Sebagai kota besar, sebagai ibukota negara, mereka yang tidak bersekolah tersebut tentulah akan menimbulkan masalah sosial, yang tidak kecil dampaknya. Baik dalam wujud tindak kriminalitas, maupun terkait dengan keresahan sosial. Kita tahu, mereka yang tidak bersekolah tersebut akan tersisih atau tersingkirkan dari persaingan perebutan sumber-sumber kehidupan. Di sektor formal, mereka tersingkir karena tidak memiliki formalitas berupa ijazah. Di sektor informal, mereka tersisih karena tidak memiliki skill yang memadai serta tidak punya kecupukan modal untuk berwirausaha.
Sementara, tingkat persaingan makin sengit. Badan Pusat Statistik[5] (BPS) mencatat, pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen penganggur, sekitar 688.660 orang, yang merupakan alumni perguruan tinggi. Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu alias bergelar sarjana. Dari jumlah itu, jumlah penganggur paling tinggi, 495.143 orang, merupakan lulusan universitas yang bergelar sarjana. Bukan tidak mungkin, sebagian besar dari penganggur terdidik tersebut berada di DKI Jakarta, yang dianggap menyediakan lapangan kerja lebih banyak dibanding di wilayah lain.
Artinya, kebijakan Pemda DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini, hendaklah dilihat sebagai rangkaian upaya untuk mencerdaskan warga kota. Warga yang kurang mampu, dapat kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan yang layak. Dalam konteks yang lebih luas, ini juga merupakan langkah positif untuk menekan pertumbuhan angka putus sekolah secara nasional yang terus meningkat, di tengah perlambatan ekonomi serta rendahnya pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Jakarta, 30 Juni 2015
----------------------------------------
Tentang kesiapan infrastruktur teknologi informasi di sekolah menengah tingkat atas di DKI Jakarta, bisa dibaca selengkapnya di
------------------------------------------
[1] Pembebasan biaya sekolah ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjamin hak pendidikan warganya. Selengkapnya bisa dibaca Gratis, Biaya Sekolah di DKI Jakarta, yang dilansir print.kompas.com pada Senin, 29 Juni 2015.
[2] Penjelasan Kadarwati tersebut selengkapnya bisa dibaca di Daya Tampung Terbatas, Sekolah Negeri Jadi Rebutan, yang dilansir sinarharapan.co, pada Kamis, 11 Juni 2015 l 19:00 WIB.
[3] Mohammad Nuh memaparkan, berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal (SPM), sekitar 48,89 persen pada posisi SPM. Hanya 10,15 persen sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan. Hal tersebut terungkap dalam rapat kerja Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, dan Komisi X DPR di Jakarta, pada Senin (21/3/2011) malam.