Mungkin agak sinis kalau kita katakan bahwa pemerintah selalu terlambat mengantisipasi beban yang harus dipikul rakyat. Yang menanggung seluruh beban kenaikan harga kebutuhan pokok itu kan rakyat. Bukankah seharusnya pemerintah yang kabarnya pro-rakyat ini, mestinya hadir di tengah-tengah para pedagang, demi meminimalkan beban kenaikan harga yang harus ditanggung rakyat?
Kalau faktor penyebab kenaikan harga kebutuhan pokok adalah dampak dari fluktuasi kenaikan harga BBM, tentu bisa dicarikan solusi melalui kebijakan yang terkait dengan pelaku usaha jasa angkutan transportasi barang kebutuhan pokok. Kalau kenaikan harga kebutuhan pokok karena tidak lancarnya arus pasokan barang, seperti pada sebulan menjelang ramadhan ini, tentu pemerintah bisa melakukan langkah-langkah dalam tata-kelola barang kebutuhan pokok.
[caption id="attachment_366935" align="aligncenter" width="724" caption="Ini petikan berita dari tempo.co, Harga Jengkol Naik, Pelanggan Panik, edisi Rabu, (20/05/2015) | 12:28 WIB. Lonjakan harga di atas dihimpun dari sejumlah pedagang di Pasar Panjang, Jalan Sutaatmadja, Kota Subang, Jawa Barat. Para pedagang pasar tradisional ini memprediksi, bawang merah dan cabai merah merupakan dua komoditas sayur yang kenaikan harganya tidak akan tertandingi komoditas lain. Foto: koleksi pribadi"]
Harga BBM dan Puasa, Akumulasi Lonjakan Harga
Sementara dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat fluktuasi harga BBM belum teratasi oleh pemerintah, kini faktor kenaikan harga bertambah dengan situasi menjelang ramadhan. Gejolak harga kebutuhan pokok yang terjadi di dua pasar tradisional di Jawa Barat: Pasar Cisaat, Kabupaten Sukabumi, dan Pasar Panjang, Kota Subang, tersebut menunjukkan kepada kita, betapa tata-kelola barang-barang kebutuhan pokok rakyat berada di luar jangkauan pemerintah.
Mekanismenya dibiarkan berada di tangan para pedagang, juga para spekulan. Padahal, Jawa Barat merupakan salah satu sentra barang kebutuhan pokok, yang semestinya tata-kelolanya dicermati dengan sungguh-sungguh agar dampak lonjakan harga bisa diminimalkan. Artinya, sudah seharusnya pemerintah hadir, kalau pemerintah saat ini masih dengan gagah mengklaim diri sebagai pemerintahan yang pro-rakyat, berpihak kepada rakyat. Toh, ini menyangkut harga barang-barang kebutuhan pokok rakyat.
Kondisi dan situasi lonjakan harga kebutuhan pokok yang serupa, juga terjadi di Provinsi Jawa Timur, yang sesungguhnya juga merupakan sentra barang kebutuhan pokok. Alangkah nahasnya nasib rakyat dibiarkan berada di bawah tekanan dan himpitan harga. Lonjakan harga-harga tersebut seakan turut menyambut Hari Kebangkitan Nasional, yang mewujud dalam kebangkitan harga barang kebutuhan pokok. Semua ini terjadi di pasar tradisional, yang menjadi tumpuan sebagian besar rakyat negeri ini. Mungkin, inilah wujud ekonomi kerakyatan yang kini diagung-agungkan.
[caption id="attachment_366936" align="aligncenter" width="713" caption="Ini petikan berita dari tempo.co, Puasa Masih Sebulan, Harga Kebutuhan Pokok Naik, edisi Sabtu (16/05/2015) | 04:10 WIB. Lonjakan harga di atas dihimpun dari sejumlah pedagang pasar tradisional di Pasar Banjarejo dan Pasar Besar Kota, Kota Bojonegoro, Jawa Timur. Martono, pedagang yang tinggal di Kelurahan Ledok Kulon, Bojonegoro, berharap, pemerintah turun tangan menstabilkan harga kebutuhan pokok tersebut. Foto: koleksi pribadi "]
Para penguasa negeri ini menggelontorkan istilah ekonomi kerakyatan dan mengklaim berbagai kebijakan sebagai terobosan. Itu pun masih dilanjutkan dengan hiburan harapan agar rakyat bersabar. Mereka memang bebas bicara dan membuat kebijakan apa saja, tapi pada akhirnya yang merasakan adalah rakyat. Itulah yang membedakan penguasa dengan rakyat. Penguasa menetapkan aturan, rakyat yang menanggung akibatnya.
Jakarta, 21 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H