Gaduh Istana = Gaduh Partai Politik
Dari rentetan pernyataan Jusuf Kalla, Tjahjo Kumolo, Rini Soemarno, dan Syafii Maarif, kita bisa merasakan bahwa ada gaduh di lingkaran dalam Istana, juga di barisan Kabinet Kerja. Kegaduhan itulah yang kemudian terkuak melalui media. Dalam konteks komunikasi, di tengah terpuruknya nilai tukar rupiah, melambatnya gerak perekonomian, serta menurunnya tingkat kepercayaan investor, kegaduhan tersebut tak semestinya dibiarkan berlama-lama menjadi santapan publik.
Soliditas Istana dengan barisan Kabinet Kerja adalah sesuatu yang sudah sepatutnya dijaga serta dikelola dengan baik. Kegaduhan di atas dengan jelas menunjukkan bahwa semua itu bukan dalam konteks beda pendapat dan adu argumen, tapi lebih mencerminkan friksi di kalangan para petinggi negeri ini. Dan, itu sangat jauh maknanya dari apa yang disebut profesional. Kalau kita mau berpikir jernih, kegaduhan di Istana dan di barisan Kabinet Kerja, nyaris sama dan sebangun dengan kegaduhan yang terjadi di tengah elit Partai Politik.
Padahal, mereka yang berada di Istana dan di barisan Kabinet Kerja adalah mereka yang diklaim Presiden Joko Widodo sebagai sosok-sosok yang profesional. Mereka dipilih sebagai pembantu Presiden karena keprofesionalan mereka. Apakah Presiden salah pilih? Apakah para profesional tersebut berubah pikiran setelah menduduki jabatan? Publik tentu bisa menilai, siapa yang sesungguhnya bertindak secara profesional demi kepentingan bangsa dan siapa yang berbuat sebagai Petugas Partai semata.
Dalam sekitar delapan bulan berjalannya pemerintahan ini, semestinya sudah cukup waktu untuk menggalang para profesional tersebut menuju arah yang hendak dicapai oleh Presiden. Namun, kegaduhan demi kegaduhan di Istana dan di barisan Kabinet Kerja, menunjukkan lemahnya fungsi koordinasi dalam pemerintahan secara keseluruhan. Karena rendahnya tingkat soliditas di Istana dan di barisan Kabinet Kerja, dengan sendirinya tercipta gorong-gorong, yang memungkinkan banyak pihak melakukan intervensi.
Dari Wacana Menjadi Nyata
Pertemuan Presiden Jokowi dengan 11 ekonom dan kalangan pelaku usaha di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (29/6/2015), sesungguhnya sebuah sinyal kuat yang menandakan bahwa ada kebuntuan ekonomi yang hendak didobrak. Ada upaya untuk meraih kepercayaan pasar. Berbagai kegaduhan di Istana dan di barisan Kabinet Kerja, telah menimbulkan persepsi negatif di pasar. Kegaduhan tersebut dimaknai para investor sebagai realitas bahwa konsolidasi politik belum sepenuhnya tuntas.
Ekonom Senior Bank Mandiri, Destry Damayanti, yang hadir dalam pertemuan tersebut, menyatakan, Jokowi secara tersirat menyatakan sangat kecewa dengan kinerja para menterinya, terutama di bidang ekonomi. Dasarnya, pertumbuhan ekonomi nasional pada semester pertama melambat. Apakah Presiden salah pilih? Apakah para profesional tersebut berubah pikiran setelah menduduki jabatan? Ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetyantono, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut, menilai, lemahnya kepercayaan pasar kepada tim ekonomi pemerintah yang menyebabkan perekonomian Indonesia terus melemah.
Dengan kata lain, perombakan Kabinet Kerja benar-benar sudah tinggal di depan mata. Bukan lagi sekadar wacana. Ini merupakan pertaruhan penting bagi kredibilitas Presiden Jokowi untuk benar-benar secara independen menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat. Karena, dalam kenyataannya, menteri yang pintar dan didukung banyak pihak, ternyata bisa lumpuh karena tidak memiliki kemampuan untuk menggerakkan birokrasi.
Itu terbukti dengan rendahnya serapan anggaran di tiap kementerian. Artinya, program yang bagus, rencana yang cemerlang, hanya bertahan sampai di tingkat proposal, tapi tak kunjung dieksekusi di lapangan. Serapan anggaran yang rendah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro[3] mencatat, per 25 Juni 2015, penyerapan APBN-P 2015 masih sekitar 35 persen dari seluruh anggaran yang ada. Ini sekaligus juga mencerminkan rendahnya performa para profesional di barisan Kabinet Kerja. Â