hanya 6 gigawatt.
Kenapa Filipina? Karena, negara yang sesama anggota Asean tersebut, meski memiliki cadangan panas bumi hanya 6 gigawatt, tapi mereka sudah mengembangkannya hingga 33 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi mencapai 28 gigawatt, tapi baru memanfaatkannya hanya sekitar 4 persen. Sangat kentara bahwa kita memang tertinggal jauh, tapi itu bukan alasan untuk tidak bergerak cepat.
Percepatan pembangunan pembangkit listrik, dalam hal ini pembangkit geothermal, dibutuhkan terobosan birokrasi dari pusat ke daerah. Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil, mengatakan, lambannya proses perizinan[5] pembangunan pembangkit listrik yang memakan waktu bertahun-tahun, mengakibatkan terjadinya kekurangan pasokan listrik di banyak wilayah. Kondisi yang demikian bukan hanya terjadi pada sektor listrik, tapi juga dialami para investor di sektor-sektor lain.
Dalam konteks perizinan yang berbelit-belit tersebut, Presiden Joko Widodo mendatangi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Senin, 26 Januari 2015, untuk meluncurkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BKPM, untuk enam sektor prioritas, meliputi listrik, maritim, pertanian, industri padat karya, industri substitusi impor, dan industri orientasi ekspor. Keenam sektor itu mencakup sekitar 600 bidang usaha dari total 1.249 bidang usaha. Efektifkah kebijakan tersebut di lapangan?
Jakarta, 6 Juli 2015
--------------------------
Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan bahwa ke depan, pemerintah fokus pada Energi Baru dan Energi Terbarukan
-------------------------
[1] Geothermal adalah energi yang bersumber dari panas bumi. Dengan banyaknya gunung api di Indonesia, maka ketersediaan panas bumi pun melimpah. Hingga tahun 2014, pembangkit listrik geothermal yang sudah terpasang mencapai 1.350 megawatt. Ini tantangan untuk mengembangkan energi panas bumi tersebut. Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Susilo Siswoutomo, mengungkapkan hal itu saat menjadi pembicara dalam Refleksi Tahun Pelaksanaan MP3EI di Jakarta, pada Rabu (4/9/2014).
[2] Rancangan Undang-undang Panas Bumi (Geothermal) disahkan menjadi UU Panas Bumi oleh pemerintah bersama DPR, melalui sidang Paripurna, pada Selasa (26/8/2014). RUU tersebut merupakaan revisi dari UU No.27 tahun 2003 tentang Panas Bumi.
[3] Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, menyampaikan, Indonesia bisa mengalami krisis listrik dalam dua tahun mendatang, jika pemerintah tidak membuat terobosan dalam membangun pembangkit listrik. Menurut Sudirman, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen, diperlukan peningkatan suplai listrik 1,5 persen. Jadi, kalau kita mau pertumbuhan 6 persen, maka listrik harus tumbuh 9 persen. Hal ini diungkapkan Sudirman di Kantor Wakil Presiden Jakarta, pada Selasa (4/11/2014), seusai bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
[4] SVP Exploration PT Pertamina (Persero), Doddy Priambodo, mengatakan, Indonesia ini berdiri di atas ring of fire. Menurut para ahli, potensi panas bumi kita mencapai 28 gigawatt (GW). Angka itu menempatkan Indonesia di urutan pertama di dunia, yang memiliki panas bumi. Hal itu dikatakan Doddy dalam sebuah diskusi, pada Selasa (14/4/2015).
[5] Berdasar data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), proses perizinan usaha paling lama terjadi di sektor perkebunan yang membutuhkan waktu hingga 866 hari atau sekitar 2,5 tahun. Adapun izin usaha sektor industri rata-rata memakan waktu 794 hari. Ini terungkap dalam sidang Kabinet Kerja pertama di Kantor Presiden Joko Widodo pada Senin (27/10/14).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H