[caption id="attachment_346202" align="aligncenter" width="639" caption="Deal politik para politisi dan revolusi kepentingan para penguasa, buyar ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan calon tunggal Kapolri, Budi Gunawan, sebagai tersangka korupsi. Siapa boneka, siapa wayang, dan siapa dalang terkuak di tengah seremoni tebar pesona penguasa saat ini. Foto: tempo.co"][/caption]
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Ketua KPK, Abraham Samad, tak pernah berkoar tentang revolusi tapi ia sangat revolusioner. Ia berjanji mengikis-habis korupsi di negeri ini dan ia penuhi janjinya dengan eksekusi. Ia menjaga profesinya sebagai penegak hukum, agar tak terseret ke dalam revolusi kepentingan para politisi.
Istana kaget, mungkin juga terguncang. Para pembela Budi Gunawan tersentak, barangkali juga terhenyak. Calon tunggal Kapolri itu ditetapkan KPK sebagai tersangka. "Setengah tahun lebih kita lakukan penyelidikan transaksi mencurigakan," kata Ketua KPK, Abraham Samad, saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (13/1/2015).
Hasilnya, pada Senin (12/1/2015), KPK meyakini ada tindak pidana yang dilakukan Budi Gunawan saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier SDM Mabes Polri periode 2004-2006. Senin itu juga, KPK membuat surat perintah penyidikan dan menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, menyatakan, pihaknya sudah meminta waktu untuk bertemu Presiden pada Senin, 12 Januari 2015 itu, namun hingga Selasa (13/1/2015) pagi belum ada konfirmasi mengenai waktu pertemuan. Jumpa pers pun digelar di Gedung KPK.
Budi Gunawan Menuding
Hanya selang beberapa jam setelah jumpa pers itu, Budi Gunawan menuding, ada kepentingan politik di balik penetapan dirinya sebagai tersangka. Itu ia ungkapkan di hadapan anggota Komisi Hukum DPR RI yang mendatangi rumahnya, seperti Abubakar Alhabsy, Benny K. Harman, dan Desmond J. Mahesa. Mestinya, Budi Gunawan sudah paham akan kepentingan politik yang ia maksudkan.
Bukankah ia sesungguhnya sudah memasuki ranah politik? Pada Sabtu (7/6/2014) malam, ia dengan mengenakan kemeja batik, kedapatan mengadakan pertemuan dengan politisi PDIP, Trimedya Panjaitan, di restoran Satay Khas Senayan, Menteng, Jakarta Pusat. Foto pertemuan itu tersebar secara luas. Ia membantah bahwa pertemuan itu sebagai pertemuan politik, padahal pertemuan itu berlangsung hanya berselang beberapa pekan sebelum Pemilihan Presiden, 9 Juli 2014.
Budi Gunawan memang bisa saja membantah. Tapi, pada Sabtu (10/1/2015) lalu, di sela acara HUT PDIP ke-42 di gedung DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Ketua DPP Bidang Hukum PDIP, Trimedya Panjaitan, mengungkapkan bahwa Budi Gunawan memang sudah akrab di kalangan PDIP. Trimedya Panjaitan bahkan bercerita bahwa Budi Gunawan dilibatkan dalam penyusunan visi misi Jokowi-Jusuf Kalla dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Trimedya menyebut, ada semacam keterikatan antara mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu dengan partai berlambang banteng. Padahal, sebagai polisi aktif, Budi Gunawan sudah seharusnya menjaga netralitasnya. Area politik, apalagi politik praktis, adalah area yang sangat tidak patut ia masuki. Bila mengacu pada apa yang diungkapkan Trimedya, Budi Gunawan bukan hanya masuk ke ranah politik tapi justru sudah menjadi bagian dari kepentingan politik.
Maka, sangat terasa ganjil, ketika Budi Gunawan menuding bahwa ada kepentingan politik di balik penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Seharusnya, sebagai penegak hukum aktif, ia berkaca pada perilakunya. Apakah sebagai aparat kepolisian, ia sudah menjaga netralitasnya? Apakah tindak-tanduknya selama ini sudah menjunjung tinggi martabat korps-nya? Dan, bukankah sesungguhnya ia sudah paham pergulatan kepentingan di ranah politik?
Barisan Pembela Budi Gunawan
Sejak Budi Gunawan digadang-gadang menjadi calon tunggal Kapolri, suara sumbang bergema di mana-mana. Khususnya, mengenai keterkaitannya dengan kasus Rekening Gendut serta keganjilan proses penunjukannya. Para pembela merapatkan barisan dan melontarkan argumen habis-habisan. Ada yang terkesima.
Tapi kemudian, terhenyak setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Proses hukum memang baru dimulai. Sejumlah pernyataan yang dilansir media, antara lain, dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, politisi PDIP Trimedya Panjaitan, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Ronny F. Sompie, dan Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar yang ditabulasi berikut ini, setidaknya menggambarkan sikap mereka terhadap Budi Gunawan.
Arus Suara Istana
Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi dan semangat transparansi, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, menuai sejumlah kecaman. Terutama, karena tidak dilibatkannya KPK dan PPATK dalam proses seleksi orang nomor satu di jajaran kepolisian tersebut. Istana bersikukuh bahwa tahapan yang dilakukan, sudah sesuai prosedur. Kandang Banteng juga tak kalah dengusnya untuk membenarkan langkah yang sudah ditempuh.
Presiden memang punya hak prerogatif tapi itu bukan alasan untuk tak mendengarkan suara publik. Bukankah yang akan dipilih adalah pejabat publik, yang diharapkan akan membela hak-hak publik? Para pelindung di balik hak prerogatif tampaknya memilih berseberangan dengan publik, demi bergantung pada kekuasaan.
Setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi, sejumlah pernyataan yang dilansir media, antara lain, dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, Sekretaris Kabinet Andi Wijayanto, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, dan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang ditabulasi berikut ini, setidaknya memberikan gambaran relevansi sikap mereka terhadap Budi Gunawan, terkait jabatan yang mereka sandang.
Jakarta, 14-01-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H