Di Kota Sibolga yang berjarak sekitar 85 mil laut dari Kota Gunungsitoli, ikan tersebut kemudian diolah menjadi bahan ikan asap dan ikan asin. Produk ikan itu kemudian dipasarkan, salah satunya ya ke Kota Gunungsitoli. Seekor ikan tuna kecil segar, misalnya, di pasar ikan Gunungsitoli harganya Rp 15.000. Setelah jadi produk ikan asap atau ikan asin, harga per ekornya menjadi Rp 25.000. Mekanisme dagang yang sudah berlangsung bertahun-tahun tersebut, tentu tidak bisa dibiarkan demikian selamanya.
Melalui kerjasama dengan perguruan tinggi terdekat, bisa dirancang serta disusun perencanaan agar di Kota Gunungsitoli dibangun pusat pengolahan ikan. Setelah menjadi produk berbahan ikan, baru kemudian dipasarkan secara luas. Toh, ketersediaan bahan bakunya lebih dari cukup. Pengolahan ikan itu bisa membuka lapangan kerja bagi masyarakat kota ini. Struktur pembiayaannya, misalnya, bisa melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan dukungan perbankan.
Dalam Kompasiana Nangkring bersama Harian Kompas dan Perusahaan Gas Negara (PGN) tentang Kotaku Kota Cerdas! pada Sabtu, 25 April 2015, di Pisa Kafe, Jakarta Selatan, dijelaskan bahwa sebuah kota dapat dikategorikan sebagai Kota Cerdas, bila kota tersebut cerdas secara ekonomi, cerdas secara sosial, dan cerdas pula secara lingkungan. Pendirian pusat pengolahan ikan tersebut merupakan wujud dari kecerdasan ekonomi. Terbukanya lapangan kerja baru di tempat tersebut, merupakan wujud dari kecerdasan sosial.
[caption id="attachment_365907" align="aligncenter" width="612" caption="Kota Gunungsitoli juga merupakan pintu gerbang wisatawan untuk menikmati alam dan budaya Pulau Nias. Bagi penggemar surfing, Pantai Sorake dan Lagundri adalah dua nama pantai yang sangat melegenda di mata turis asing. Demikian pula halnya atraksi lompat batu. Artinya, sejumlah potensi wisata di Kota Gunungsitoli dan di Pulau Nias seharusnya jadi motivasi untuk mempercepat langkah Gunungsitoli menjadi Kota Cerdas. Foto: 2.bp.blogspot.com dan 4.bp.blogspot.com "]
Proses Alih SDM
Formula yang sama juga bisa diimplementasikan pada sumber daya alam karet. Selama ini, karet dalam bentuk slab basah dihasilkan Kota Gunungsitoli dan wilayah sekitarnya, lebih dari 75 ton per hari. Tiap tiga hari sekali, hasil alam karet yang praktis belum diolah tersebut, dijual ke Sibolga dan Padang, Sumatera Barat, menggunakan kapal feri, melalui Pelabuhan Angin, Kota Gunungsitoli.
Saya tidak punya data, berapa jarak dari Kota Gunungsitoli ke Kota Padang. Sebagai gambaran, jarak dari Pulau Sigolong-Golong, Kecamatan Hibala, Kabupaten Nias Selatan, ke Pelabuhan Muara, Kota Padang, Sumatera Barat, sekitar 105 mil laut. Ke Medan, sekitar 200 mil laut. Ongkos angkut karet mentah itu, mencapai belasan juta rupiah per bulan.
Bila di Kota Gunungsitoli dibangun pusat pengolahan karet menjadi produk setengah jadi atau menjadi produk jadi, tentulah lapangan kerja baru akan terbuka lebih banyak lagi. Untuk membangun industri pengolahan ikan dan industri pengolahan karet, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Melalui kerjasama dengan perguruan tinggi terdekat tersebut, secara bertahap akan terjadi proses alih SDM, sampai SDM lokal memiliki skill yang memadai untuk mengelolanya.
Kenapa bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk merancang strateginya? Kenapa tidak langsung saja menggaet investor untuk berinvestasi di sana? Menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi adalah pilihan yang cerdas, untuk membina serta melindungi SDM lokal . Ini berkorelasi dengan konteks membangun Kota Gunungsitoli menjadi Kota Cerdas. Kalau yang lebih dulu datang adalah investor, sementara SDM lokal belum memadai, maka besar kemungkinan masyarakat Kota Gunungsitoli hanya akan menjadi buruh dan penonton semata.
Jakarta, 14 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H