[caption id="attachment_349271" align="aligncenter" width="496" caption="Seorang pecinta batu akik atau batu alam, menunjukkan sertifikat batu akik di Malang, Jawa Timur, 3 Februari 2015. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan, berencana memungut pajak bagi penjual batu akik yang sudah teregistrasi dan memiliki NPWP. Agar batu akik termasuk objek pajak, Kementerian Keuangan merevisi peraturan Nomor 253 Tahun 2008 tentang barang mewah. Foto: TEMPO "][/caption]
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Demam Batu Akik, membuat pemerintah ngiler. Kementerian Keuangan akan melakukan revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253 Tahun 2008 tentang barang mewah, untuk memajaki Batu Akik. "Batu Akik kena (pajak), yang harga jualnya di atas Rp 1 juta. Itu masuk pasal 22 pajak atas barang yang sangat mewah,” kata Wakil Menteri Keuangan sekaligus Plt Dirjen Pajak, Mardiasmo.
Inilah kehebatan pemerintah Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Para jajarannya mencermati berbagai usaha rakyat, untuk kemudian dipajaki, dikenakan pajak. Bila jenis usaha itu belum ada aturannya, maka aturan yang ada direvisi agar ada landasan hukum untuk memajakinya. Itulah yang akan menimpa para perajin Batu Akik. Coba susuri, apa sih yang sudah di-support pemerintah terhadap perajin Batu Akik?
Penguasa Memang Lucu
"AC (air conditioner) saja, sudah dikeluarkan dari barang yang dianggap mewah, masak Batu Akik yang harganya Rp 1 juta, sudah dikenakan pajak, lucu kan," ujar Ekonom Samuel Asset Management, Lana Soelistiningsih, dalam keterangannya, Senin (26/1/2015). Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo memang lucu. Rakyat tak perlu jauh-jauh nonton ketoprak, untuk sekadar memancing tawa. Hehehe.
Apa Dirjen Pajak kurang kerjaan? Entahlah, ya. Sebagai perbandingan, di sektor pertambangan, dari 11 ribu perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), hanya 2 ribu yang tercatat memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Artinya, ada 9 ribu perusahaan pertambangan yang tidak membayar kewajiban pajak.
Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brojonegoro, saat berkunjung ke Kantor Kompas Gramedia, Jumat malam (12/12/2014) mengatakan, saat ini ada sekitar 1.000 perusahan asing yang tidak pernah bayar pajak. Bahkan, hanya 0,7 persen wajib pajak yang bisa dicek kebenarannya. Alhasil, tax ratio tidak pernah melebihi angka 12 persen.
Nah, apa Dirjen Pajak kurang kerjaan? Apa sudah waktunya kah nguber pajak dari pengrajin Batu Akik? Tapi, ya namanya juga penguasa. Mereka bikin aturan sesuai dengan yang mereka mau, tanpa mempertimbangkan skala prioritas. Inilah contoh kehebatan lain dari pemerintah Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Katanya sih diisi para profesional, tapi masak sih pejabat profesional tidak bisa membedakan yang mana yang urgent dan mana yang important? Mari tertawa, tanpa harus nonton ketoprak. Hehehe.
[caption id="attachment_349272" align="aligncenter" width="560" caption="Penjual dan peminat batu akik sama-sama asyik di Pasar Rawa Bening atau Jakarta Gems Center, bursa batu akik dan batu mulia di Jakarta. Pasar yang berhadapan dengan Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, ini telah dikenal sebagai bursa batu akik dan batu mulia, sejak tahun 1980-an. Pengunjungnya tak hanya warga Jakarta, tetapi juga dari sejumlah daerah di Indonesia dan mancanegara, seperti dari Korea, Taiwan, dan Thailand. Foto: kompas.com"]
Pelajaran dari Purbalingga
Apa yang dilakukan Tasdi, Wakil Bupati Purbalingga, Jawa Tengah, mungkin bisa menginspirasi. Tasdi mengungkapkan, Pemkab Purbalingga melalui APBD tahun 2015, akan menganggarkan dana sebesar Rp 900 juta, untuk membantu peralatan bagi perajin Batu Akik. Ia menyadari, potensi bahan baku Batu Akik di Purbalingga, sangat melimpah.
Masyarakat yang menekuni kerajinan Batu Akik, juga cukup banyak. Sebagaimana halnya usaha rakyat, keterampilan mereka masih terbatas, perangkat pendukung yang mereka miliki juga minim. Karena itulah, Pemkab Purbalingga berencana men-support warganya dengan menganggarkan bantuan melalui APBD.
“Pemkab juga ikut turun tangan dengan membentuk paguyuban perajin Batu Akik, baik di tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa,” papar Tasdi lebih lanjut. Melalui cara tersebut, Tasdi berharap keterampilan warganya dalam mengolah Batu Akik bisa meningkat. Hingga, secara jangka panjang, kerajinan Batu Akik akan menjadi produk unggulan Kabupaten Purbalingga, yang bisa meningkatkan pendapatkan masyarakat lokal.
Kegairahan perajin Batu Akik juga didorong dengan mengadakan pameran kerajinan batu tersebut. Pada 11–14 Desember 2014 lalu, misalnya, diadakan Pameran Batu Klawing terbesar pertama di Gedung Kong Kwan, Purbalingga. Pameran ini diikuti sekitar 30 perajin batu. Klawing adalah nama salah satu sungai di Purbalingga, sumber bebatuan tersebut. Beberapa hari kemudian, 18-24 Desember 2014, diadakan lagi pameran kerajinan batu di Purbalingga Expo 2014, di lapangan Purbalingga Kidul, dekat Stadion Goentor Darjono.
[caption id="attachment_349273" align="aligncenter" width="540" caption="Penjual Batu Akik kelak akan menjadi bagian dari pengisi Lantai 3 Pasar Blok G Tanah Abang. Menurut Humas PD Pasar Jaya, Agus Lamun, sementara akan dikosongkan dulu kemudian diubah menjadi lokasi parkir atau lokasi para pedagang kreatif,, baik itu pedagang Pasar Tasik, pedagang pakaian bekas, maupun pedagang Batu Akik. Foto: Warta Kota"]
Inisiatif untuk Warga
Tasdi, dalam hal ini Pemkab Purbalingga, mengedepankan keberpihakan pada warga, agar mereka memiliki aktivitas yang mendatangkan pendapatan. Dengan demikian, roda ekonomi masyarakat kabupaten bergerak positif. Untuk skala kabupaten, ia paham, apa yang seharusnya diprioritaskan. Ia pun bisa membedakan yang mana yang urgent dan mana yang important.
Apa yang dilakukan Pemkab Purbalingga, hanya salah satu contoh, bagaimana pemerintah setempat memiliki inisiatif untuk memfasilitasi potensi yang ada di wilayahnya. Setidaknya, itu menjadi salah satu solusi untuk menciptakan lapangan kerja bagi warga. Inisiatif yang disertai dengan pemahaman akan sumber daya manusia yang ada, sumber daya alam, serta behavior masyarakat yang menjadi target market, tentu akan menjadi solusi bagi warga.
Sebaliknya, inisiatif yang tidak disertai dengan pemahaman akan hal tersebut, bila dipaksakan, justru menjadi sumber malapetaka bagi warga. Itulah yang dialami para pedagang Kaki-5 yang direlokasi ke Pasar Blok G Tanah Abang, Jakarta Pusat, oleh Jokowi, semasa ia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Karena tidak dilandasi konsep yang jelas, karena tidak disertai dengan studi yang memadai, proyek relokasi itu gagal total.
Manajer Pasar Blok G Tanah Abang, Namen Suhadi, pada Senin (22/9/2014), menerangkan, selama ini, segala upaya sudah dilakukan untuk meramaikan Blok G, tetapi nyatanya tetap saja sepi, khususnya di lantai tiga. “Hingga perpanjangan masa sewa gratis kedua berakhir, sudah tidak ada lagi pedagang bertahan,” ujar Namen Suhadi. Alasan para pedagang, “Ngapain maksa diri jualan di Pasar Blok G, kalau yang datang cuma laler doang.”
Pasar Tanah Abang punya sejarah yang panjang. Behavior masyarakat yang berbelanja ke Tanah Abang, tak cukup hanya dipahami dengan blusukan, tanya sana-tanya sini, lalu dengar sana-dengar sini. Tapi, ya namanya juga penguasa. Mereka bikin aturan sesuai dengan yang mereka mau. Mereka juga dengan enteng mengumbar janji kepada warga. Nanti akan bikin ini, nanti akan bikin itu. Toh, nyatanya Blok G kembali jadi nol besar.
Lantai 3 Blok G tersebut, menurut Humas PD Pasar Jaya, Agus Lamun, akan dikosongkan. Nantinya, lantai tersebut akan diubah menjadi lokasi parkir atau menempatkan para pedagang kreatif, baik itu pedagang Pasar Tasik, pedagang pakaian bekas, maupun pedagang Batu Akik. “Untuk sementara, belum ada permohonan dari salah satu komunitas pedagang tersebut. Kami juga tidak mau gagal lagi,” ujar Agus Lamun. Penutup yang bagus: Kami juga tidak mau gagal lagi.
Jakarta, 04-02-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H