Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

#SudahlahJokowi adalah Tantangan untuk Menyudahi Pertikaian yang Berkepanjangan

2 Juli 2015   04:25 Diperbarui: 2 Juli 2015   04:25 1695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari setelah susunan Kabinet Kerja diumumkan, Presiden Joko Widodo pun melantik 34 menteri dan dua wakil menteri di Istana Negara pada Senin (27/10/2014). Ini adalah hari ke-8 setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Gambar kanan adalah grafik yang menunjukkan #sudahlahjokowi yang muncul di twitter sejak sekitar pukul 09.00 pagi pada Selasa (30/6/2015) dan mencapai puncaknya pada tengah hari. Foto: kompas.com dan print.kompas.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Kami tahu, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 hanya 4,7 persen, di bawah target yang ditetapkan Presiden 5,7 persen. Kami juga tahu, sampai awal pekan Juni 2015, penerimaan pajak baru di kisaran Rp 431 triliun atau 33 persen dari target yang ditetapkan Presiden, yaitu 40 persen pada semester I-2015.

Kami juga sudah merasakan, betapa beratnya beban hidup karena lonjakan harga barang-barang dan jasa. Semua ini adalah hasil dari kebijakan yang diciptakan Presiden. Maka, tidak pada tempatnya Presiden menuding ekonomi global sebagai biang keladinya. Sebagai kepala negara, adalah kewajiban Presiden mempertimbangkan semua hal, termasuk kondisi ekonomi global, sebelum menciptakan kebijakan. Karena, Presiden bertindak untuk dan atas nama negara.

Memilih Menteri dengan Cermat

"Proses penetapan menteri, saya lakukan dengan cermat dan hati-hati, karena kita ingin mendapatkan orang-orang yang terpilih dan bersih. Kita mengkonsultasikan pada KPK dan PPATK, karena ingin tepat dan akurat," kata Jokowi saat pengumuman kabinet di halaman belakang Istana Merdeka, Ahad, 26 Oktober 2014.[1]

Kami juga tahu bahwa Presiden telah memilih menteri dengan cermat. Di berbagai kesempatan, Presiden menyatakan bahwa para menteri yang sudah terpilih tersebut adalah orang-orang profesional. Ketika kini ada suara dari Istana bahwa ada menteri yang lambat menjalankan program pemerintah, itu adalah konsekuensi Presiden memilih mereka. Presiden yang memilih, Presiden yang mengoordinasikan, dan Presiden pula yang menilai. Otoritas penuh ada pada Presiden.

Ketika ada menteri yang diindikasikan lambat menjalankan program pemerintah, maksudnya apa? Bila dikorelasikan dengan sejumlah target pemerintah yang tidak tercapai, bukankah ketidaktercapaian tersebut merupakan performa pemerintah secara akumulatif? Bila iya, maka bukan pada tempatnya menteri yang harus menanggung risiko ketidaktercapaian tersebut. Kecuali, bila ketidaktercapaian itu diukur berdasarkan target masing-masing kementerian.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah siapa yang menetapkan target per kementerian? Menteri yang bersangkutan atau Presiden? Bila menteri yang menetapkan target untuk kementeriannya, maka sebagai seorang profesional, sang menteri tentulah wajib bertanggung jawab atas performa kementeriannya.

Sebaliknya, jika yang menetapkan target kementerian itu adalah Presiden, dan ternyata sang menteri tidak mencapai target, maka bisa jadi target yang ditetapkan Presiden tidak sepadan dengan kapasitas profesional sang menteri. Pertanggungjawabannya berada pada Presiden, karena Presiden sebelum menetapkan target kementerian yang bersangkutan sudah sepatutnya mempertimbangkan semua hal, termasuk kapasitas profesional sang menteri untuk mengeksekusinya di lapangan dan kondisi ekonomi global.

Presiden Joko Widodo menghadiri peletakan batu pertama, groundbreaking, pembangunan gedung Indonesia Satu bersama Direktur PT CSMI Lestari. CSMI merupakan usaha patungan PT China Sonangol Land dari Tiongkok dengan Media Group yang dimiliki pengusaha dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Grup Sonangol adalah kongsi lama Media Group, sejak tahun 2009 di Blok Cepu. Foto: belitung.tribunnews.com

Tetap Optimis, Terus Tumbuh

”Saya datang ke sini ingin menunjukkan, investasi akan berjalan dan terus tumbuh. Jika ada yang meragukan (ekonomi Indonesia) tidak akan tumbuh, itu keliru besar. Sebentar lagi dapat dilihat, bulan depan akan mulai, dan bulan berikutnya akan maju,” kata Presiden saat meresmikan dimulainya pembangunan menara kembar ”Indonesia 1” milik Surya Paloh, di Jakarta, Sabtu (23/5/2015).[2]

Dengan optimisme yang demikian, setidaknya Presiden ingin menegaskan bahwa ketidaktercapaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015 dan ketidaktercapaian pendapatan pajak pada semester I-2015 di atas, tidak bisa dengan gegabah disimpulkan sebagai ketidaktercapaian target secara tahunan. Sebagai kepala negara, memang sudah seharusnya Presiden senantiasa mengobarkan optimisme kepada publik. Karena, apa jadinya bangsa ini kalau dipimpin oleh Presiden yang pesimis. Iya, kan?

Bahwa berbagai pihak berargumen, sesuai dengan kapasitas dan agenda masing-masing, itu adalah bagian dari dinamika dari kebebasan berpendapat. Kepala Mandiri Institute, Destry Damayanti[3], misalnya, mengkritik kinerja para menteri yang dianggapnya tak mampu mendatangkan minat para investor. Para investor dihadapkan pada realita bahwa selama enam bulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penyerapan anggaran sangat rendah.

Hingga Juni 2015 ini, serapan anggaran kementerian baru 40 persen. Praktis, tidak ada pembangunan yang terlihat secara signifikan di Indonesia. Ini juga memperlambat pertumbuhan ekonomi, dalam konteks konsumsi, yang tercermin pada rendahnya daya beli masyarakat. Realitas ini dengan sendirinya juga menurunkan minat investor untuk merealisasikan investasi mereka. Para pemilik dana menunda untuk memutar uang mereka, memilih wait and see.

Salah satu indikatornya adalah meningkatnya jumlah nasabah di bank, dengan simpanan di atas Rp 2 miliar. Mereka inilah yang dikenal sebagai nasabah kaya. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per April 2015 menunjukkan, jumlah rekening nasabah kaya 210.668 rekening dengan total simpanan mencapai Rp 2.351,56 triliun. Jumlah ini tumbuh 15,77 persen dibandingkan dengan April 2014. Bila pemilik dana menginvestasikannya dalam bentuk usaha, tentu lapangan kerja akan terbuka dan pertumbuhan ekonomi tidak selambat ini.

Sejumlah pengamat ekonomi di Kompleks Kepresidenan, pada Senin, 29 Juni 2015. Hari itu, Presiden Jokowi bertemu dengan sejumlah ekonom membahas kondisi ekonomi Indonesia terkini. Mereka adalah Destry Damayanti, Arief Budimanta, Iman Sugema, Hendri Saparini, Djisman Simanjuntak, Anton Gunawan, Agustinus Prasetyantoko, Poltak Hotradero, Tony Prasetyantono, Lin Che Wei, dan Raden Pardede. Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, mengatakan, dalam pertemuan itu Jokowi hanya ngobrol santai dengan para ekonom. Pertemuan tersebut sudah dilakukan beberapa kali dan seterusnya akan tetap dilakukan. Foto: beritasatu.com

Motto: Kerja, Kerja, Kerja

Tidak butuh waktu lama, tagar #SudahlahJokowi bertengger di daftar topik tren jejaring mikroblog Twitter untuk pengguna di Indonesia. Tagar tersebut muncul sejak sekitar pukul 09.00 pada Selasa (30/6/2015) dan mencapai puncaknya pada tengah hari. Demonstrasi di Twitter ini berisi cuitan para netizen yang merundung Presiden Jokowi dan memintanya untuk menyerah. Menurut mereka, munculnya sejumlah permasalahan, seperti perombakan kabinet, kegagalan memperbaiki kondisi perekonomian bangsa, merupakan beberapa contoh yang seharusnya membuat Presiden bercermin pada kinerjanya dan bertanggung jawab.[4]

Presiden optimis, investor wait and see, daya beli melemah, dan ekonomi melambat. Ini tentulah momen yang ditunggu-tunggu para politisi untuk merangsek masuk dengan agenda politik mereka: reshuffle. Yang belum kebagian jabatan, berebut jabatan. Yang belum kebagian proyek, berebut proyek. Yang sudah kebagian jabatan dan proyek, masih berebut juga untuk meraup jabatan dan proyek sebanyak-banyaknya, seakan tak pernah cukup.

Rakus? Entahlah. Dari sejarah perjalanan bangsa ini, kita tentu sama-sama tahu, betapa banyak politisi kita yang gemar bermain di air keruh, memancing di tengah gemuruh. Politisi yang sudah mengemban suatu jabatan yang diamanahkan rakyat, dengan mudahnya meninggalkan amanah tersebut untuk melompat ke jabatan yang lebih tinggi. Politisi tidak punya komitmen untuk melaksanakan tugas atas jabatan yang mereka emban, hingga akhir masa jabatan. Apalagi bila ada kesempatan untuk melompat. Alasan yang umum digunakan politisi adalah karena merasa terpanggil untuk berjuang demi rakyat.

Itu bahasa politisi, alasan politisi. Selain cabut sebelum habis masa jabatan, politisi juga gemar pindah partai yang kerap disebut sebagai kutu loncat. Karena itulah reshuffle sudah dihembuskan sejak lama, bahkan belakangan ini makin kuat tiupannya. Toh, reshuffle bukan hal yang tabu di negeri ini. Beberapa Presiden sudah melakukannya, sudah mencontohkannya. Dengan terjadinya reshuffle, maka akan terbuka rongga-rongga jabatan serta rongga-rongga proyek yang siap dicaplok.

Sekadar mengingatkan, Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), termasuk Presiden yang cukup sering mengganti para menteri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), juga rajin melakukan perombakan kabinet, mengocok ulang posisi para menteri. Presiden Megawati (2001-2004), termasuk Presiden yang menghindari perombakan kabinet. Bagaimana dengan Presiden yang sekarang berkuasa? Apakah ia akan mengganti motto kerja, kerja, kerja dengan motto baru reshuffle, reshuffle, reshuffle? Entahlah.

Jakarta, 2 Juli 2015

----------------------------------

Sri Mulyani Indrawati, Direktur Pelaksana Grup Bank Dunia, bicara tentang pentingnya Indonesia mengembangkan ekonomi ramah lingkungan di Konferensi Indonesia Green Infrastructure Summit 2015

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/sri-mulyani-dalam-spirit-maritim-untuk-green-economy-yang-ramah-lingkungan_5577d1bca623bdde7715bec1

--------------------------------------

[1] Selengkapnya bisa dibaca Cara Presiden Jokowi Memilih Menteri, yang dilansir tempo.co, pada Minggu, 26 Oktober 2014 | 18:55 WIB.

[2] Menara Indonesia 1 akan dibangun PT China Sonangol Media Investment (CSMI) dengan dana 650 juta dollar AS atau setara Rp 8 triliun, yang sepenuhnya modal asing. CSMI merupakan usaha patungan PT China Sonangol Land dari Tiongkok dengan Media Group yang dimiliki pengusaha dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Saat pemilihan presiden-wakil presiden lalu, Nasdem merupakan partai politik pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Selengkapnya bisa dibaca Presiden: Keliru jika Ragukan Pertumbuhan RI, yang dilansir print.kompas.com, pada Minggu, 24 Mei 2015.

[3] Destry Damayanti mengemukakan hal itu di Istana Kepresidenan, pada Senin, (29/6/2015). Pada hari itu, Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan 11 ekonom dan kalangan pelaku usaha di Istana Negara, yang juga dihadiri Destry Damayanti. Agenda pertemuan tersebut adalah membahas ekonomi Indonesia terkini.

[4] Selengkapnya bisa dibaca Lonjakan Tagar #SudahlahJokowi di Selasa Pagi, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu, 1 Juli 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun