Mohon tunggu...
isra khasyyatillah
isra khasyyatillah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Dewasa di Mata Ibu

23 Desember 2013   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No. 323

Tanggal delapan dibulan April itu biasanya kutunggu. Istimewa. Tapi kali ini, ''hwaaaaaaaaa, ini kali pertama aku tak suka tanggal ini hadir. Usiaku bertambah satu tahun lagi!''

Bukan wajah yang semakin menua yang aku takutkan, keriput di mata, atau apalah yang biasa ditakutkan perempuan kebanyakan jika bertambah umur. Ah, di usia 19 tahun tanda-tanda penuaan seperti itu belum terpikirkan. Tapi aku takut hilangnya beberapa hak dan munculnya beberapa kewajiban. Hak yang mana? Kewajiban apa?

Ibu, kau ajukan sienam huruf yang ternyata masih begitu berat bagiku. Satu kata yang menuntutku terlalu banyak. Harus bisa ini, mesti pandai itu. Tidak boleh ini, dilarang itu. Dewasa, lebih dewasa, harus dewasa. kata-kata itu menghantuiku.

''Ra, dah mahasiswi loh, bukan anak-anak lagi. Harus bisa ngurus urusan sendiri, lebih dewasa.'' nasihat Ibu  sembari turut berbaring disebelahku yang tengah sibuk dengan game dilaptop.

Mungkin maksud Ibu sifat lupaku. Selama ini, segala hal mesti diingatkan. Jika tidak, ada saja yang tertinggal dan terlupa. Laptop tertinggal di travel juga pernah, KTP yang hilang dan masih banyak hal-hal lain yang membuat Ibu dan Ayah tak begitu percaya denganku.

''Iya, Bu. Siap sedia!'' Kumembulatkan suara ala tentara.

''Masak sana gi, bentar lagi jam makan.''

Masak? Kok masak? Serta merta aku langsung mengalihkan pandangan ke arah ibu, mengabaikan game yang lupa aku pause-kan. ''Aku yang masak, Bu?'' kedua alisku bertemu, heran. Memperhatikan wajah Ibu dengan seksama, namun tak aku temukan kesan bercanda diwajah itu.

''Iya, kok masih bengong? Masak sana,'' suara Ibu terdengar tegas, sepertinya ini benar-benar perintah.

''Kok masak sih, Bu? Kan biasanya Ibu yang masak?''Masih berharap Ibu tengah bercanda kali ini.

"Ra, tapi tadi katamu dah siap sedia jadi mandiri, urus urusan sendiri. Yah, sekarang tugasmu masak. Anak gadis harus pandai masak.''

Ibu..., aku bingung sekali, biasanya hanya tinggal makan masakan yang kau hidang. Tapi kali itu kau minta aku memasak. Masak apa? Bagaimana?

''Bu, ini ikannya udah matang belum? Udah boleh diangkat ni? Bu...masih lama? Entar hangus pulak,'' aku begitu heboh kalau lagi masak. Panikan, takut masakanku gosong. Cemas kalau-kalau keasinan, alih-alih keasinan, masakanku ternyata hambar. Ibu harus menambahkan garam beberapa kali setelahnya.

''Bu, ini garamnya seberapa banyak?''Kuberlari-lari ke arah Ibu, untuk menentukan takaran yang pas.

''Bu, gimana ni? minyaknya nyiprat-nyiprat!''

''Bu, cabenya berapa?''

''Bu,..."

'''Bu,...''

Banyak sekali yang aku tanyakan. Tanya ini itu, meneriakkan dari dapur menunggu jawaban Ibu di ruang tengah. Biasanya kalau Ibu tidak kian menyahut, aku akan berlari menjemput, memaksa menemaniku di dapur.

Ternyata memasak itu tak semudah yang aku bayangkan. Biasanya yang kulihat, Ibu dengan gampang melakukannya. Tinggal masuk-masukan, masakpun selesai. Namun nyatanya tak sesederhana itu.

***

''Bu, pengen pisang goreng,''pintaku, terbayang pisang-pisang dari kebun yang baru di panen nenek telah menjelma menjadi gorengan yang gurih.

''Masaklah.'' Ibu menimpali singkat.

''Masakin,''pintaku kembali. Rindu masakan Ibu.

''Masak pisang goreng enggak bisa?''

''Pengen dimasakin,'' waktu itu manjaku kambuh, Bu. Tapi Ibu tetap tak mau memasakkan untukku. sementara aku juga tak bergeming, berkeras hati tak mau masak. Aku rindu buatan Ibu. Tahukah? Saat Ibu pergi keluar sebentar, aku masak pisang goreng itu dengan pipi  kebanjiran. Sedih, di hatiku berkecamuk, dipikirankupun begitu. Ibu setega itu padaku? Ibu tak sayang lagi? Ah, segala pikiran-pikran buruk bermunculan dibenakku.

''Bu, masakin sarden dong''

''Masaklah! Dah besar gini kok masih minta dimasakin''lagi-lagi begini jawaban Ibu. Masaklah! Ah, tidakkah Ibu tahu, aku rindu masakan Ibu. Kalau aku yang masak tak seenak buatan Ibu. Dewasa oh dewasa. ''Ukuran dewasakan nggak cuma masak, Bu,'' gumamku berlalu semakin sedih.

Beberapa hari ini aku tak punya motivasi lagi untuk memasak. Aku pikir Ibu memintaku memasak karena tak sayang lagi padaku, membuatkan pisang gorengpun sudah tak mau. Masak sendiri, begitu katanya. Dewasa itu memang tak asik, menyusahkan, menghilangkan kasih sayang. Ibu, kalau begini  lebih baik aku  jadi putri kecilmu lagi. Di satu sisi menjadi anak kecil itu lebih menyenangkan, ingin apa-apa tinggal bilang. ''Ibu... aku lapar.''

Tingkat kerajinanku naik turun. Kadang tinggi, kadang rendah. Kali ini sepertinya berada di zona bawah. Lebih kupilih keroncongan daripada harus masak sendiri. benar-benar keras kepala! Terlalu ego! Aku ingin Ibu yang memasakannya untukku. Sementara yang terhidang di meja semuanya berkuah.

Hingga tengah hari, pertahananku melemah, suara perutku semakin gemuruh. Makan, makan, makan, beri kami makan, mungkin begitu maksud gemuruhnya. Diam-diamku ke dapur nyeplok telur. Sungguh kelaparan tak makan dari malam.

''Ehem, akhirnya masak juga,''duh, Ibu menangkap basah kukasak-kusuk di dapur. ''Gitu dong, masak sendiri,'' tambah Ibu lagi. Kurasa Ibu tengah senyam-senyum, bahagia berhasil membuatku ke dapur juga.

***

''Ra, ikut lomba masak yuk!'' ajakan seorang teman padaku. ''Enggak yang susah kok, lomba masak sarden doang, yang berhasil dan rasanya enak itu yang menang.'' jelasnya lagi

''Masak sardenkan susah, cipratan minyaknya ngeri.'' kumenolak.

''Ayolah, kan bisa belajar dulu. Yayayaya.., oke kita daftar!'' tanpa persetujuanku dia langsung pergi, mendaftarkan nama kami dalam lomba antar remaja desa dalam rangka menyambut bulan puasa. Padahal aku tengah alergi masak. Gara-gara Ibu tak mau ngalah untuk sesekali masak makanan yang kusuka. Ya karena alasan ingin aku lebih dewasa lagi. Tuhan, Kenapa waktu terlalu cepat berlalu? Aku belum siap dengan semua ini.

Bu, diwaktu luang aku pernah googling tentang apa itu dewasa. Menurut artikel-artikel yang aku baca, dewasa itu bukan pandai masak. Aku simpulkan dewasa itu adalah kematangan dalam bersikap. Ia akan berkembang seiring kematangan usia dan pengalaman hidup seseorang. Bu,  sesekali aku harus ngajak Ibu googling berdua.

***

Di halaman kantor desa, aku tengah panik. malu apalagi. Sarden mengganas di penggorengan. Minyak panasnya beringas, menyiprat apa saja disekitarnya.

''Ra, sardenmu gosong.''

''Ohai, itu kenapa enggak dibalik, dah hangus tu!''

''Angkat cepat...''

Semua penonton sibuk berkomentar. Sementara aku dan teman-teman yang tengah berlombapun panik. Aku pasrah. Membiarkan sardenku gosong. Hitam. Dinda teman satu timkupun ternyata asal ikut lomba saja. Sama denganku tak tahu apa-apa. Buat seru-seruan katanya.

''Anak gadis kok kalah lomba masak.''

Suara-suara tak enak di dengar mulai muncul.

''Haha, santai Nak, nanti bisa belajar lagi.''

''Semangatt..'' Ada juga yang bersimpati dengan masakanku yang tak berbentuk. Aku malu sekali. Di daerahku, tak lumrah anak gadis tak pandai masak. Rasanya memalukan. Memasak itu kemampuan wajib yang harus dimiliki seorang perempuan, begitu katanya.

Ingin rasanya aku langsung pulang, lari dari arena memalukan ini. Ibu, kau benar, seharusnya aku lebih mendengarkanmu, mematuhi apa yang kau minta. Tak keras kepala seperti dulu. Ibu, aku ingin pandai memasak. Ajari aku.

Hari-hari berikutnya, aku les masak dengan koki serba bisa, Ibu. Kata Ibu, untuk menghindari cipratan minyak sarden, kita tutup wajan ketika kita tengah menggoreng. Jika kira-kira satu sisi dah matang, kita balikkan sardennya. Tapi matikan dulu kompor gasnya. Baru setelah itu tutup lagi dan hidupkan kompornya. Jadi kitapun terhindar dari cipratan minyak panas.

Ternyata sesimpel itu, kenapa tak terpikir olehku? ''Yang enteng-enteng itu juga perlu latihan loh, terkadang kelihatan luarnya saja mudah. Latihanlah yang membuatnya terasa enteng. Bisa karena biasa.'' terang ibu padaku. Ibu memang keren.

Ibu, terimakasih untuk itu semua. Dengan begitu, setidaknya hari ini,  masak ikan asin sambal ijo aku jagonya. Tumis sayur? bisa! Ah numis, enteng kok. Enteng-enteng begitu perlu latihan jugakan, Bu. Apalagi? Masak sardenpun aku berhasil melakukannya. Pokoknya segala jenis sambal goreng-gorengan aku bisa. Karena  kusuka itu. Ibu bilang setidaknya aku bisa memasak makanan yang kusuka. Ibu memang guru segala hal, jago dalam segala bidang. Apalagi memasak. Ibu koki lihai, semua masakan Ibu sedap mantap.

''Ibu, sungguh Maha Kasih yang menciptakan sosok se-kasih dirimu.''

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Communityhttp://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun