[caption id="attachment_357941" align="aligncenter" width="541" caption="Di DKI Jakarta, terdapat 116 Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, 426 Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta, dan 60 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri yang dikelola oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta, sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001. Yang siap mengadakan Ujian Nasional (UN) Online 2015, hanya 3 SMA, 26 SMK, dan 1 SMP. Foto di atas diambil saat siswa SMK Negeri 39, Cempaka Putih Tengah, Jakarta Pusat, melaksanakan ujicoba UN Online pada Selasa (24/3/2015) siang. Foto: wartakota.tribunnews.com"][/caption]
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Di era yang serba online ini, hanya 3 dari 542 SMA di DKI Jakarta yang siap mengikuti Ujian Nasional (UN) Online 2015. Inilah realitas dunia pendidikan di ibu kota negara, dalam konteks kemampuannya beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi.
Maka, SMA Negeri 70, Blok M, Jakarta Selatan, SMA Negeri 78, Kemanggisan, Jakarta Barat, dan SMA Negeri 30, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, sudah sepatutnya diapresiasi. Karena, ketiga sekolah tersebut akan tampil sebagai pelopor UN Online tingkat SMA di Provinsi DKI Jakarta, pada 13-15 April 2015 mendatang. Ini memang Ujian Nasional dengan mekanisme computer based test (UN-CBT), yang kerap disebut sebagai UN Online, pertama di dunia pendidikan Indonesia.
Berani Mencoba, Menjadi Pelopor
Karena UN Online ini merupakan yang pertama, tentu saja menimbulkan deg-degan pada sejumlah pihak. Baik siswa, orang tua, dan juga para guru. Dalam konteks ujian saja sudah menimbulkan deg-degan, apalagi ini adalah ujian skala nasional, dengan menggunakan perangkat teknologi, dan baru pertama kali diadakan. Ketiga pihak dari ketiga sekolah tersebut, akhirnya mencapai titik-temu, hingga mereka siap mengadakan UN Online.
Sikap ketiga pihak dari ketiga sekolah tersebut, sesungguhnya merupakan cermin dari hakekat pendidikan. Itulah intinya pendidikan. Mereka berani mencoba, bahkan menjadi pelopor, dan tidak takut gagal. Bukankah sekolah sebagai lembaga pendidikan, merupakan arena ujicoba? Di kelas, misalnya, guru dari berbagai mata pelajaran, memberikan berbagai macam versi soal.
Murid mencoba dan terus mencoba menyelesaikan serta menjawab soal tersebut, hingga mendapatkan jawaban yang benar. Guru mendampingi dan memberi arah, agar murid menemukan jalan untuk mencapai jawaban yang benar. Bisa dikatakan, proses ujicoba semacam itu adalah proses keseharian para murid di sekolah. Bahkan, guru memberikan sejumlah soal sebagai pekerjaan rumah, agar murid berlatih melakukan ujicoba di rumah.
Dalam bentuk praktek, prinsip ujicoba itu juga berlangsung di laboratorium. Di laboratorium bahasa, misalnya, murid mencoba melafalkan kata dengan benar untuk speaking dan mencoba mendengarkan pengucapan orang lain dengan benar saat sesi listening. Gagal mengucapkan, juga gagal mendengarkan, adalah kondisi keseharian yang dihadapi murid. Namanya juga sedang belajar, sedang studi.
Ketiga pihak dari ketiga sekolah tersebut, bukannya tak punya rasa cemas, bukannya tak memiliki rasa takut. Mereka tentulah telah melalui serangkaian presentasi, diskusi, juga perdebatan mengenai kesiapan mengikuti UN Online ini. Sikap mereka yang positif dalam menyikapi hakekat pendidikan serta kesadaran mereka yang positif akan makna proses belajar, telah mengalahkan rasa cemas dan rasa takut tersebut.
[caption id="attachment_357942" align="aligncenter" width="540" caption="Latihan secara teratur dan sungguh-sungguh adalah bagian dari upaya persiapan mengikuti UN Online. Murid, guru, dan orang tua sudah seharusnya saling bahu-membahu agar kegagalan bisa diminimalkan. Foto di atas diambil saat sejumlah siswa mengikuti ujicoba Ujian Nasional (UN) Computer Based Testing (CBT) di SMA Negeri 1 Surabaya, Jawa Timur, Senin (23/3/2015). Sebanyak 198 sekolah tingkat SMP, SMA, dan SMK di Jawa Timur, siap melaksanakan UN Online 2015. Foto: antaranews.com"]