''Anak gadis kok kalah lomba masak.''
Suara-suara tak enak di dengar mulai muncul.
''Haha, santai Nak, nanti bisa belajar lagi.''
''Semangatt..'' Ada juga yang bersimpati dengan masakanku yang tak berbentuk. Aku malu sekali. Di daerahku, tak lumrah anak gadis tak pandai masak. Rasanya memalukan. Memasak itu kemampuan wajib yang harus dimiliki seorang perempuan, begitu katanya.
Ingin rasanya aku langsung pulang, lari dari arena memalukan ini. Ibu, kau benar, seharusnya aku lebih mendengarkanmu, mematuhi apa yang kau minta. Tak keras kepala seperti dulu. Ibu, aku ingin pandai memasak. Ajari aku.
Hari-hari berikutnya, aku les masak dengan koki serba bisa, Ibu. Kata Ibu, untuk menghindari cipratan minyak sarden, kita tutup wajan ketika kita tengah menggoreng. Jika kira-kira satu sisi dah matang, kita balikkan sardennya. Tapi matikan dulu kompor gasnya. Baru setelah itu tutup lagi dan hidupkan kompornya. Jadi kitapun terhindar dari cipratan minyak panas.
Ternyata sesimpel itu, kenapa tak terpikir olehku? ''Yang enteng-enteng itu juga perlu latihan loh, terkadang kelihatan luarnya saja mudah. Latihanlah yang membuatnya terasa enteng. Bisa karena biasa.'' terang ibu padaku. Ibu memang keren.
Ibu, terimakasih untuk itu semua. Dengan begitu, setidaknya hari ini, masak ikan asin sambal ijo aku jagonya. Tumis sayur? bisa! Ah numis, enteng kok. Enteng-enteng begitu perlu latihan jugakan, Bu. Apalagi? Masak sardenpun aku berhasil melakukannya. Pokoknya segala jenis sambal goreng-gorengan aku bisa. Karena  kusuka itu. Ibu bilang setidaknya aku bisa memasak makanan yang kusuka. Ibu memang guru segala hal, jago dalam segala bidang. Apalagi memasak. Ibu koki lihai, semua masakan Ibu sedap mantap.
''Ibu, sungguh Maha Kasih yang menciptakan sosok se-kasih dirimu.''
NB :Â Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Communityhttp://www.kompasiana.com/androgini
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:http://www.facebook.com/groups/175201439229892/