Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, meresmikan portal data terbuka alias Open Data DKI Jakarta, yaitu http://data.jakarta.go.id. Peluncurannya dilakukan di Balai Kota DKI Jakarta, pada Selasa (30/6/2015). Keberadaan open data ini dapat memudahkan masyarakat untuk mencari data-data yang diperlukan, khususnya yang relevan dengan DKI Jakarta. Ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari program nasional, yaitu open government. Pemprov DKI Jakarta menyediakan fasilitas ini untuk masyarakat, lantaran terinspirasi dari negara-negara maju di dunia. Foto: data.jakarta.go.id
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Berapa angka kelahiran di Jakarta? Sebagai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama kaget[1], ketika mendapatkan jawabannya di kantor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), di Jakarta Timur. Kenapa kaget? Karena, angkanya tinggi dan tentu saja mencemaskan.
Karena selama ini tidak tersedia data yang update, maka langkah antisipasinya pun belum dipersiapkan secara matang. Barangkali, setelah adanya data.jakarta.go.id yang diluncurkan pada Selasa (30/6/2015), Pak Gubernur tak akan kaget lagi. Karena, ada bagian yang berwenang serta berkewajiban untuk memutakhirkan data secara reguler. Hingga, Basuki Tjahaja Purnama, dengan dibantu staf tentunya, bisa mengikuti perkembangan tingkat kelahiran, serta dinamika Jakarta lainnya secara detail dan rinci, dalam rentang waktu yang relatif cepat. Data beragam aspek tentang Jakarta tersebut akan menjadi salah satu masukan bagi Pak Gubernur saat merumuskan berbagai kebijakan untuk kemajuan DKI Jakarta.
Angka Kematian Ibu Melahirkan
Dengan tingginya angka kelahiran di Jakarta, berarti tinggi pula angka ibu hamil serta proses persalinan di ibukota ini. Mestinya, sebagai ibukota negara, dengan berlimpahnya ketersediaan fasilitas persalinan berupa klinik bersalin dan rumah sakit, urusan persalinan bukan lagi masalah. Ternyata, tidak demikian halnya. Menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidajat, angka kematian ibu hamil di Jakarta masih tinggi, mencapai sekitar 200 orang per 100 ribu penduduk.
Meski angka tersebut di bawah rata-rata angka nasional, mantan Wali Kota Blitar, Jawa Timur, ini menyatakan, tingkat kematian ibu hamil di Jakarta masih terbilang tinggi. Mengingat, Jakarta kan ibukota negara dan akses ke fasilitas kesehatan mestinya kan sudah terbuka luas. Mestinya, angkanya di bawah itu. "Saya mau angka kematian ibu hamil, turun menjadi 100-150 orang per 100 ribu penduduk,” ujar Djarot Saiful Hidajat, saat mengunjungi Puskesmas Kelurahan Joglo II, Kembangan, Jakarta Barat, pada Jumat (24/4/2015) lalu.
Tahun 2014, jumlah penduduk ibukota sudah mencapai 10,2 juta jiwa. Pada tahun 2010, masih di kisaran 9,5 juta jiwa[2]. Kenaikan yang cukup signifikan. Pada saat yang sama, angka kematian ibu hamil di Jakarta juga tinggi, mencapai sekitar 200 orang per 100 ribu penduduk. Berdasarkan data tersebut, juga dilengkapi dengan berbagai masukan lain yang relevan, Pemprov DKI Jakarta merancang kebijakan untuk menekan angka pertumbuhan penduduk dan menekan angka kematian ibu hamil.
Dalam konteks menekan angka kematian ibu hamil, misalnya, Djarot Saiful Hidajat menginstruksikan puskesmas kelurahan dan kecamatan di wilayah DKI Jakarta agar turun ke lapangan untuk memantau langsung kondisi ibu-ibu hamil. Tujuan pemantauan tersebut, agar ibu hamil tetap sehat hingga pascapersalinan. Pemantauan itu dilakukan oleh para bidan yang ditugaskan di tiap kelurahan. Ini sejalan dengan program yang sudah dicanangkan Basuki Tjahaja Purnama sebelumnya[3].
Perawat memeriksa kesehatan ibu hamil dan janinnya di Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Dengan ketersediaan data ibu hamil secara rinci di berbagai wilayah DKI Jakarta, tentu bisa dipantau kondisi kesehatan mereka, agar dari awal kehamilan hingga persalinan, ibu hamil dan bayinya tetap sehat dan selamat. Keberadaan Open Data DKI Jakarta http://data.jakarta.go.id ini tentu akan bermanfaat. Foto: print.kompas.com
Data Sebagai Peluang Usaha
Secara internal, data tentang angka kelahiran, angka kematian, dan angka pertumbuhan penduduk tersebut, bisa segera dimanfaatkan Pemprov DKI Jakarta untuk membuat kebijakan. Karena data tersebut terbuka dan bisa diakses publik secara luas, maka berbagai lini usaha bisa diciptakan dengan mengacu pada data tersebut. Misalnya, dalam hal pendirian klinik atau rumah sakit bersalin. Ini bisa dikorelasikan dengan data klinik atau rumah sakit bersalin yang sudah ada di berbagai wilayah DKI Jakarta.
Data tersebut juga bisa menjadi acuan untuk warga yang berminat terjun di bidang usaha peralatan bayi dan anak-anak, makanan bayi dan anak-anak, serta pakaian bayi dan anak-anak. Selain itu, data tersebut juga bisa menjadi acuan untuk warga yang bergerak di bidang usaha pendidikan seperti kelompok bermain dan taman kanak-kanak. Juga, bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang berminat menciptakan mainan anak-anak, mengingat tingkat kelahiran anak-anak yang relatif tinggi.
Menciptakan sebuah lini usaha, dengan memasukkan komponen data sebagai salah satu item dalam pengambilan keputusan, tentulah sudah menjadi suatu keharusan di era bisnis modern saat ini. Berbekal data, bisa diprediksi serta diproyeksikan, seberapa besar ceruk pasar yang tersedia untuk diterobos. Seberapa tinggi tingkat persaingan yang akan dihadapi. Strategi mengkalkulasi peluang dan persaingan, harapan dan risiko, itulah yang kerap memacu adrenalin para pelaku bisnis.
Dengan kata lain, Jakarta Open Data ini bisa menjadi salah satu sarana Pemprov DKI Jakarta mendorong warga untuk menjadi bagian penting dari program pemerintah, dalam rangka menggerakkan ekonomi kerakyatan. Warga akan termotivasi untuk berperan lebih aktif, karena sudah berbekal data yang bisa mereka akses dengan leluasa. Tuty Kusumawati[4], Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, mengungkapkan, Jakarta Open Data ini bagus jika disikapi dengan baik. Karena, dengan berbekal data ini, masyarakat terangsang untuk berkreasi, bikin ini, bikin itu, serta mewujudkan ide untuk membuka usaha berskala ekonomis.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, membuka kompetisi Hackathon Jakarta 2015 (#HackJak2015) di Balai Agung, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (30/6/2015). Melalui kompetisi ini, Basuki mengajak mahasiswa, pengembang aplikasi, dan desainer grafis membantu menciptakan transparansi data dalam Jakarta Smart City. Ia menginginkan dengan Jakarta Smart City, Pemprov DKI Jakarta dapat lebih aktif dan meningkatkan partisipasi publik. Foto: detik.com
Verifikasi dan Validasi Data
Sebagai sebuah permulaan, kehadiran Jakarta Open Data ini tentulah patut kita apresiasi. Memang, belum waktunya untuk membedah fasilitas data ini dalam konteks sebuah pusat data yang memadai. Masih cukup banyak hal yang mesti dibenahi, hingga Jakarta Open Data ini layak disebut sebagai pusat data yang kredibel bagi sebuah Provinsi DKI Jakarta. Apalagi, ke depannya, data-data yang dihimpun dalam Jakarta Open Data tersebut akan dijadikan acuan oleh banyak pihak, antara lain, pelaku bisnis, dalam beraktivitas.
Artinya, data yang dimasukkan ke sini, haruslah data yang sudah memenuhi kualifikasi. Maka, diperlukan mekanisme yang rapi agar akurasi data dapat diklarifikasi. Langkah yang dilakukan Harry Sanjaya, agaknya sudah tepat. "Data dari SKPD (satuan kerja perangkat daerah) nantinya akan diverifikasi terlebih dahulu oleh tim verifikasi dan validasi yang ditetapkan dengan SK Gubernur, sebelum masuk ke portal. Setelah itu, baru disebarluaskan ke publik," kata Harry Sanjaya, Kepala Seksi Data dan Informasi Dinas Kominfomas, di Balai Kota DKI Jakarta, pada Selasa (30/6/2015).
Agar ketersediaan data serta kelengkapan data memadai, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, mengimbau seluruh SKPD agar memberikan datanya untuk dimuat di Jakarta Open Data. Maklum, selama ini, seluruh data yang dimiliki disembunyikan di bagian masing-masing. Menggerakkan budaya keterbukaan akan data adalah tantangan tersendiri untuk mewujudkan kredibilitas pusat data ini. Tantangan lain adalah mengelola tahapan validasi untuk menjaga akurasi data yang disajikan kepada publik. Selanjutnya, bagaimana memelihara spirit para pengelola supaya proses update data terjaga baik, dari waktu ke waktu.
Basuki Tjahaja Purnama mengingatkan, semakin banyak data yang bisa dibuka kepada publik, maka akan semakin banyak pula kemudahan bagi rakyat untuk memanfaatkan data tersebut. Keterbukaan akan data ini sebenarnya bukan sesuatu yang berdiri sendiri tapi menjadi bagian dari upaya DKI Jakarta untuk menjadi Jakarta Smart City: keterbukaan, partispasi publik, dan data yang selalu update. Untuk skala provinsi, DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang memiliki portal open data. Untuk tingkat Kota, Banda Aceh yang pertama open data.
Jakarta, 1 Juli 2015
----------------------------------------
Selain menggalakkan transparansi dan partisipasi publik, DKI Jakarta menggratiskan biaya sekolah menengah tingkat atas:
-----------------------------------------
[1] Basuki Tjahaja Purnama mengaku kaget mengetahui tingkat kelahiran di DKI Jakarta yang masih tinggi. Dibutuhkan setidaknya 10 tahun bagi Jakarta untuk menekan tingkat kelahiran, dari 2,3 menjadi 2,0 kelahiran per 1.000 orang per tahun. Hal itu mengemuka pada acara Optimalisasi Kinerja Pengelola Program Keluarga Berencana untuk Mewujudkan Jakarta Baru yang Sejahtera di kantor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), di Jakarta Timur, pada Senin (16/2/2015).
[2] Dien Emmawati, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB) DKI, menjelaskan, berdasarkan data BPMPKB, sejak 2010-2014, telah terjadi kenaikan pertumbuhan penduduk sebesar 1,43 persen. Bahkan, tingkat kelahiran selama 10 tahun terakhir turut naik dari 2.1 menjadi 2.3. Data itu dikemukakan Dien Emmawati di kantor BKKBN, Jalan Halim Permata, Jakarta Timur, pada Senin (16/2/2015).
[3] Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, "Bidan-bidan akan kami berdayakan dengan baik. Harus ada bidan di tiap kelurahan nantinya." Hal itu dikatakan Basuki Tjahaja Purnama saat acara Debat Program Kesehatan Cagub-Cawagub DKI Jakarta 2012, di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jl.Salemba Raya, Jakarta Pusat, pada Senin (14/5/2012).
[4] Tuty Kusumawati pada awalnya mengaku takut dengan Jakarta Open Data ini. Takut data tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal yang negatif oleh pihak-pihak tertentu. Tapi, setelah ia melakukan banyak interaksi dengan panelis-panelis di berbagai kota di dunia, Tuty Kusumawati memandang Open Data ini adalah terobosan yang patut dilakukan. Hal itu ia ungkapkan di Balairung Balai Kota, Jakarta Pusat, pada Selasa (30/6/2015).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H